Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ina Febriany

La Tolerantia dan Moderasi Beragama: Upaya Preventif Ekstrimisme di Dunia Maya

Agama | Sunday, 18 Dec 2022, 05:28 WIB

Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki beragam suku, budaya, bahasa dan agama adalah salah satu bukti dari aneka rahmah (kasih sayang) Tuhan. Namun, kemajemukan ini juga seringkali melahirkan banyak tantangan. Tindakan radikalisme dan ekstrimisme adalah fakta yang tak terhindarkan dewasa ini. Baru-baru ini, kasus penolakan pendirian gereja di Cilegon menorehkan sejarah memilukan. Polemik ini diawali oleh Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon yang melakukan aksi penolakan di kantor Walikota Cilegon. Kabar ini pun akhirnya sampai kepada Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas hingga Walikota Cilegon dipanggil untuk memberikan klarifikasi. Lalu, atas dasar apa penolakan ini terjadi?

Dalam beberapa pemberitaan media, Komite penolak pendirian Gereja HKBP Maranatha menunjukkan surat keputusan (SK) Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK/1975 tertanggal 20 maret 1975 tentang penutupan gereja dalam daerah Kabupaten Serang (sekarang Cilegon). Namun, Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama Wawan Djunaedi menyebut, dasar penolakan SK Bupati tersebut sudah tidak relevan.

Penolakan pendirian gereja yang terjadi di Cilegon adalah satu dari sekian banyak fenomena ekstrimisme yang terjadi di Indonesia. Sebelumnya, jejak digital mencatat telah banyak kejadian yang menodai spirit keberagamaan sekaligus kemanusiaan. Beragama dan kemanusiaan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Melihat banyaknya fenomena ekstrimisme ini, gagasan moderasi beragama yang kali pertama diinisiasi oleh Lukman Hakim Saifuddin, terasa dibutuhkan dalam masyarakat multi-kultur dewasa ini.

Bukan tanpa alasan gagasan ini diinisiasi oleh Lukman Hakim Saifuddin dan terus diperjuangkan oleh Gus Men Yaqut karena sesungguhnya al-Quran telah menyebutkan term (wasathan/ pertengahan) ini dalam al-Quran, Qs. al-Baqarah/2: 143 misalnya, 'Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menetapkan kiblat (Baitulmaqdis) yang (dahulu) kamu berkiblat kepadanya, kecuali agar Kami mengetahui (dalam kenyataan) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sesungguhnya (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia,' ---- Umat pertengahan dimaknai dengan umat pilihan, terbaik, adil, dan seimbang, baik dalam keyakinan, pikiran, sikap, maupun perilaku.

Melalui firman Allah Qs. 2/143 di atas, moderasi bukanlah produk atau gagasan baru, nilai-nilai moderasi beragama sesungguhnya telah dicontohkan oleh para ‘alim ulama terdahulu melalui karya-karya masyhur di bidang fiqh misalnya— hampir tidak ada para ‘ulama dari mazhab fiqh yang mengklaim bahwa pendapatnya yang paling benar. Dalam tataran perilaku beragama sendiri misalnya, Rasulullah Saw menekankan pentingnya bersikap ‘wasath- tawassuth’ pertengahan dalam menjalankan perintah ibadah. Tidak ekstrim, tidak pula terlalu longgar. Bukankah dalam satu hadits shahih Riwayat Imam Bukhari, disebutkan ada salah seorang sahabat yang mengaku mampu berpuasa setiap hari lantas Rasulullah mengoreksi dengan sabdanya, ‘Tubuhmu memiliki hak atasmu’. Contoh sederhana dalam praktik beragama tersebut meniscayakan bahwa perilaku beragama yang ekstrim dan terlalu berlebihan bukanlah cerminan dari ajaran Islam. Disinilah pemahaman yang benar mengenai moderasi beragama perlu terus digaungkan.

Sebagai salah satu indikator dari moderasi beragama, toleransi tidak dapat berdiri sendiri. Ia membutuhkan indikator-indikator lainnya seperti komitmen kebangsaan, anti kekerasan dan akomodatif terhadap budaya lokal. Namun, apa sebenarnya makna dari toleransi?

Source: Freepik" />
Source: Freepik

Kata toleransi sesungguhnya bukan berasal dari bahasa Indonesia. Kata ini seringkali dialihbahasakan dengan 'tenggang rasa'. Toleransi berasal dari Bahasa Italia (tolerare) yang ditarik dari bahasa Latin 'tolerantia', maupun bahasa Spanyol (tolerar, kata kerja dan 'la tolerancia, kata benda'. Semua derivasi kata ini (tolerantia, la tolerancia dan tolerare) memiliki makna 'bear' (yang diartikan menerima, menolerir, memahami sesuatu yang tidak sama atau kurang disukai) makna yang senada mencakup sikap menghargai pendirian, baik berupa pandangan, pendapat, kebiasaan, maupun kepercayaan orang lain yang berbeda dengan apa yang diyakini.

Selain definisi di atas, Staf Ahli Khusus Menteri Agama Dr. Mahmoud Syaltut melihat akar kata toleransi mengisyaratkan kualitas feminin (kata la tolerancia, bahasa Spanyol yang ditandai akhiran ‘a’)—diartikan sebagai sifat yang melekat dalam diri perempuan seperti penyayang, pemaaf, pendamai dan lain sebagainya. 'Makna toleransi juga berarti mau memaafkan kesalahan orang lain' tuturnya.

Gambaran Ekstrimisme dan Ekslusivisme di Ruang Digital

Toleransi yang memiliki makna 'mau menerima dan memaafkan kesalahan orang lain', implikasinya, membutuhkan keterlibatan semua pihak dari beragam latar belakang pendidikan, budaya, agama termasuk perempuan untuk mau membumikan nilai-nilai moderasi mengingat narasi kekerasan, ekstrimisme dan ekslusivisme lebih banyak dirujuk dalam ruang digital--- ungkap Syaltut pada paparan ‘Sketsa Kehidupan Beragama di Indonesia’ dalam Orientasi Pelopor Moderasi Beragama yang dinisiasi LPDP dan Kementerian Agama RI, Senin (12/12).B

Orientasi Pelopor Moderasi Beragama yang dibuka secara resmi oleh Rektor UIN SMH Banten, Prof. Dr. H. Wawan Wahyudin, M.Pd

Acara penguatan moderasi beragama yang dihadiri oleh dosen-dosen dari berbagai daerah di Indonesia ialah bukti bahwa pengejawantahan nilai-nilai moderasi beragama yang sejalan dengan semangat Islam harus terus diupayakan. Upaya ini juga terus dilakukan secara serius melalui pendirian Rumah Moderasi Beragama (RMB) di sejumlah PTKIN. Adapun dalam orientasi yang berlangsung 11-15 Desember ini, RMB Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin Banten berkesempatan menjadi penyelenggara.

Lebih dari 40 Peserta yang Terdiri dari Unsur Dosen dari Berbagai PTKIN Turut Berkontribusi dalam Orientasi Pelopor Moderasi Beragama, 11-15 Desember 2022 di Le Dian Hotel, Kota Serang.

Dalam paparannya, Syaltout juga mengkritisi beberapa konten pemberitaan yang lebih banyak tentang kekerasan, jihad, peperangan, bom bunuh diri dan tindakan ekstrimis lainnya. Meski karya dosen terkait moderasi beragama sudah cukup banyak, namun pandangan, opini, artikel di media, konten YouTube, Instagram, Twitter, Tiktok dari unsur dosen masih perlu ditingkatkan. ‘Karenanya, perlu upaya serius untuk ‘membumikan’ karya-karya Bapak Ibu dalam berbagai jurnal tentang moderasi beragama dengan bahasa popular yang lebih mudah dipahami masyarakat,’ imbuhnya. Menurut monitoring digital tentang ekstrimisme dan ekslusivisme, jumlah konten tentang moderasi masih sangat sedikit dishare/ dirujuk. 'Peranan dosen-dosen dari PTKIN melalui ruang digital inilah sangat dibutuhkan untuk mengcounter narasi-narasi keagamaan yang sifatnya provokatif.' Tegasnya

Selain Syaltout, narasumber pakar, Plt Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, Dr. Syafi'i, M.Ag juga memberikan wawasan kepada para peserta tentang 'Konsep Moderasi Beragama di Indonesia'. Moderasi beragama bagi Syafi'i sangat penting dipraktikkan dalam masyarakat Indonesia mengingat kemajemukan masyarakat Indonesia berimplikasi pada kepedulian terhadap sesama umat beragama

Para Peserta Orientasi Pelopor Moderasi Beragama Berpose Bersama Plt Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, Dr. Syafi'i, M.Ag

Sebagai implikasi dari moderasi beragama yang berarti cara pandang, sikap dan praktik beragama dalam mengejawantahkan esensi ajaran beragama yang melindungi martabat kemanusiaan, maka, moderasi beragama bukanlah memoderasi 'agama' namun moderasi dalam praktik perilaku beragama yang menuntut untuk memuliakan martabat kemanusiaan. 'Sehingga, moderasi beragama bukan saja fokus pada ibadah-ibadah ritual yang bersifat mahdhah (hablumminallah), namun juga membangun kepedulian dan kepekaan kepada sesama (habluminannas). Tidak ada agama yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Jika ada, maka itu bukanlah agama' pungkasnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image