Membaca Ulang Peta Paham Keagamaan: Moderasi Tak Cukup Hanya Diteriakkan
Agama | 2025-08-01 13:44:42
Oleh Ahmad Fauzi (Kanwil Kementerian Agama DIY)
Ada satu pertanyaan penting yang belakangan makin relevan: seberapa paham kita terhadap paham keagamaan yang berkembang di sekitar kita? Di tengah geliat keberagamaan masyarakat yang semakin ekspresif, ternyata pemahaman kita terhadap peta keberagamaan justru sering kali bersifat asumtif. Bahkan, tidak jarang yang kita sebut “peta” tak lebih dari peta rasa; berisi dugaan, ketakutan, dan kekhawatiran yang tak selalu dibuktikan.
Dalam satu forum diskusi terbatas yang kami selenggarakan di Yogyakarta (31/7/2025), para tokoh lintas sektor -- dari birokrasi, keamanan, ormas Islam, akademisi hingga lembaga intelijen -- bersepakat bahwa potensi konflik keagamaan di masyarakat tak boleh diremehkan. Bahkan di daerah yang dikenal ramah dan damai seperti DIY pun, isu-isu keagamaan tetap berpotensi menjadi bara dalam sekam. Mulai dari soal khutbah Jumat yang dianggap provokatif, penolakan terhadap pendakwah tertentu, relokasi rumah ibadah, hingga friksi internal dalam komunitas Islam sendiri.
Masalahnya, konflik berbasis agama tidak selalu meledak dalam bentuk besar. Ia bisa hadir secara diam-diam, laten, bahkan terselip dalam dinamika sosial budaya, birokrasi, dan hukum yang membungkusnya. Dan ketika ledakan itu datang, kadang kita sudah terlambat.
Di sinilah pentingnya membaca ulang peta paham keagamaan. Bukan untuk membuat klasifikasi dan memberi label, tapi untuk menyusun langkah antisipasi yang cermat dan etis. Moderasi beragama, sebagaimana dikampanyekan pemerintah, bukan hanya soal narasi besar di atas panggung. Ia butuh strategi lapangan, peta akurat, dan kesadaran lintas sektor bahwa tanggung jawab menjaga kerukunan adalah kerja kolektif, bukan monopoli satu lembaga.
Dalam forum tersebut, muncul banyak refleksi menarik. Salah satunya adalah krisis keteladanan. Banyak tokoh agama lokal justru menjadi bagian dari pemicu konflik karena pernyataan atau sikapnya yang tidak bijak dalam memimpin komunitas. Di sisi lain, masyarakat juga semakin kritis terhadap lembaga formal. Kepercayaan terhadap otoritas keagamaan dan pemerintah tidak bisa hanya ditopang oleh struktur, tetapi harus diperkuat dengan transparansi, empati, dan keterbukaan.
Lebih jauh lagi, pendekatan yang mengedepankan represif atau penindakan semata tak akan menyelesaikan akar masalah. Sebaliknya, strategi pencegahan berbasis pemetaan sosial dan dialog terbuka justru menjadi kebutuhan utama hari ini. Aplikasi Early Warning System (EWS) dan LURIK (Layanan Unggulan dan Informasi KUA) yang diinisiasi Kementerian Agama perlu dikembangkan bukan hanya sebagai database, tetapi menjadi alat navigasi bagi para pengambil kebijakan di daerah.
Namun, peta tanpa pembaca akan sia-sia. Dan pembaca tanpa keterampilan membaca realitas akan menyesatkan. Maka yang kita butuhkan bukan hanya “peta,” melainkan juga literasi sosial keagamaan: kemampuan memahami dinamika masyarakat, melihat tanda-tanda perubahan, dan merumuskan pendekatan yang adaptif.
Yang lebih mendesak lagi adalah: menjadikan moderasi beragama sebagai praktik hidup. Kita harus belajar melihat perbedaan sebagai keniscayaan, bukan ancaman. Belajar bersuara tanpa merasa paling benar. Dan yang terpenting, menyadari bahwa peran kita sebagai penjaga harmoni dimulai dari dalam diri, sebelum mengoreksi yang lain.
Masyarakat membutuhkan kehadiran negara, lembaga keagamaan, dan tokoh-tokoh yang tidak hanya hadir saat konflik, tetapi juga hadir dalam momen-momen hening ketika benih konflik itu mulai tumbuh. Mereka butuh penyuluh, guru ngaji, dan aparat yang bukan hanya mengurus administrasi, tapi juga mengerti denyut nadi sosial di sekitarnya.
Yogyakarta bisa tetap menjadi rumah damai, jika semua pihak bersedia membaca ulang peta dengan jujur, lalu menempuh jalan sunyi yang penuh ikhtiar untuk mencegah konflik, bukan sekadar menangani keributan yang telanjur pecah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
