Nasib Garuda Indonesia Pasca Putusan PKPU
Bisnis | 2021-12-12 18:21:40"Disahkannya status PKPU Garuda Indonesia dapat diibaratkan sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi PKPU dapat membantu restrukturisasi utang kepada 800 kreditor menjadi lebih efektif, namun di sisi lainya apabila PKPU ini gagal maka Garuda Indonesia juga akan langsung masuk kedalam jurang kepailitan."
Pada hari Kamis (9/12/2021) yang lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat secara resmi menerima permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“PKPU”) yang diajukan oleh PT Mitra Buana Koorporindo terhadap PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk atau biasa disebut Garuda Indoneisa. Hadirnya kabar tersebut sontak saja menimbulkan pertanyaan di benak masyarakat, apakah dikabulkannya PKPU ini membuat Garuda Indonesia pailit? Sudah tamat kah perjalanan maskapai plat merah ini?
Jika dilihat dari aspek bisnis, sejatinya Garuda Indonesia masih memiliki peluang untuk keluar dari jeratan utang yang ada saat ini. Kondisi Garuda Indonesia yang memiliki beberapa utang pun tidaklah semata-mata dapat dipersalahkan, mengingat dalam menjalankan kegiatan usaha terkadang utang atau pinjaman merupakan salah satu cara yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan dari perusahaan itu sendiri. Hanya saja, tidak dapat dipungkiri pula bahwa kegiatan usaha yang dilakukan Garuda Indonesia saat ini pun memang sedang babak belur sehingga Garuda Indonesia mengalami kendala untuk melunasi utang-utangnya yang telah jatuh tempo sebesar Rp70.000.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah) dari total keseluruhan utang sebesar Rp140.000.000.000.000,00 (seratus empat puluh triliun rupiah).
Dalam sebuah wawancara yang ditayangkan oleh chanel youtube kompas.tv pada pertengahan November 2021, Irfan Setiaputra direktur utama Garuda Indonesia pun mengakui bahwa terdapat beberapa faktor yang ikut andil pada kondisi Garuda Indonesia saat ini seperti diantaranya permasalahan pada manajemen terdahulu, penerapan rute penerbangan yang dinilai kurang menguntungkan, hingga menurunya mobilitas dari pengguna jasa Garuda Indonesia akibat pandemi COVID-19. Namun, pada wawancara yang sama direktur utama Garuda Indonesia pun dengan sangat yakin mengatakan bahwa permasalahan yang dialami Garuda Indonesia ini akan segera beres karena Garuda sudah mulai bangkit melalui beberapa strategi bisnis, seperti salah satunya mengganti beberapa rute yang dinilai tidak menguntungkan.
Melihat hal tersebut, maka sebenarnya masyarakat indonesia seharusnya masih bisa optimis karena secara bisnis Garuda Indonesia masih memiliki peluang serta harapan untuk keluar dari kondisi keuangan saat ini, hanya saja hal tersebut tentunya memerlukan waktu dan konsistensi dari para stake holders guna membenahi kondisi BUMN Garuda Indonesia saat ini.
Selain itu, perlu dipahami pula bahwa meskipun secara bisnis nampaknya Garuda Indonesia telah menyusun strategi yang cukup baik guna bangkit dari permasalahan utangnya saat ini, namun tetap saja kreditor yang merasa Garuda Indonesia sudah tak mampu lagi membayar utang yang jatuh tempo secara hukum berhak untuk mengajukan permohonan PKPU kepada Pengadilan Niaga.
Meskipun Pasal 223 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (“UU K-PKPU”) mengatakan yang dapat mengajukan PKPU pada BUMN hanyalah menteri keuangan, namun ketentuan Pasal tersebut tidak berlaku kepada Garuda Indonesia karena pada bagian penjelasan Pasal 223 UU K-PKPU dikatakan bahwa BUMN yang dimaksud ialah BUMN berbentuk “Perum” (BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan), sementara Garuda Indonesia dalam hal ini adalah BUMN berbentuk “Persero” (BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan) sehingga dapat dimohonkan PKPU oleh debitor ataupun kreditor secara langsung tanpa perlu persetujuan dari menteri keuangan. Hal inilah yang membuat PT Mitra Buana Koorporindo sebagai salah satuh kreditor akhirnya mengajukan permohonan PKPU tersebut pada 22 Oktober 2021.
Setelah Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengabukan permohonan PKPU dari PT Mitra Buana Korporindo tersebut, maka maskapai plat merah yang sudah berdiri sejak awal tahun 1949 ini secara otomatis berada dalam masa PKPU sementara selama maksimal 45 hari terhitung sejak 9 Desember 2021 ketika putusan dibacakan. Satu hal yang perlu diingat ialah putusan PKPU pada dasarnya tidak sama dengan putusan pailit, karena PKPU dan Kepailitan pun merupakan dua hal yang berbeda (penulis amat sering menemukan artikel di internet yang menuliskan suatu perusahaan diputus pailit, padahal sejatinya perusahaan tersebut baru diputus PKPU).
Dalam hal perusahaan diputus pailit, maka saat itu juga akan dilakukan sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator. Artinya suatu putusan pailit akan membuat debitor pailit tidak lagi memiliki kendali atas harta kekayaannya, karena harta tersebut akan menjadi boedel pailit yang berada di bawah kekuasaan kurator untuk nantinya dibagikan kepada para kreditor sesuai besaran piutang masing-masing.
Lain halnya dengan PKPU, ketika suatu perusahaan diputus PKPU maka saat itu belum ada sita umum terhadap harta milik perusahaan tersebut, melainkan perusahaan yang diputus PKPU (debitor), akan diberikan waktu untuk mengajukan rencana perdamaian terhadap para kreditornya dalam jangka waktu tertentu. Dalam kondisi ini, pihak ketiga yang disebut "kurator" pada proses kepailitan akan berubah sebutannya menjadi “pengurus” yang mendampingi debitor utuk menyusun rencana perdamaian. Status PKPU inilah yang saat ini sedang melekat pada Garuda Indonesia, sehingga kurang tepat jika dikatakan Garuda Indonesia sudah tamat ataupun pailit karena hadirnya putusan atas perkara dengan nomor 425/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Jkt.Pst.
Dengan disahkannya status PKPU Garuda Indonesia oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, maka sebenarnya status tersebut dapat diibaratkan pisau bermata dua. Di satu sisi, PKPU dapat membantu berjalannya restrukturisasi utang dengan para kreditor menjadi lebih efektif, mengingat total jumlah kreditor Garuda Indonesia yang berdasarkan pengakuan direktur utama perusahaan mencapai angka 800 kreditor, maka tentunya akan cukup sulit jika proses restrukturisasi utang dilakukan satu persatu dengan masing-masing kreditor, karena para kreditor tentunya akan cenderung mengkedepankan ego dan mementingkan diri sendiri.
Dengan adanya PKPU, maka proses restrukturisasi dapat dilakukan secara berbarangan dengan didampingi pula oleh pengurus. Seluruh kreditor nantinya akan “didorong” agar secara bersama-sama dapat merumuskan homologasi atau rencana perdamaian yang terbaik dalam kurun waktu tertentu (dimulai dari PKPU sementara dengan waktu maksimal 45 hari, dan kemudian jika disetujui kreditor melalui pemungutan suara maka pengadilan dapat menetapkan PKPU tetap selama maksimal 270 hari).
Namun, meskipun status PKPU dapat mendorong agar proses restrukturisasi utang Garuda Indonesia kepada para kreditor menjadi lebih efektif, tetap saja perlu diperhatikan bahwa di sisi lainya jika PKPU ini gagal (baik karena tidak disetujuinya homologasi/rencana perdamaian oleh kreditor, karena terlewatinya waktu yang telah ditentukan, ataupun faktor lain dalam UU K-PKPU yang dapat membuat PKPU gagal), maka Garuda Indonesia secara otomatis akan diputus pailit oleh Pengadilan Niaga. Jika nantinya Garuda Indonesia sudah sampai pada kondisi tersebut, barulah mungkin kita bisa katakan bahwa perjalanan Garuda Indonesia sebagai maskapi plat merah telah tamat dan selesai.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.