Hira Anak Guru Honorer
Guru Menulis | 2022-11-25 05:18:44Beberapa orang yang usianya mungkin sepantaran denganku, berbaju batik tak seragam, turun dan keluar dari lift, tak jauh dari tempat kami duduk menunggu panggilan untuk mengambil obat.
Di depan kami persis, apotik rumah sakit, masih ramai dengan orang-orang yang mengantri. Semuanya duduk manis di kursi berbahan logam yang kelihatan tak lagi baru.
Tak jauh di sebelah kanan ada tulisan 'Pasien Askes'. Sejak Bunda - istriku tercinta - wafat beberapa bulan silam, anak semata-wayangku yang masih kelas enam SD ini memang kadang-kadang harus kubawa ikut serta, apalagi kalau sedang tak ada saudara yang bisa menemaninya di rumah.
Dulu Bunda selalu bersamanya sambil berjualan nasi di warung merangkap rumah kami. “Ayah, lihat, ada Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu !” anakku berseru sambil menunjuk ke arah pintu lift yang masih terbuka. Buku di sebelah-tangannya sekarang.
"Sepertinya mereka guru honorer, Yah.." lanjutnya. Kali ini santai, datar, dan polos.
Kuletakkan di pahaku buku yang sedang kubaca. Aku memang sengaja membiasakan membawa buku ke mana pun pergi. Tidak saja untuk berusaha menambah ilmu pengetahuan dan informasi, atau kadang bisa juga sekedar mengisi waktu luang, tapi juga untuk memberi contoh kepada anakku dan murid-muridku, bahwa buku adalah sahabat setia yang harus senantiasa mendampingi sehidup-semati.
Sambil tersenyum di dalam hati dan mencoba mengingat-ingat kapan aku pernah ngobrol dengan anakku ini terkait istilah 'honorer', kuperhatikan Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu itu berjalan keluar dari lift menuju ke arah depan. Biasa saja. Tak ada ciri tertentu.
Mungkin aku kurang jeli ? “Dari mana Hira tahu ?” tanyaku. “Badannya kurus-kurus kayak Ayah !” lanjutnya dengan tetap santai, tapi tegas.
“Hahahahaha ” aku tak dapat menahan tawa mendengarnya. Tiba-tiba saja aku bisa tak peduli orang-orang di sekitar kami akan terganggu. Terasa begitu lucu, cerdas, dan akrab. Kalau tak lucu, mana mungkin aku bisa tertawa lepas. Kalau tak cerdas, mungkin aku akan marah mendengarnya. Kalau tak akrab, tak mungkin lah kami berdua bersama bergurau di sana pada hari itu.
Betapa bahagia aku punya anak Hira. Analisisnya jujur, cerdas, tajam, dan berani. Rada mirip dengan slogan surat kabar terkenal itu. Lebih keren malah. Kocak pula. Pokoknya lengkap deh.. Alhamdulillah, semoga ini berarti aku cukup berhasil menanamkan beberapa karakter positif - yang sekarang populer dengan sebutan profil pelajar Pancasila itu - ke dalam jiwa anakku yang masih sangat belia ini.
Dalam hati aku berdo'a semoga dia tetap konsisten hingga kelak suatu saat menjadi salah seorang pemimpin di negeri ini. Selepas itu, tiba di rumah, mengalir kutulis berderet kalimat :
Hira anakku.. Saat-saat begini teringat Ayah ketika dulu kita boncengan bersepeda melintasi alun-alun desa berpapasan dengan pak Umar Bakri
Ramah beliau menyapamu cerah sumringah wajahnya meski hanya baju lusuh dan kusam membalut tubuhnya yang kurus
Gurumu itu sudah almarhum sekarang tapi anak-anaknya semua sudah jadi orang
Entah dari mana saja dia mencari tambahan untuk biaya hidup keluarganya Hira..
Sebetulnya Ayah salut dengan gurumu itu Tapi.. Ayah berharap.. kalau bisa, kamu jangan jadi guru ya.. Ayah khawatir tentang kecukupan hidupmu nanti sekeluarga
Boleh sih jadi guru.. tapi kau harus pintar cari tambahan
Gaji saja tak kan cukup untuk kuliah anak-anakmu kelak
Apalagi untuk juga beli mobil dan rumah Anakku.. kalau boleh Ayah usul, mending kau jadi dokter saja
Orang kaya sekarang banyak takut mati
Mungkin merasa banyak dosa batuk pilek sedikit mereka datang ke dokter
Tarifnya mahal kau bisa cepat kaya Pendapatan sebulan mungkin sama dengan beberapa tahun gaji Pak Umar Bakri
Atau.. boleh juga kau jadi anggota DPR setahu Ayah gajinya jauh lebih gede gizimu sekeluarga tujuh turunan akan terjamin badanmu akan cepat gemuk dan sehat
Kau tak perlu pikirkan biaya listrik dan pulsa internet bahkan gorden jendelamu ada yang mengurus Hira anakku.. Kalau mau jadi polisi atau tentara, boleh juga nanti kau akan punya plat nomor khusus untuk mobilmu
Eh, tapi jangan ding.. Ayah khawatir nanti kau jadi sombong dan bergaya di jalanan
Orang-orang akan takut kepadamu
Begini saja deh.. Lebih baik kau jadi pengambil kebijakan agar kau bisa buatkan plat nomor khusus untuk sepeda motor para guru se-Indonesia agar bila mereka lewat, meski tanpa sirene semua orang akan dengan senang hati memberi jalan dan menyanyikan lagu Himne Guru
Eh, tapi jangan ding.. Anakku.. Silahkan kau jadi apa saja sesuai minat dan bakatmu Yang penting.. kau tetap konsisten dalam kebaikan untuk bangsa dan negaramu
(25 November 2022) Syamsul Rizal Ikhwan Guru SMAN 1 Citeureup, Bogor
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.