Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Silvia Aulia Rizky

Usaha Untuk Tetap Hidup

Sastra | Monday, 21 Nov 2022, 20:40 WIB
Ilustrasi gerobak roti keliling. Gambar: pinterest

Sudah beberapa menit, tetesan keringat itu mengalir pada pelipis dan dahinya. Ia berulang kali mengelap dengan punggung tangannya yang tampak keriput. Topi yang ia kenakan ternyata tetap tidak mampu menghalau panas matahari siang itu.

Raut mukanya masih tetap sama seperti hari-hari sebelumnya, selalu tampak bahagia. Layaknya tidak terjadi apa pun pada hari-hari yang ia lewati. Tarikan dikedua sudut bibirnya, membuat kerutan di samping matanya kian menjadi ketika ia tersenyum. Diikuti kedua matanya yang ikut menyipit.

Tubuh yang sudah renta, umur yang tidak lagi muda. Namun, tekadnya yang tak pernah padam untuk selalu memberikan yang terbaik demi kehidupan keluarganya.

Kala itu, ia duduk di salah satu bangku panjang yang berada di bawah halte. Ia mengenakan pakaian yang biasa seperti hari-hari sebelumnya, celana berbahan alus dan kaos lengan panjang serta topi yang biasa ia kenakan. Tengah beristirahat. Salah satu tangannya memegang segelas kopi, meminumnya.

“Bapak,” ucap tiba-tiba seorang pemuda yang datang dengan napas yang tersengal. “Ternyata ada di sini, sejak kemarin saya cari bapak.”

Ia menoleh ke arah pemuda itu, menyapa dengan mengangguk dan tersenyum. “Kamu cari bapak? Ada yang perlu disampaikan?” katanya sembari menyuruh pemuda itu duduk di sampingnya.

“Teman-teman kantor saya yang lebih tepatnya mencari bapak. Kata mereka, bapak biasanya ada di sekitar kantor atau samping masjid. Tapi dari hari-hari lalu tidak terlihat batang hidungnya.”

Darma Basuki, nama yang tepat untuk sang kakek tersebut. “Saya sejak hari apa itu, tidak kemari. Saya muter ke sebelah utara sana dulu. Mereka cari saya untuk apa?” tanyanya ke pemuda itu.

“Ada yang mau pesan dagangan bapak, kalau sekarang ada juga bisa langsung saya bawa pak.”

Pak Darma menoleh ke arah gerobak sepeda, melihat ke dalam etalase gerobak itu. Memperkirakan dagangannya banyak atau sedikit.

“Roti yang bapak bawa cuma sedikit hari ini, memangnya perlu berapa?" tanya Pak Darma ke arah pemuda itu.

Pemuda itu mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya, jarinya menyentuh tombol telepon salah satu temannya. Menelepon.

Setelah beberapa menit obrolan dalam telepon itu berlangsung, segera ia mengakhiri panggilan itu dan membicarakannya pada Pak Darma.

“Pak, ini ternyata orang kantor butuh 300pcs roti. Misalkan besok sudah adakah pak?”

Sembari menaruh gelas kopi di samping tempat duduknya. Pak Darma menjawab, “Insyaallah ada, besok saya ke depan kantor saja ya.”

“Iya, Pak. Pak Darma saya perlu uang muka untuk pesanannya berapa?” tanya pemuda itu sopan.

“Boleh setengah dulu saja.” Pak Darma mengangguk mengiyakan. Kemudian, Pak Darma mengeluarkan notes dan mencatat pesanan serta uang muka yang diberi oleh pemuda itu.

Pak Darma, seorang kakek tua yang umurnya sudah sekitar 70 tahun. Ia sudah berdagang roti selama kurang lebih 30 tahun, ia mulai mengayun sepedanya sejak pukul 6 pagi dan pulang ketika merasa sudah lebih banyak dagangannya yang terjual. Roti Manna, dagangan Pak Darma yang selalu menjadi favorit orang-orang kantor yang menjadi langganannya. Berbagai jenis roti 'Manna' sering menjadi ciri khas Pak Darma. Karena satu-satunya penjual sejak dulu yang kerap di satu tempat itu.

Jika ditanya, mengapa Pak Darma terus berdagang? Ia selalu memberi jawaban-jawaban yang menyentuh hati pendengarnya. Ia tinggal berdua bersama cucunya, laki-laki, umurnya yang sudah 18 tahun. Terkadang ia membantu Pak Darma menjual roti-rotinya.

¤¤¤¤

Pagi tadi Pak Darma sudah memarkirkan gerobak sepeda di depan kantor properti. Tinggal menunggu si pemuda itu turun mengambil pesanannya. Sembari menunggu roti-rotinya diambil, Pak Darma duduk di samping salah seorang tukang parkir. Ia mengajak tukang parkir itu mengobrol, perbedaan usia yang terbilang jauh akan tetapi obrolannya pun menyambung satu sama lain.

“Kalau ngga kerja kaya gini, terus mau apa di rumah? Mumpung masih sehat, masih mampu cari rezeki,” jawab Pak Darma santai. “Daripada bingung ngga ada kerjaan.”

Begitu jawabnya ketika tukang parkir itu menanyakan salah satu alasan mengapa Pak Darma tetap bekerja. “Iya, saya juga tau. Bapak kan juga udah dari dulu jualan gini. Tapi, saya suka kasian sama bapak. Cuma takut kecapean aja. Udah gitu cuacanya suka ngga ketebak, tiba-tiba ujan terus panas lagi.”

“Cape, lelah, itu udah pasti ada. Saya juga usaha sekuat saya aja, rezekinya udah dikasihnya berapa ya diterima. Tinggal bersyukur banyak-banyak, pasti nanti ada aja rezeki yang dateng.”

Jika dilihat dari perawakan tubuhnya, Pak Darma masih terlihat bugar. Namun, mengingat usianya yang semakin menua kulit tubuhnya pun ikut keriput.

“Iya Pak, patut di contoh buat yang muda-muda ini sebenernya. Semangat kerjanya bagus, saya kenal bapak tuh ngga nyesel dari dulu. Pasti ada yang bisa dicontoh. Kalau mau nanti saya belikan kopi susu di warung biasa, sudah jam kerja habis ya pak,” kata si tukang parkir.

“Kamu, ada-ada saja. Tapi memang betul, kalau masih muda itu harus terus maju, berusaha sekuat tenaga, coba banyak hal. Biar tahu prosesnya, hasilnya ya nanti di akhir.”

Ketika Pak Darma masih mengobrol, pemuda dari kantor itu berjalan ke arah Pak Darma. Tangan kirinya menenteng paper bag berukuran sedang. Tidak terlihat isinya.

“Maaf Pak, pasti nunggu lama ya? Tadi lagi repot di kantor. Baru aja selesai, terus saya buru-buru turun ke sini.”

“Tidak apa, tadi sempet ngobrol sama dia. Jadi ngga berasa lama.” Pak Darma menoleh ke arah tukang parkir di sebelahnya. “Mau sekarang di bawa ke dalam?”

Pemuda itu mengangguk dan tersenyum, Pak Darma mengeluarkan box container berukuran sedang. Kedua tangannya terampil menata pesanan roti itu di dalam box, sembari menghitung yang dibantu oleh pemuda tersebut. Ya, selesai. Semua sudah dimasukkan dalam box.

“Iya sama-sama, semoga pada suka sama rotinya. Kalau misalkan besok atau lusa, kapan aja cari saya. Nanti cari aja di rumah,” kata Pak Darma senang, tak lupa senyum khasnya yang ramah menyapa pemuda tersebut.

“Oke, Pak. Oh, iya. Ini ada titipan dari rekan-rekan kantor. Buat bapak sama cucunya, sedikit rezeki dari kami buat bapak. Makasi ya, Pak, sekali lagi.” Pemuda itu mengarahkan paper bag ke arah Pak Darma dengan sedikit membungkuk. “Dan ini pelunasan sisa yang kemarin, ya Pak.”

“Repot-repot saja kalian, terima kasih kembali. Semoga kalian banyak rejekinya ya.” Pak Darma menerima dengan kembali membungkukkan badan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image