Surat Izin Mengemudi (SIM) di Atas Umur
Teknologi | 2022-10-12 06:23:51Ketika seseorang sudah memasuki masa lanjut usia (lansia), konon katanya sebagian dari perilakunya akan kembali seperti anak-anak lagi. Hal itu ternyata memang dibenarkan dari sisi sudut pandang medis yakni terkait potensi gangguan fungsi kesehatan pada lansia yang mengakibatkan penurunan fungsi kognitif di dalam diri seseorang.
Apabila anak-anak mengalami fase dimana fungsi kognitif bertumbuh dari rendah ke tinggi, sebaliknya para lansia justru mengalami fase penurunan fungsi kognitif tersebut.
Secara garis besar, fungsi kognitif ini berkaitan erat dengan aspek memori jangka pendek, memori jangka panjang, perhatian, perencanaan, strategi, dan sejenisnya.
Hal ini juga yang menjadi alasan mengapa syarat usia minimal untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM) adalah 17 tahun, karena pada usia tersebut seseorang dianggap sudah dewasa dan cukup berkembang secara fisik, perilaku, dan juga mental.
Singkat kata, fungsi kognitif yang dimiliki oleh seorang remaja berusia 17 tahun dinilai sudah cukup mumpuni untuk mengemban tanggung jawab besar mengendarai kendaraan bermotor di tempat umum.
Apabila layak tidaknya seseorang untuk mendapatkan SIM ditentukan oleh kemampuan fungsi kognitifnya, maka ketika fungsi tersebut masih belum atau sudah tidak lagi memenuhi syarat maka hak untuk berkendara seharusnya juga bisa ditarik. Hal ini perlu dilakukan demi keamanan berkendara.
Pada saat ini peraturan berkendara yang berlaku hanya menunjukkan batas minimal usia untuk mendapatkan SIM, tetapi tidak ada batas maksimal berapa usia untuk hal itu. Selama seseorang sudah berusia 17 tahun ke atas, mampu mengemudi, sehat jasmani dan rohani maka ia berhak mendapatkan SIM.
Namun ketentuan ini seakan hanya menjadi batasan yang “abu-abu” saja sehingga penilaiannya menjadi sangat relatif antara satu orang dengan orang yang lain. Karena kita tidak tahu pada usia berapa seseorang dinilai sudah tidak memenuhi syarat lagi untuk memegang kemudi kendaraan bermotor di tempat umum.
Berbeda halnya dengan batasan minimal yang secara tegas dikatakan berusia 17 tahun. Mereka yang belum berusia 17 tahu belum diizinkan untuk memegang kemudi sendiri.
Terlalu Muda vs Terlalu Tua
Seorang nenek berusia 71 tahun mengendarai mobil Xpander dan menabrak angkot berisi 3 orang hingga tewas. Si nenek sendiri mengalami luka ringan dan shok sehingga harus dirawat di rumah sakit.
Kejadian yang baru-baru ini terjadi di kawasan Sukabumi tersebut sepertinya menjadi pertanda bahwa kelayakan seorang lansia untuk mengemudi kendaraan bermotor sendiri juga perlu mendapat perhatian.
Selama ini kita mungkin cenderung khawatir tatkala melihat anak-anak dibawah umur (17 tahun) mengemudi kendaraan bermotor, mobil ataupun sepeda motor, ketimbang saat melihat para lansia yang melakukannya.
Padahal apabila acuannya adalah keadaan fungsi kognitif maka dua kelompok umur tersebut sebenarnya memiliki risiko masalah yang sama.
Terkadang, terlalu muda dan terlalu tua itu sama-sama bisa menjadi pemicu masalah apabila tidak diberikan garis standar yang jelas guna mengkategorikan efek yang ditimbulkan oleh dua jenis kelompok ini.
Menilik hal itu, dan terlebih belajar dari kasus nenek 71 tahun yang menabrak angkot dan menewaskan 3 orang penumpang serta sopirnya, maka setidaknya perlu diwacanakan untuk mengkaji pemberian batas maksimal usia dizinkannya seseorang berkendara kendaraan bermotor.
Yakni batas usia dimana fungsi kognitif seseorang kerapkali terganggu dan sudah jauh menurun dari orang-orang kebanyakan.
Batas Usia Maksimal Berkendara
Keadaan fisik setiap orang tentu berbeda-beda. Tidak selalu usia muda akan lebih bugar dibandingkan orang-orang yang berusia lebih tua. Atau sebaliknya.
Merujuk pengelompokan umur yang dilakukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ketika seseorang memasuki usia 60 tahun ke atas maka ia akan disebut lansia. Hanya saja memang kelompok usia ini sangat variatif kondisi fisiknya, khususnya terkait fungsi kognitif tubuh mereka.
Secara umum kita tahu bahwa di kelompok inilah gangguan kesehatan paling banyak melanda. Diperkirakan sekitar 20% lansia mengalami gangguan memori atau dimensia. Bahkan saat Covid-19 mencapai puncaknya dulu kelompok lansia inilah yang paling riskan terserang.
Apabila batas usia maksimal berkendara memang perlu diberlakukan maka sayogyanya hal itu akan menyasar kelompok usia ini. Karena secara risiko kesehatannya memang lebih besar dari kelompok usia lainnya.
Akan tetapi, seperti sudah disampaikan sebelumnya bahwa kondisi kesehatan sangat relatif. Tergantung dari cara masing-masing orang menjaga gaya hidup atau memperhatikan kesehatannya.
Agar tidak menjadi suatu batasan yang asal menyasar kelompok usia 60-an, maka sebaiknya bukan batasan tetap yang berlaku. Dalam artian bahwa seseorang yang berusia 60 tahun ke atas tidak serta merta dilarang berkendara, melainkan ada prosedur tambahan apabila seseorang dari kelompok usia ini hendak memperpanjang kepemilikan surat izin berkendaranya.
Misalnya keharusan untuk ujian ulang terkait aspek-aspek kritis dalam berkendara serta pemeriksaan fungsi kognitif apakah yang bersangkutan masih layak atau tidak untuk berkendara.
Disamping itu, masa berlaku SIM untuk kelompok usia ini mungkin tidak bisa selama masa berlaku SIM pada umumnya.Apabila SIM “biasa” berlaku 5 tahun, maka khusus untuk kelompok usia 60 tahun ke atas berlaku Cuma 3 tahun atau 2.5 tahun saja atau berlaku gradual menurun untuk setiap peningkatan usia lansia.
Hal ini sebagai upaya preventif terhadap peningkatan risiko permasalahan kesehatan yang lebih rentan menyasar kelompok tersebut. Apabila ditemui ketidaklayakan untuk berkendara saat uji berkendara dilakukan maka SIM tidak bisa diterbitkan. Sehingga lansia yang memang tidak siap untuk berkendara tidak sampai menjadi sumber masalah lalu lintas di sekitarnya.
Salam hangat,
Agil S Habib
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.