Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Asep Setiawan

Jalur Neraka Cibiru dan Kegagalan Rekayasa Kota

Kolom | 2025-11-19 15:45:10
Source: tempo.co

Kecelakaan yang merenggut nyawa Rachel Nazwa (19) pada 24 Oktober 2025 kembali menegaskan bahwa Bundaran Cibiru, Bandung Timur, merupakan titik rawan lalu lintas yang belum tertangani secara serius. Mahasiswi UIN Sunan Gunung Djati Bandung itu tewas setelah motor ojek online yang ditumpanginya terjatuh ketika menghindari pejalan kaki dan langsung tertabrak mobil dari belakang. Kepolisian menyebut kondisi jalan licin akibat hujan memperparah situasi. Namun sulit menampik bahwa kecelakaan ini terjadi di simpang yang sejak lama dikenal macet, semrawut, dan tidak memiliki rekayasa lalu lintas yang mampu.

Peristiwa tersebut bukan kejadian tunggal. Ia mencerminkan rangkaian struktural yang ditetapkan pada perencanaan kota yang tidak adaptif, kepadatan aktivitas kawasan, dan ketiadaan manajemen lalu lintas berbasis data.

Lonjakan Mobilitas dan Kebijakan yang Tidak Jalan

Arus Kendaraan yang Dipaksa Bertemu

Bundaran Cibiru kini menampung arus kendaraan dari tiga koridor besar: Jalan Soekarno-Hatta, AH Nasution, dan Cibiru Wetan. Perubahan arah lalu lintas beberapa tahun lalu tidak diikuti kajian kapasitas bundaran. Pertemuan arus yang tinggi di ruang yang sempit membuat simpang bekerja jauh di atas kemampuan geometriknya.

Kepadatan Mahasiswa UIN

UIN Sunan Gunung Djati Bandung memiliki lebih dari 27.000 mahasiswa aktif. Sebagian besar menggunakan sepeda motor untuk mobilitas harian karena tidak tersedia transportasi umum feeder yang terintegrasi. Kampus yang tumbuh cepat ini menciptakan beban mobilitas besar yang tidak diantisipasi pemerintah kota. Pada jam masuk kuliah, ribuan kendaraan mahasiswa bermuara ke satu titik yang sama: Bundaran Cibiru.

Implementasi Kebijakan yang Tidak Optimal

Penelitian dari civitas akademika UIN menyebut bahwa kebijakan lalu lintas di Cibiru belum terlaksana secara optimal. Dokumen kebijakan ada, tetapi penerapan di lapangan minimal. Rambu tidak memadai, tanda memudar, dan manajemen arus tidak berbasis sensor ataupun perhitungan volume.

Infrastruktur yang Tidak Siap

Drainase di sekitar bundaran tidak optimal sehingga permukaan jalan mudah licin saat hujan. Pejalan kaki melintasi tanpa fasilitas aman, menciptakan situasi spontan yang memaksa pengendara mengerem secara tiba-tiba. Kondisi ini menjadi faktor pemicu dalam kecelakaan yang mengecewakan Rachel.

Tidak Ada Sistem Pengatur Arus Modern

Tidak ada lampu lalu lintas adaptif, slip jalur untuk visibilitas arus, atau sensor volume yang dapat mengatur durasi lampu hijau-merah secara otomatis. Semua arus—mobil, motor, kendaraan berat—bercampur tanpa segregasi. Dalam kondisi padat, risiko kecelakaan meningkat signifikan.

Kemacetan, Keterlambatan, dan Risiko Keselamatan

Kemacetan parah terjadi hampir setiap pagi dan sore. Pengendara motor sering berhenti mendadak untuk menghindari pejalan kaki. Mobil harus melambat untuk mencari celah di antara arus yang tidak pernah benar-benar tersusun. Waktu tempuh mahasiswa UIN dan pekerja dari kawasan Cibiru sering tidak disebutkan, kelancaran produktivitas harian.

Risiko kecelakaan semakin tinggi. Kasus Rachel menunjukkan bagaimana kombinasi permukaan jalan licin, arus padat, dan respon spontan dapat berubah menjadi fatal. Tanpa rekayasa arus yang baik, Bundaran Cibiru menjadi salah satu titik paling berbahaya di Bandung Timur.

Ekspansi Jangka Panjang: Kota Yang Tidak Efisien

Produktivitas Hilang

Waktu yang hilang akibat macet setiap hari adalah kerugian ekonomi dan sosial. Warga kehilangan jam produktif, pelajar kehilangan waktu belajar, dan dunia usaha mengalami keterlambatan pengiriman.

Polusi Udara Meningkat

Penelitian bioindikator lumut di sekitar Taman Bundaran Cibiru menunjukkan penurunan keanekaragaman lumut, menandakan kualitas udara memburuk. Lalu lintas padat dan kendaraan yang berhenti-berjalan berkontribusi pada polusi yang semakin tinggi.

Kepercayaan Publik Merosot

Ketika peristiwa fatal terjadi tanpa tindak perbaikan struktural, kepercayaan publik terhadap kemampuan pemerintah dalam mengelola kota ikut menurun. Muncul kesan bahwa persoalan mobilitas Bandung Timur tidak menjadi prioritas.

Solusi: Mendesak dan Realistis

Kondisi Bundaran Cibiru tidak akan membaik tanpa intervensi. Ada beberapa langkah mendesak yang harus segera dilakukan:

1. Redesain Bundaran Cibiru

Pemerintah kota perlu menata ulang geometri bundaran, memisahkan arus motor dan mobil, memperjelas marka, dan menambah jalur slip agar manuver belok tidak menghambat arus utama.

2. Jalur Pengurai Khusus Mahasiswa dan Terminal

Arus menuju UIN dan Terminal Cibiru sebaiknya dipisahkan melalui jalur alternatif. Pengurai arus ini dapat mengurangi beban putaran saat puncak mobilitas.

3. Sistem Lampu Lalu Lintas Adaptif

Penggunaan lampu lalu lintas berbasis sensor volume kendaraan menjadi kebutuhan yang mendesak. Teknologi ini memungkinkan durasi hijau dan merah menyesuaikan kondisi real-time.

4. Transportasi Feeder untuk Mahasiswa UIN

Pemerintah kota dan kampus perlu berkolaborasi menghadirkan angkutan feeder yang terhubung dengan organisasi mahasiswa. Dengan 27 ribu pelajar sebagai potensi pengguna, sistem ini dapat memangkas ketergantungan pada sepeda motor.

5. Transparansi Data dan Evaluasi Berkala

Dishub Kota Bandung harus membuka data kecelakaan, volume kendaraan, dan evaluasi rekayasa lalu lintas kepada publik. Tanpa data terbuka, kebijakan hanya menjadi wacana tanpa ukuran keberhasilan yang jelas.

Jangan Menunggu Korban Berikutnya

Kematian Rachel Nazwa adalah alarm keras bahwa Bundaran Cibiru tidak lagi bisa diperlakukan sebagai simpang biasa. Ia adalah titik kritis dengan beban mobilitas tinggi yang memerlukan intervensi teknis dan politik yang serius. Kota yang modern tidak hanya membangun gedung dan ruang publik, tetapi mengelola pergerakan warganya dengan cermat dan berbasis data.

Bandung tidak boleh menunggu korban berikutnya untuk memperbaiki manajemen lalu lintasnya. Keselamatan warga adalah tanggung jawab negara, dan Bundaran Cibiru harus menjadi titik awal keberanian pemerintah kota untuk berbenah.

Asep Setiawan Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image