Kenapa Kita Mudah Marah di Jalan? Peran Emotional Intelligence Saat Berkendara
Lainnnya | 2025-12-24 18:18:29
Pernahkah kalian merasa terpancing saat berkendara di jalan raya? Menurut Daniel Goleman, psikolog asal Amerika Serikat, kondisi ini erat kaitannya dengan emotional intelligence, yaitu kemampuan seseorang untuk mengenali, memahami, dan mengelola emosi diri sendiri maupun orang lain.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita memerlukan emotional intelligence atau kecerdasan emosional untuk mengendalikan emosi. Saat berkendara menuju sekolah, tempat kerja, atau tujuan yang lain, kita sering menjumpai pengendara yang tetap jalan saat lampu merah, membunyikan klakson padahal lampu baru berubah warna hijau, atau tidak berbelok sesuai dengan sein yang dinyalakan.
Kondisi ini sering menyalakan api amarah kita sehingga membuat kita kesal pada pengendara tersebut. Pada kondisi ini lah kecerdasan emosional dibutuhkan. Mengubah bagaimana respons yang seharusnya tidak kita lakukan selama berkendara demi keselamatan masing-masing.
Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana emotional intelligence atau kecerdasan emosional membantu pengendara merespons perilaku yang berisiko membahayakan keselamatan berkendara menurut (Holman & Popusoi, 2020).
Gaya pengendara yang umum ditemui
Sebelum kita membahas bagaimana emotional intelligence membantu kita dalam berkendara, mari lihat bagaimana tipe pengendara yang sering kita jumpai. Tipe pengendara yang mengemudi dengan banyak risiko demi sensasi kesenangan yang ia inginkan, pengendara dengan rasa marah dalam dirinya, pengendara dengan keraguan di dalam dirinya, mudah terdistraksi, serta pengendara yang tidak memedulikan aturan rambu lalu lintas.
Mengontrol emosi dengan cognitive reappraisal
Strategi ini dipraktikkan dengan mengubah cara pandang kita melihat situasi yang memicu emosi dalam diri. Contohnya adalah ketika terjebak macet, biasanya kita melihat peristiwa kemacetan sebagai kesalahan orang lain yang akan membuat kita terlambat. Dengan cognitive reappraisal, kita mengubah pandangan bahwa peristiwa kemacetan ini di luar kendali kita dan harus tetap tenang supaya tidak memperburuk situasi.
Strategi experiential avoidance
Berbeda dengan strategi cognitive reappraisal, cara ini justru dipraktikkan dengan menekan atau menghindari emosi yang muncul. Experiential avoidance membuat pelanggaran lalu lintas jarang dilakukan oleh pengemudi. Namun, di sisi lain cara ini kurang efektif untuk jangka panjang karena emosi yang ditekan bisa muncul tiba-tiba dan menyebabkan seseorang melakukan sesuatu hal yang bisa membahayakan pengendara lain. Contohnya ketika seseorang menyalip di jalan, kita lebih berpikir tidak ingin kesal dan melupakan rasa kesal tersebut.
Emosi yang muncul saat berkendara tidak dapat dihindari, tetapi cara kita meresponsnya dapat menentukan keselamatan diri sendiri dan orang lain. Dengan emotional intelligence, pengendara dapat memilih respons yang lebih tenang melalui cognitive reappraisal dibandingkan harus menekan emosi lewat cara experiential avoidance. Pada akhirnya, kembali lagi ke diri masing-masing, membiarkan emosi menguasai atau mengelolanya demi keselamatan bersama.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
