Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Adhyatnika Geusan Ulun

Model Pembelajaran PJBL

Edukasi | Tuesday, 30 Aug 2022, 19:46 WIB
H. Dadang A. Sapardan, Plt. Sekretaris Dinas Pendidikan Kab.Bandung Barat.

Oleh: Dadang A. Sapardan

Berdasarkan hasil penelitian, Indonesia menduduki peringkat yang rendah dalam hasil tes PISA tahun 2018. Untuk bidang matematika, Indonesia berada pada berperingkat 72 dari 78 negara yang berpartisipasi dalam PISA. Hasil yang kurang lebih sama ditunjukkan pula oleh hasil tes sains dan membaca.

Dari waktu ke waktu, nilai tes PISA Indonesia juga memperlihatkan tren stagnan. Tidak ada lonjakan peningkatan nilai selama periode 18 tahun pelaksanaan tes PISA. Namun demikian, selisih nilai peserta didik Indonesia dengan rerata nilai peserta didik negara-negara maju yang terhimpun dalam OECD menunjukkan tren pengurangan untuk semua bidang yang diujikan.

Selisih nilai matematika peserta didik Indonesia dengan negara-negara OECD sebesar 139 poin pada tahun 2000. Selisih nilai itu berkurang menjadi 115 poin pada tahun 2018. Sekalipun demikian, harus diakui masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh pemegang kebijakan pendidikan untuk melakukan peringkat dan nilai tes PISA dari siswa di Indonesia.

Upaya untuk mengangkat raihan nilai tes PISA ini tidak hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah semata dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebagai pemegang otoritatifnya. Upaya tersebut harus mendapat dukungan optimal dari berbagai pemangku kepentingan pendidikan, termasuk pemerintah daerah.

Dalam konteks ini, peran pelaku utama implementasi pendidikan yaitu satuan pendidikan benar-benar menjadi tumpuan utamanya. Seluruh pemangku kepentingan pada satuan pendidikan—kepala sekolah, pendidik, tenaga kependidikan, siswa, pengawas pembina, dan komite sekolah—harus berperan serta dalam mengangkat capaian tes PISA.

Kebijakan Merdeka Belajar yang digulirkan Kemendikbudristek salah satunya didasari oleh fakta tersebut, sehingga diarahkan pada upaya guna melakukan transformasi pendidikan Indonesia dalam mencapai Visi Pendidikan Indonesia.

Kebijakan pendidikan yang diterapkan saat ini diframing dalam Visi Pendidikan Indonesia dengan harapkan dapat mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya Pelajar Pancasila yang bernalar kritis, kreatif, mandiri, beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, bergotong royong, dan berkebhinekaan global. Sampai saat ini Merdeka Belajar yang digulirkan telah menginjak pada episode kesembilan belas.

Salah satu kebijakan Merdeka Belajar yang harus diimplementasikan oleh satuan pendidikan adalah implementasi Kurikulum Merdeka. Penerapannya diberlakukan oleh Mendikbudristek melalui Merdeka Belajar Episode Kelima Belas.

Sekalipun demikian, kurikulum tersebut sudah diterapkan sebelumnya pada berbagai satuan pendidikan yang menjadi bagian dari Program Sekolah Penggerak (PSP).PjBL dalam Implementasi Kurikuler.

Pada dasarnya, kurikulum yang digunakan oleh satuan pendidikan harus memampukan setiap guru dan peserta didik guna menjelajahi khazanah ilmu pengetahuan yang terus-menerus mengalami perkembangan. Pemegang kebijakan kurikulum tidak selayaknya membiarkan para guru dan peserta didik tetap berkutat dan terpenjara dalam khazanah keilmuan usang dangan model pembelajaran usang pula. Ketika kenyataan itu terus bertahan, dimungkinkan siswa akan mengalami kesulitan dalam mengakses khazanah keilmuan terbaru.

Untuk sampai pada hal itu, kurikulum yang diterapkan harus lebih mengajak guru agar dapat mendesain model pembelajaran yang tepat bagi siswanya. Para guru harus diajak untuk membuka wawasan dalam melaksanakan pembelajarannya sehingga pembelajaran yang dilakukannya dapat memberi ruang dan waktu bagi siswa untuk mengakses khazanah keilmuan terbaru.

Dalam pengorganisasian kurikulum yang dapat diterapkan oleh satuan pendidikan, minimal terdapat tiga pendekatan. Ketiga pendekatan dimaksud adalah kurikulum terpisah (separated subject curriculum), kurikulum korelasional (correlated curriculum), dan kurikulum integratif (integrative curriculum).

Kurikulum terpisah (separated subject curriculum) disajikan kepada peserta didik dalam bentuk subjek atau mata pelajaran yang terpisah satu dengan yang lainnya. Kurikulum ini dengan tegas memisahkan antara satu mata pelajaran dengan yang lainnya. Selama ini, kurikulum terpisah digunakan pada satuan pendidikan jenjang SMP, SMA, dan SMK.

Kurikulum korelasional (correlated curriculum) mengorelasikan beberapa mata pelajaran sehingga mata pelajaran yang satu memperkuat dan melengkapi mata pelajaran lainnya. Suatu mata pelajaran dihubungkan antara satu dengan lainnya sehingga tidak berdiri sendiri-sendiri.

Untuk memadukan antara pelajaran yang satu dengan yang lainnya, diperlukan kerja sama antarguru mata pelajaran. Salah satu penerapannya terjadi pada pembelajaran dengan pendekatan STEAM (Science, Technology, Engineering, Art, and Mathematic).

Kurikulum integratif (integrative curriculum) memadukan beberapa mata pelajaran ke dalam satu kesatuan. Kurikulum ini meniadakan batas-batas mata pelajaran. Unit-unit disatukan dalam kesamaan tema dengan isi materi yang saling berkaitan.

Tema-temanya diisi dengan sejumlah materi yang ada kaitannya dengan lingkungan, antara lain cara memelihara kesehatan lingkungan, makhluk hidup dalam suatu lingkungan, cara berbahasa, atau kebiasaan berolahraga.

Pengorganisasian kurikulum ini pada umumnya digunakan pada satuan pendidikan jenjang SD dengan istilah pendekatan tematik. Kurikulum yang diberlakukan sepatutnya memberi keleluasaan terhadap guru pada satuan pendidikan untuk mengorganisasikan model pembelajaran sesuai dengan konteksnya.

Organisasi pembelajaran tidak lagi diarahkan hanya menggunakan model pembelajaran seperti yang selama ini diterapkan. Setiap guru pada satuan pendidikan dimungkinkan dapat menerapkan organisasi pelajarannya dengan menggunakan model kreatif dan inovatif. Salah satunya, model Project Based Learning (PjBL) sebagai refleksi penerapan kurikulum korelasional.

Penerapan model pembelajaran PjBL ini merupakan langkah yang dapat dilakukan pada satuan pendidikan jenjang menengah (SMP atau SMA). Sedangkan satuan pendidikan jenjang dasar (SD) sudah terakomodasi dengan model pembelajaran tematik.

Mengacu pada pendapat Puskurbuk (2019) model pembelajaran PjBL adalah model pembelajaran yang mengorganisasikan pembelajaran dalam satu proyek tertentu. PjBL diawali dari kurikulum, berpusat agar siswa dapat mendeteksi ide dan teori mendasar dari ilmu yang sedang dipelajari, siswa terlibat aktif saat pencarian untuk pendalaman konsep, membimbing siswa secara intens sebagai aplikasi ilmu dalam kehidupan nyata.

Model pembelajaran ini dapat menggabungkan suatu konsep dari beberapa materi atau mata pelajaran menjadi satu proyek yang dirancang oleh guru. Dalam penerapannya terjadi lintas materi pelajaran atau lintas mata pelajaran.

Satu proyek yang diimplementasikan dapat dikaitan dengan banyak materi atau mata pelajaran. Dengan penerapan model ini terjadi integrasi antara pengetahuan, keterampilan, dan nilai yang memungkinkan siswa secara aktif menemukan konsep serta prinsip keilmuan secara holistik, bermakna, dan otentik.

Untuk mendorong kemampuan guru dalam menerapkan model pembelajaran PjBL, diperlukan intervensi dari berbagai pemangku kepentingan, baik pemangku kepentingan internal, maupun eksternal satuan pendidikan. Para guru harus diberi penguatan terkait penguatan konsep dan penerapan model pembelajaran PjBL serta penguatan substansi materi pelajaran yang sesuai dengan Standar Isi. Mereka harus terus didorong agar menjadi sosok berkompeten dalam mendesain model pembelajaran yang tepat bagi siswanya.

Simpulan

Berbagai upaya untuk mengangkat raihan nilai tes PISA terus dilakukan oleh Pemerintah dengan Kemendikbudristek sebagai motornya. Upaya tersebut tentunya harus mendapat dukungan optimal dari berbagai pemangku kepentingan pendidikan, termasuk pemerintah daerah. Dalam konteks ini, peran pelaku utama implementasi pendidikan yaitu satuan pendidikan benar-benar menjadi tumpuannya.

Seluruh pemangku kepentingan pada satuan pendidikan—kepala sekolah, pendidik, tenaga kependidikan, siswa, pengawas pembina, dan komite sekolah—harus berperan serta dalam mengangkat capaian tes PISA.

Salah satu upaya teknis yang dapat dilakukan satuan pendidikan adalah penerapan model pembelajaran Project Based Learning (PjBL). Model pembelajaran ini menggabungkan suatu konsep dari beberapa materi atau mata pelajaran menjadi satu proyek tertentu.

Dalam penerapannya terjadi lintas materi pelajaran atau lintas mata pelajaran. Satu proyek yang diimplementasikan dapat dikaitan dengan banyak materi atau mata pelajaran. Dengan penerapan model ini terjadi integrasi antara pengetahuan, keterampilan, dan nilai yang memungkinkan siswa secara aktif menemukan konsep serta prinsip keilmuan secara holistik, bermakna, dan otentik.

Untuk sampai pada kemampuan penerapan model pembelajaran tersebut, diperlukan dorongan dari berbagai pemangku kepentingan sehingga para guru dapat menerapkan model pembelajaran PjBL. Diperlukan intervensi dari berbagai pemangku kepentingan, sehingga para guru menjadi sosok berkompeten dalam mendesain model pembelajaran PjBL, termasuk model pembelajaran lain yang dianggap tepat bagi setiap siswanya. ***

Pewarta: Adhyatnika Geusan Ulun

Penulis adalah Plt. Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kepala Bidang Pembinaan SD Dinas Pendidikan Kab.Bandung Barat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image