Manusia yang Mulia, Manusia yang Durjana
Edukasi | 2022-08-23 10:49:58Pernahkah Anda mendengar orang-orang yang mendedikasikan hidupnya untuk merawat bumi? Mereka yang merelakan dan menelatenkan diri untuk membersihkan sampah di pantai, atau mereka yang bertekad menyulap hutan gundur agar hijau kembali. Mereka prihatin dan ingin berbuat untuk planet biru tempat mereka hidup dan beranak keturunan. Mengorbankan pikiran, tenaga, finansial, dan nyamannya hidup menyulutkan lentera harapan bagi bumi yang lebih baik untuk anak cucu. Sungguh mulia komitmen dan aksi mereka untuk merawat titipan Tuhan.
Namun di belahan bumi lain, bahkan dalam jarum jam yang sama, ada orang-orang besar yang demi menghimpun cuan tega mengeksploitasi alam dengan membabi buta. Mungkin menggunduli hingga membakar hutan, mencemari sungai dan pantai, membuat lubang-lubang raksasa demi mengeruk emas hingga batu bara. Apakah mereka pernah memikirkan dampak kerusakan ekosistem yang diakibatkannya, pernahkah mereka membayangkan apa jadinya nasib anak cucu kelak dengan warisan alam yang rusak? Jika hanya memburu cuan, merusak tanpa komitmen mengkonservasi, tidakkah mereka durjana?
Mari simak kisah lainnya.
Pertengah Agustus lalu, sebuah kisah tragis menimpa seorang perempuan di Tulungagung, Jawa Timur. Perempuan berusia 30 tahun ini mengalami luka kritis dan pingsan karena kecelakaan saat berboncengan dengan pelaku. Alih-alih membawa ke rumah sakit, pelaku malah membawa ke rumah korban, dan lantas memperkosanya. Keesokan harinya barulah korban dibawa ke rumah sakit oleh bos tempatnya bekerja. Tetapi tidak lama setelah menjalani perawatan, korban meninggal. Siapapun yang membaca berita ini pastilah sesak dadanya, berkontraksi otaknya, kok ada manusia setega itu ya?
Sekarang kita mundur lima tahun silam. 7 November 2017, sebuah persidangan kasus pembunuhan di Kentucky, AS, menyita perhatian publik. Sebuah adegan human interest yang benar-benar nyata dan membisukan hakim, para juri, pengacara, dan bahkan pelaku pembunuhan dan keluarganya.
Adalah sikap Abdul-Munim Sombat Jitmound, ayah dari korban pembunuhan, yang menjadi pemicunya. Dua setegah tahun sebelumnya, anaknya yang berprofesi sebagai pengantar pizza tewas dirampok oleh pelaku, Trey Alexander Reiford. Tetapi sesaat sebelum hakim membacakan putusan, Jitmound berdiri dan membuat pernyataan yang mengejutkan, ia menyatakan memaafkan Trey yang notabene telah membunuh anaknya, Salahuddin.
Jitmound yang seorang Muslim memilih memaafkan orang yang telah merampok dan membunuh anaknya, justru didorong oleh keyakinan agamanya, bahwa memaafkan adalah sedekah terbesar dalam Islam. Ini adalah sebuah kebaikan yang melampaui imajinasi kita. Bagaimana mungkin memaafkan begitu saja setelah apa yang dialami anaknya?
Ya begitulah potret dari dua wajah manusia. Satu sisi ada manusia-manusia yang begitu mulia berbuat untuk sesama dan bahkan lingkungannya, tetapi di sisi lain bumi yang menampilkan orang-orang durjana yang berdaya rusak bagi kemanusiaan dan semestanya. Sama-sama menyandang status manusia, sama-sama anak keturunan Adam, tetapi perilaku keduanya bak timur dan barat, seolah oposisi biner, saling menegasikan: sebenarnya, makhluk seperti apa sih manusia itu?
Sebagai makhluk, manusia sejatinya memegang predikat sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna; fisik, akal, dan rasanya. Dia dibekali akal sepaket dengan nafsu. Tetapi karena perilakunya manusia juga bisa terjatuh dalam derajat yang serendah-rendahnya.
“Sungguh kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.” (QS. At-Tin: 4-5).
Dengan akalnya manusia jauh melampaui binatang. Tetapi dengan perilakunya, ia juga potentially menjadi lebih buruk dari binatang, terutama ketika manusia tak mampu menggunakan akal, rasa hingga inderanya untuk membaca tanda-tanda dari Tuhan, yang yang tersurat (Alquran) maupun tersirat (hukum alam).
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf: 179)
Genalogis Manusia
Sebagai ciptaan yang sempurna, fitrah manusia sejatinya ditakdirkan untuk menjadi khalifah di muka bumi. Dua karakter lainnya, yakni malaikat dan iblis, bahkan dititahkan untuk mengakui keunggulan manusia. Bahwa pada kenyataannya ada manusia-manusia yang durjana, yang amat dzalim, bukankah kecemasan itu pula yang disampaikan para malaikat pada Tuhan. Sementara iblis juga memprotes status keunggulan manusia, dengan alasan gennya tak sebaik mereka.
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?". Tetapi Tuhan lantas memberikan jawaban preogratifnya. “Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Albaqarah: 30). Dan Tuhan karenanya membekali manusia dengan kemampuan memahami (mengenal nama-nama benda) melalui akalnya, sepaket dengan nafsu agar membantunya berhasrat dan bermimpi untuk bertumbuh kembang berdaya kreasi.
Allah seolah ingin menegaskan bahwa manusia bukanlah makhluk dengan watak yang konstan seperti halnya iblis dan malaikat. Manusia bukan malaikat yang selalu benar, bukan pula iblis yang selalu salah. Manusia adalah makhluk dengan kedirian yang teramat dinamis, ia bersifat potentially. Seorang manusia bisa melampaui kemuliaan malaikat, tetapi berpeluang pula menjadi lebih hina dari iblis.
Dengan potensinya yang melampaui malaikat (akal) dan iblis (nafsu), maka idealnya manusia adalah beyond capitalism and socialism. Itulah fitrah genealogis manusia. Ia tak bisa menjadi kapitalis an sich, yang meskipun bertumbuh kembang pesat, maju, tetapi berpotensi menjadi serakah dan eksploitatif. Sebaliknya, manusia juga tidak cukup hanya menjadi sosialis yang mentahbiskan kemuliaan hidup bersama tetapi mengingkari fitrah dirinya yang ingin memiliki, ingin berkuasa, dan sekawannya.
Kesempurnaan manusia bukanlah karena ia tak pernah berbuat khilaf dan alpa, selalu terjaga dalam kebaikan (malaikat). Ia bisa salah dan berbuat dosa, tetapi juga tidak melulu salah (iblis). Manusia disebut sempurna karena istighfar dan taubat, yakni ketika berbuat salah segera menginsafi dan kembali ke jalur fitrahnya. []
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.