Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Redaksi

Memaknai Ranup bagi Masyarakat Aceh

Sejarah | Monday, 08 Aug 2022, 20:36 WIB
Oleh Rahmad Andrian

Seorang anak dara di Aceh dianggap telah sah menjadi calon istri, setelah diantar Ranup oleh keluarga laki-laki ke rumah sang calon mempelai wanita

Ranup, dalam bahasa Indonesia lazim disebut dengan daun sirih, adalah jenis tanaman menjalar yang sering ditanam warga di halaman rumah, dan tidak jarang merangkainya ke tanaman lain seperti pohon jambu, pohon kedondong, pohon jeruk dan pohon yang memiliki tekstur sedang atau membuat kerangka untuk tempat Ranup menjalar.

Ranup sering dijadikan sebagai bahan ramuan pengobatan tradisional misalnya, untuk membersihkan mata dari kotoran debu, sebagai media untuk mengusir makhluk halus yang dianggap mengganggu kehidupan warga, bahan untuk mengurut persendian yang terkilir dan tidak jarang digunakan obat tradisional untuk meringankan rasa sakit akibat saraf tejepit.

Pada beberapa daerah, Ranup atau daun sirih sering dijadikan sebagai bahan makanan cemilan. Bagi warga Aceh Ranup tidak lagi menjadi cemilan yang langka, sambil melangkah di beberapa tempat mereka tidak sungkan mengunyah Ranup atau daun sirih baik kaum laki-laki, apalagi kaum wanita. Setelah dimodifikasi sedemikian rupa dengan kemasan menarik dan campuran berbagai bahan makanan lainnya, Ranup dapat menciptakan cita rasa yang variatif sehingga banyak disukai masyarakat dari berbagai lapisan usia.

Benda ini dari dulu mudah dijumpai di sekitar lingkungan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, yang dijual dengan harga 3-5 kemasan Rp2.000. Dalam setiap kemasan telah diramu dengan campuran buah pinang, cengkeh, kulit manis, kapur sirih, gula merah.

Terkait pilihan rasa tentunya dapat dipesan dari penjual yang mahir merangkai rasa ranup. Beberapa kawasan terminal di Aceh seperti terminal Bathoh Banda Aceh, Lambaro Aceh Besar, terminal Lhokseumawe dan Langsa, makanan cemilan ini banyak dijual yang dibungkus dalam kemasan plastik yang rapi, sehingga untuk mengkonsumsinya lebih praktis dan higeinis.

Bagi masyarakat Karo, Masyarakat Simalungun, masyarakat Batak di Sumatera Utara, masyarakat Tomohon, suku Asmat dan beberapa daerah lainnya di Indonesia, Ranup atau daun sirih juga sering dimanfaatkan sebagai media pengobatan tradisional dan sebagai bahan makanan cemilan. Namun pemanfaatannya memiliki makna yang berbeda. Misalnya untuk masyarakat Karo, Simalungun, Tomohon sering digunakan memperkuat keutuhan gigi sehingga yang mengkonsumsinya lebih terbatas pada golongan usia setengah baya.

Ranup Bagi Masyarakat Aceh

Penyanyi kawakan Aceh T. Rafli bersuara merdu tidak kuasa menyembunyikan kekagumannya tentang makna ranupatau daun sirih dalam kehidupankearifan lokal masyarakat Aceh. Sebagian dari syair lagu yang berjudul “Ranup” yang didendangkan T. Rafli tersebut melukiskan kata;

piyoeh piyoeh, (singgah-singgah); neucoek Ranup nyoepat hai, (ambil sirih disini ada); Ranup neupajoeh tanda mulia (sirih dimakan tandanya mulia/penghargaan);

Peunajoeh Aceh meumacam bagoe (makanan orang aceh bermacam-macam); peunajoeh jameun sampoe inoeha(makanan tempo dulu sampai sekarang); Ranup seulaseh ngoen pineungmawoe(sirih selaseh sama pinang menjadi wangi); jampu ngoen gambe lengkap keu syarat (dicampur gambir lengkap syaratnya);

Ranup lam bate peumulia jame(sirih dalam cerana memuliakan tamu); adat geutanyoe keu jame teuka(adat orang aceh menyambut tamu yang datang); neu ci pajoeh si gapu ile(cobalahcicipi/dirasa sekapurdulu); le Ranup klat jeut keu peunawa (air sirih kelat bisa jadi penawar).

Dari syair lagu ini menggambarkan Ranup yang disajikan kepada tamu atau sudah dimakan menjadi salah satu media penghargaan dalam memuliakan tamu. Ranup-pundikreasi ke dalam tarian khas Aceh yang kesohor dengan nama tarianRanup Lampuan. Tari ini menggambarkan pemuliaan terhadap tamu.

Istilah Ranup sigapu juga sering kita jumpai dalam banyak buku literatur yang menggambarkan adat Aceh sebagai bentuk pemuliaan. Ranup menjadi simbol prosesi atau mengawali setiap kegiatan. Intinya ranup dijadikan sebagai lambang sikap untuk menjunjung nilai kebersamaan dan kerukunan hidup yang dilengkapi dalam satu wadah yang disebut dengan puan(piring sirih). Jadi antara Ranup (daun sirih) dan puan (piring sirih) adalah satu kesatuan. Dalam manuskrip adat Aceh dianggap dua hal yang tidak terpisahkan.

Begitu tingginya rasa penghargaan masyarakat Aceh kepada tamunya, sehingga dalam bentuk rumah Aceh yang asli menggambarkan pintu masuknya dalam ketinggian yang terbatas sehingga bagi tamu yang akan masuk ke dalam rumah harus menundukkan kepala sambil mengucapkan salam kepada tuan rumah.

Lalu dalam menerima tamu, sang tuan rumah biasanya duduk di atas tikar dan bukan di kursi. Posisi duduk diatas tikar diposisikan sedemikian rapat sehingga lutut saling bersentuhan yang menggambarkan kedekatan antara tamu dengan sang tuan rumah. Kepada setiap tamu yang datang, sang tuan rumah akan memuliakannya dengan menyuguhkan Ranup sebagai lambang penghargaan.

Tempo dulu, Ranup juga digunakan untuk mengundang orang saat ada acara hajatan. Orang yang akan mengadakan acara hajatan, biasanya akan mendatangi setiap rumah untuk mengundang dengan membawa sirih, termasuk dalam adat perkawinan. Sirih akan dijadikan sebagai salah satu media yang sangat penting. Mulai dari acara lamaran, hingga acara antar pengantin baik lintobaro (mengantar mempelai laki-laki) maupun dara baro(mengantar anak perempuan).

Seorang anak dara atau gadis di Aceh dianggap telah sah menjadi calon istri, setelah diantar Ranup oleh keluarga laki-laki ke rumah sang calon mempelai wanita. Jadi, bagi dara atau gadis Aceh menjadi suatu pertanda telah ada calon suami dari sang dara yang ditandai acara antar sirih, di dalam bungkusan sirih biasanya juga dibarengi dengan emas dan kain sebagai lamaran.

Pada masa kesultanan Aceh, Ranup atau daun sirih juga memiliki peranan yang penting bukan hanya sebagai bahan konsumsi atau cemilan, bahan pengobatan atau media adat akan tetapi juga dipergunakan dalam upacara-upacara kebesaran Sultan. Dalam perkembangannya, Ranup juga menempati peranan penting dalam sistem tatanan kehidupan adat masyarakat Aceh, termasuk dalam acara hajatan sunat rasul, masuk rumah baru, acara penguburan mayat, bahkan dijadikan sebagai media untuk menyelesaikan pertikaian antar warga atau antar kelompok warga.

Dalam perjalanan sejarah Aceh, tidak lepas dari fluktuasi gejolakkeamanan. Aceh pernahmenyandang status Daerah Operasi Militer (DOM) 1989-1998, memaksa beberapa etnis non Aceh melakukan eksodus ke daerah lain. Eksodus besar-besaran, konon berlangsung hingga penandatanganan MoU antara NKRI – GAM tahun 2006 di Helsynki-Filandia.

Stagnasi sosial yang dialami masyarakat Aceh saat menyandang status Daerah Opersai Militer (DOM), sangat sulit untuk membedakan siapa yang menjadi kawan ataupun lawan. Doktrin militerlekat dengan alasan untuk memburu pasukan Gerakan Aceh Merdeka. Penanganan gejolak sosial melalui pendekatan militer berpengaruh terhadap konflik horizontal. Penetapan status DOM dari tahun 1989 sampai dengan tahun 1998 menyebabkan terjadinya pelbagai kekerasan,pelanggaran HAM, yang menyebabkan rakyat Aceh menderita.

Pepatah lama mengatakan, “pengalaman adalah guru yang paling baik”. Belajar dari pengalaman masa lalu Aceh dengan kedigdayaannya di masa Kesultanan, mari kita jadikan sebagai contoh untuk membangun kebersamaan dalam menjaga kerukunan, keamanan dan ketertiban dengan menjadikan Ranup sebagai media pemersatu sesuai dengan tatanan adat dan hukum yang berlaku di Tanah Rencong. Pengalaman pahit dimasa konflik bersenjata, yang sempat memporak-porandakan sendi-sendi kehidupan masyarakat, semoga tidak terulang kembali. Amin...

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image