Pulau Sebatik sebagai Halaman Belakang Indonesia
Eduaksi | 2022-07-24 15:31:39Pulau Sebatik yang berbatasan langsung dengan Tawau, Malaysia sering kali luput dari perhatian Pemerintah Indonesia. Pada Juni 2019, sekitar 2,16 km lahan di desa Sebereng Pulau Sebatik dinyatakan telah masuk wilayah administratif Malaysia. 44 warga kehilangan lahannya karena di desa tersebut wilayah teritorial yang berbatasan langsung negara tetangga hanya dibatasi menggunakan patok. Akibatnya, warga yang merasa dirugikan terlibat adu cekcok dengan warga Malaysia yang hendak menggarap lahan tersebut.
Pemerintah Indonesia perlu menetapkan kebijakan dan pasal-pasal mengenai aturan wilayah negara khususnya pemerintah pusat dan daerah karena masih terlihat belum jelasnya batas-batas teritorial seperti Batas Zona Ekonomi (ZEE) dan Batas Laut Teritorial (BLT) di pulau Sebatik. Belum jelasnya batas-batas teritorial seperti Batas Zona Ekonomi (ZEE) dan Batas Laut Teritorial (BLT) di pulau yang terletak di sebelah timur laut Kalimantan tersebut tentu dapat mengancam stabilitas keamanan dan ketahanan nasional.
Dalam kacamata perspektif realis, keberadaan Malaysia sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Pulau Sebatik dikhawatirkan akan menimbulkan negative peace. Negative peace ini dapat berupa rasa kecurigaan masyarakat di pulau terluar dan terdepan di Indonesia ini terhadap segala perilaku negara Malaysia sehingga mengancam kedaulatan nasional yang berdampak besar pada kepentingan nasional Indonesia di sistem internasional maupun di wilayah konflik tersebut
Pemerintah Daerah juga perlu aktif dalam mengantisipasi berbagai konflik dan menjadi perantara dalam mengawal kebijakan pemerintah pusat selaku penyelenggara negara guna mewujudkan masyarakat yang aman dari segala aktivitas yang mengancam keamanan masyarakatnya. Keamanan pada kawasan perbatasan perlu terus diupayakan agar tidak mewujudkan daerah perbatasan sebagai jalan tikus dari kejahatan transnasional. Mengingat pula kondisi geografis negara Indonesia yang merupakan negara maritim dengan dikelilingi ratusan bahkan ribuan pulau dan negara-negara lain yang kerap kali dijadikan sebagai pintu kecil kejahatan transnasional. Kerjasama hukum antar negara yang optimal juga diperlukan supaya kejahatan transnasional tidak terjadi di kedua negara.
Keberadaan wilayah perbatasan Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga nampaknya belum diaplikasikan secara baik pada regulasi yang ada. Padahal jika dilihat dari perspektif realis, Indonesia sebagai aktor negara yang juga merupakan aktor utama perlu mendorong kekuasaan dalam upaya mengejar kepentingan nasional. Dalam hal ini Indonesia harus memperkuat kawasan perbatasan yang ada demi mencegah ancaman kedaulatan negara.
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 25A. Indonesia juga ditetapkan sebagai negara kepulauan terbesar keempat di dunia. Banyaknya pulau di Indonesia belum diketahui persis jumlahnya, namun diperkirakan terdapat 17.491 pulau yang telah divalidasi oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). 92 diantaranya berbatasan langsung dengan negara lain seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Timor Leste, Australia dan masih banyak lagi.
Tidak adanya peraturan yang berpihak kepada kawasan perbatasan yang terisolasi ditambah pengembangan kawasan terisolasi yang belum efektif menimbulkan stigma kepada daerah perbatasan jika daerah ini hanyalah sebagai halaman belakang yang belum menjadi prioritas negara. Perlu adanya teknologi tepat guna sebagai upaya peningkatan program pemberdayaan masyarakat guna meningkatkan kualitas produksi yang dihasilkan dari pulau-pulau terluar di Indonesia termasuk Pulau Sebatik yang diharapkan juga mampu mengurangi angka kemiskinan di wilayah perbatasan di Indonesia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.