Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Taufiq Izhar

Menyudahi Sengkarut Permendikbud

Politik | Saturday, 13 Nov 2021, 19:58 WIB

Mendikbudristek, Nadiem Makarim mengeluarkan aturan tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual No. 30/2021. Aturan tersebut bertujuan mencegah dan menangani kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.

Dalam Permendikbudristek PPKS ini ditekankan bagaimana mencegah terjadinya kekerasan seksual di kampus, bagaimana mendampingi korban kekerasan seksual, serta penerapan sanksi administratif bagi pelaku. Secara umum, aturan ini sangat bagus untuk mencegah terjadinya masalah kekerasan seksual. Hal ini terlihat dari pemberian sanksi serta keberpihakan terhadap korban.

Bagi masyarakat yang sejak awal mendambakan disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) pasti menyambut baik aturan Nadiem. Secara, kekerasan seksual memang menjadi problem yang tak kunjung dituntaskan karena tidak optimalnya penegakan hukum.

Di sisi lain, pihak yang selama ini mengkritik RUU PKS bisa dipastikan juga mengkritik Permendikbud PPKS. Karena permasalahan dalam RUU PKS juga diangkat dalam aturan Kemendikbudristek. Yakni terkait klausul "tanpa persetujuan korban".

Klausul di atas dalam Permendikbudristek ditulis di Pasal 5 ayat 2. Lantas di ayat 3 memaparkan tentang 7 kondisi bagaimana klausul "persetujuan korban" itu tidak sah. Contoh penyebab "persetujuan korban" tidak sah adalah jika korban merupakan anak yang belum dewasa menurut aturan perundang-undangan dan apabila korban di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol atau narkoba.

Maknanya, meski seorang anak di bawah umur melakukan kegiatan seksual dengan persetujuan, tindakan tersebut tetap digolongkan sebagai kekerasan seksual. Demikian pula jika korban sedang dalam kondisi mabuk misalnya.

Akan tetapi, jika pasal 5 ayat 3 ditafsirkan secara a contrario, maka kondisi di luar pasal itu diperbolehkan. Misalnya seorang pria memegang tubuh wanita (keduanya dewasa) dengan penuh kesadaran, meski tanpa ikatan pernikahan maka bukan kekerasan seksual.

Memang Permendikbud ini tidak secara eksplisit tertulis membolehkan zina atau memegang tubuh lawan jenis tanpa ikatan. Namun, aturan tersebut menjadi legitimasi bahwa selama suka sama suka, maka tidak masalah. Padahal permasalahan seksual tidak hanya sebatas soal suka sama suka atau tidak. Tapi lebih mendasar dari itu, apakah keduanya memiliki ikatan yang sah atau tidak.

Kalau ada yang bilang bahwa suka sama suka bukan kekerasan seksual, tapi tetap bertentangan dengan etika dan moral. Ini justru paradoks. Bagaimana mungkin membicarakan etika dan moral tapi setuju dengan klausul "tanpa persetujuan korban". Penerimaan terhadap klausul tersebut, artinya setuju adanya suka sama suka.

Yang lebih lucu lagi jika ada yang menganggap penolak Permendikbud sama dengan setuju terhadap kekerasan seksual. Logika ini kacau karena penolakan didasarkan pada analisis terhadap formil dan materiil aturan tersebut. Bukan menolak dihilangkannya kekerasan seksual.

Dengan demikian, lebih baik aturan ini direvisi. Mengingat adanya penolakan yang cukup besar, terutama dari Ormas Islam, Misalnya Muhammadiyah. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga melayangkan penolakan, bahkan jika perlu dicabut. Masukan dari elemen warga negara ini perlu diserap dan diimplementasikan oleh Nadiem. Aturan yang secara umum sudah baik itu bisa disempurkan lewat masukan Ormas Islam. Dengan demikiran, ribut sengkarut Permendikbud ini bisa disudahi.

Kedepan, Kemendikbud perlu lebih hati-hati dalam membuat aturan. Pelibatan elemen masyarakat, mendengar para ahli, serta menyerap aspirasi akademisi merupakan kunci keluarnya aturan yang sesuai kebutuhan masyarakat. Jangan sampai masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembuatan, lantas tak digubris ketika ada penolakan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image