Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Agus Nurcholis Saleh

Kematian adalah Tujuan

Agama | Tuesday, 02 Nov 2021, 21:51 WIB

JIKA seseorang harus bertanya, apakah yang harus ditanyakan? Tidak banyak yang siap merespon dengan segera. Pertanyaannya apa ya? Banyak yang geleng kepala. Selebihnya “Saya tidak tahu, Saya tidak akan bertanya, nanti ya Saya cari dulu pertanyaannya.

Setelah sekian bulan dicari, terkumpullah seribu tanya. Diantara banyak pilihan kalimat tanya, yang paling mudah adalah MAU KEMANA. Mau ke pasar cari makanan, mau ke sekolah, mau mencari makan, mau pulang ke rumah, mau bekerja, dan mau-mau lainnya.

Orang bebas mau pergi kemana, mau mengerjakan apa, termasuk tidak melakukan apa-apa. Meskipun tidak disuka, orang bebas berleha-leha. Mau tidur sepanjang masa, tidak masalah juga. Pribadinya sendiri yang harus merasa bahwa dirinya merasa gerah dan bermasalah.

Celakanya, jika sudah salah arah, ada malas untuk kembali karena jarak terlalu jauh, dan melelahkan. Jika penilaian datang dari orang lain, belum tentu diterima dengan lapang dada. Kalau sendirinya yang mencari kesadaran, entah kapan akan mencapai tujuan.

Itulah sebabnya Allah menghadirkan peringatan. Selalu, di setiap waktu. Bukan dalam ukuran hari, tapi hitungannya detik. Silahkan raba-raba di anggota badan, mana diantaranya yang berdetak, yang kalau berhenti maka berakhir pula hidup dan kesempatannya di dunia.

Peringatan itu untuk kesadaran, termasuk peringatan dalam bentuk pertanyaan. Ada yang ingin dinaikkan kemuliaannya, tapi ujiannya tidak ingin diselesaikan. Terhadap pertanyaan-pertanyaan, tidak ada jawaban untuk diisikan karena pikiran jarang diberdayakan.

Kesempurnaan pun tercicil, sedikit demi sedikit terbuang. Sebagian besar waktu dialokasikan untuk kesementaraan. Hidup yang abadi tidak pernah menjadi urusan, apalagi diprioritaskan. Setelah dibangun, manusia lupa menjaga dan memelihara kebaikan.

Dunia adalah ujian. Sebagian besar manusia terlena oleh dunia. Dikejarlah sebisa-bisa. Dunia pun sangat senang dan gembira. Kejarlah daku, kau kan tertipu. Manusia dihalang-halangi untuk mencapai yang sejati. Allah pun semakin sulit didatangi. Manusia pun ditunggu mati.

Saat diuji, respon manusia bermacam-macam. Setidaknya, ada dua kelompok manusia dalam menghadapi ujian. Pertama, ada orang yang serius menghadapinya dengan berbagai persiapan. Kedua, banyak manusia yang menghindar dan tidak memperhatikan.

Keberadaan persiapan (planning) adalah pembeda antara keduanya. Kepada yang pertama, “Kenapa harus serius-serius amat?” begitulah kebanyakan menyatakan. Sebuah pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban, karena yang bertanya memilih lari dari kenyataan.

Pertanyaan itu menjadi basa-basi. Pihak yang ditanya pun tak merasa harus serius menjawabnya. Cukup dengan memperhatikan yang bertanya, kemudian hadiahi senyuman. Setelah itu, lengkapi dengan gestur yang membuat penanya senang.

Dalam serius, tentu dibutuhkan energi. Tapi bagi yang melarikan diri, energinya harus lebih banyak lagi. Tubuh ini sudah disiapkan untuk menahan berbagai gempuran. Tapi kenapa tidak sedia menghadapi ujian? Kalau besaran energi yang dikeluarkan sama, kenapa?

Betapa Allah sangat sayang. Ujian pun disederhanakan. Ujian itu tidak berupa essay. Ujian yang diberikan oleh Allah berupa PG alias pilihan ganda. Manusia tinggal klik sekali dari alternatif-alternatif jawaban yang telah disediakan. Ujiannya mudah sekali.

Ternyata, manusia memilih kesukaran. Katanya, soal yang mudah itu sama dengan “pelecehan”. Kepada perempuan, baju yang longgar itu untuk keselamatan. Permak pun mendapat rejeki dadakan. Wanita berbaju pun seperti tak menggunakan pakaian.

Itulah respon manusia-manusia tak berpengetahuan. Mereka hanya punya keinginan, tapi tidak untuk merespon kebutuhan. Yes, profesional. Tapi fokus mereka untuk dunia yang sesaat bukan untuk keabadian di akhirat. Yes, wajar. Itulah akibat memelihara kebodohan.

Betapa Allah telah bebeakan, demi manusia yang disempurnakan. Semua bekal telah diberikan, supaya semua lulus dalam setiap ujian, supaya manusia mampu memilih dan tidak salah dalam menentukan. Dadanya telah dilapangkan. Pikirannya telah dijernihkan.

Bekal yang paling mendasar adalah tubuh yang menopang. Selanjutnya indera untuk bergerak, supaya manusia lurus dalam perjalanan. Allah hanya menitip pesan, “Wahai manusia, tolong indera-indera tersebut digunakan supaya tidak menemui kematian.”

Diantara yang pertama, indera manusia meminta untuk dilatih dan berdaya. Manusia boleh memilih antara mendengarkan atau membaca. Setelah itu, manusia dipersilahkan untuk berpikir. Hal itu sebuah keharusan karena ada otak yang harus diberdayakan.

Untuk mendapatkan hasil dari kegiatan berpikir, maka manusia harus melanjutkan kegiatan. Manusia diberi tiga pilihan, dan pilihan itu sekedar urutan, bukan dipilih satu dan yang dua dihilangkan. Itulah menulis, berbicara, dan berkarya di selain tulisan dan pembicaraan.

Dalam mencipta karya, jangan lupa bertanya dan mempertanyakan, “Kita sedang apa? Mau kemana? Apa yang kita dapatkan?” Atau dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang mengingatkan kita tentang sebuah tujuan. Untuk setiap jawaban, yakinkan dengan perasaan.

Tanpa tujuan, manusia sedang memilih untuk menghancurkan. Tentu, prosesnya pelan-pelan. Kehancuran itu pasti, dan manusia tidak bisa merasakan. Kata Allah, banyak manusia yang tidak menyadari bahwa kerusakan pada dirinya diakibatkan oleh perilakunya.

Hari ini sedang apa? Besok mau kemana? Kemarin mendapatkan apa? Uniknya manusia, kalau bisa dipermudah kenapa dipersulit. Tapi itu dalam harapan. Secara nyata, kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah? Dada yang lapang pun menjadi sempit.

Allah telah memberi ukuran yang paling baik untuk manusia. Tapi manusia menjauhkan diri dari pilihan Allah tersebut. Manusia merasa bisa dengan sendirinya. Padahal, kebodohan itu yang telah mengubahnya dari perfekto menjadi ‘itu mah bareto’.

Manusia tidak menyadari bahwa tujuan dari segalanya adalah mati. Allah mempersilahkan manusia untuk tidak mempercayai-Nya. Tapi kepada kematian, siapakah manusia yang bisa menghindarkan dari ‘kejaran’ mati? Setiap hari ada saja yang mati. Masihkah buta hati?

Kematian adalah kuasa Allah. Siapakah yang memerintahkan bahwa yang hidup harus mengurusi orang mati? Jika tidak ada perintah, maka semesta ini akan dipenuhi oleh mayat-mayat bergeletakan. Kemudian, mati pun menjadi bisnis yang menjanjikan.

Tapi dalam Islam, kematian tidak boleh menjadi bisnis, meskipun potensinya menggiurkan. Memang, agama sangat profitable untuk diperjualbelikan. Tapi kematian adalah penanda siapa telah mengerjakan apa, dan menjadi bukti dari amalan si mati di sepanjang hidupnya.

Kematian adalah akhir dari kehidupan. Manusia sudah tidak memiliki lagi rejeki yang bisa dikonsumsi. Batas rejekinya di detik kematian. Meskipun sengsara oleh kesulitan makan, manusia tidak akan dimatikan selagi rejeki masih berada dalam tulisan (qada).

Kematian adalah kebersihan dan kesucian. Dimandikan, dibajukan, dishalatkan, dan diantar ke kuburan. Bajunya harus putih kain tanpa jahitan. Diawali dengan adzan dan iqamat, maka akhir hidupnya diiringi takbir para pelayat. Dimanakah para keluarga dekat?

Dalam kematian, sangat banyak nasihat yang harus diambil hikmahnya. Andai pelayat tidak mendapatkan pelajaran, perasaan dan hatinya telah lama mati. Berarti, hidupnya telah lama sekali dipimpin oleh hawa. Itulah emosi yang tidak terpandu oleh akal budi.

Dalam mandi, pikirkan tentang dimandikan. Saat berbisnis dan kesibukan, tempat mandi pun sangat mewah dan berlebihan. Saat terbujur kaku, sabun pun terserah yang memandikan. Tak berdaya untuk menggerakkan, dan menyerahkan diri pada yang selama ini disakiti.

Dalam kafan, tubuh manusia menjadi kaku. Wawangian yang selama ini branded, saat itu menyerah pasrah pada bebauan khas kuburan. Jika si penggotong menimbulkan kesakitan, apa daya tak mampu sedikitpun mengatakan. Apalagi marah-marah seperti kebiasaan.

Dalam shalat, ia sedang dijadikan pelajaran. Kepada para pelayat, ia harus berterima kasih telah membantunya dalam pengabdian terakhir. Apa sih yang harus dibanggakan?

Hidup ini bertujuan. Apakah kita telah mengumpulkan bekal untuk sampai tujuan? Selagi nyawa masih dikandung badan, mari kita serius untuk mempersiapkan. Jangan sia-siakan kesempatan, sebelum penyesalan berkepanjangan. Wallahu a’lam.

Agus Nurcholis Saleh

Dosen Hukum Keluarga Islam di Universitas Mathla’ul Anwar Pandeglang

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image