Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syaeful Cahyadi

Pak Gondo yang Terbangun di 2021

Sastra | Sunday, 31 Oct 2021, 11:25 WIB
Ilustrasi stasiun (sumber gambar: republika.co.id)

Pria itu gelagapan, tangannya bergerak-gerak meraih udara seperti orang tenggelam. Lalu lalang orang di sebuah stasiun kereta Tuban tidak menganggunya. Ia kucek-kucek matanya sembari merenggangkan punggung. Sesekali ia lepas liarkan matanya demi mengamati keadaan sekitar.

"Aduh, saya bisa terlambat ini," keluhnya sembari bergegas menenteng tas kulit dan memakai kopiah. Setelan pantalonnya tampak lusuh karena lama tertidur. Dilangkahkan kakinya menuju kereta terakhir tujuan Yogyakarta.

Di sepanjang jalan, ia kagum sekalipus bingung dengan segala rupa pemandangan sekitar. Tidak ada lagi polisi Belanda dan para cecunguk pribumi. Kereta yang ia naiki pun sangat lenggang, semua orang bisa duduk tenang, tidak perlu berdiri. Sementara di luar sana, tidak ada lagi pemandangan bocah kecil bertelanjang dada, hilir mudik dokar, atau para priyayi sedang berburu.

Satu hal yang Pak Gondo ingat, esok lusa, 28 Oktober, ia sudah harus berada di gedung Indonesische Club, Batavia untuk memimpin kongres. Untuk itulah ia bergegas ke Jogja untuk mendatangi kawannya sebelum bertolak ke Batavia bersama-sama.

Setelah menempuh perjalanan berkereta lebih cepat dibanding biasanya, Pak Gondo bergerak menyambangi organisasi-organisasi kepemudaan di Jogja. Beberapa hal membuatnya kaget. Anak-anak muda itu tidak tampak seperti yang ia kenal. Banyak dari mereka lebih suka mengobrolkan hal-hal yang tidak Pak Gondo ketahui dibandingkan memperbicangkan soal kenegaraan. Pakaian mereka pun tampak lebih necis dibandingkan para noni Belanda sekalipun.

Pak Gondo lebih kaget ketika mengetahui para tetua organisasi kepemudaan di Jogja sudah tidak lagi aktif mendampingi anggota-anggota mereka.

“Ada yang sudah jadi bintang iklan, Pak,” sahut seorang di antara mereka.

“Ada yang sudah jadi komisaris jawatan, Pak,” seru seseorang lainnya.

“Ha? Menjadi komisaris jawatan? Lelucon macam ini!” umpat Pak Gondo. Sementara, rekan-rekan sejawatnya yang memilih bekerjasama dengan pemerintah Hindia Belanda pun dianggap sangatlah tabu. Tapi, kini ia mendengar sendiri dari anak-anak muda Jogja jika beberapa tetua organisasi malah bertekuk lutut dengan menjadi komisaris jawatan.

Dan dengan penuh kecewa, Pak Gondo memutuskan berangkat sendiri ke Batavia. Sebelumnya, ia sempatkan menengok gedung AMS afdeling B tempat ia pernah bersekolah beberapa tahun silam. Yang ia temukan kemudian tidak lebih dari sebuah gedung dan sudah jauh berbeda dibanding saat ia sekolah di sana. Tidak ada lagi pemandangan siswa AMS sedang berdiskusi, yang ada hanyalah sepinya ruang kelas. “Kami masih belajar online, Pak,” terang seorang wanita dan Pak Gondo semakin bingung saja.

Dalam perjalanan berkereta ke Batavia, ia rumuskan lagi hal-hal apa saja yang besok harus ia bahas di depan kongres. Pergerakan kemerdekaan sudah sedemikian luas dan menggelora. Setiap daerah sudah menciptakan jong-nya masing-masing. Kasak-kusuk ia dengar, kongres kedua ini akan membuat sebuah komitmen bersama demi menguatkan nuansa persatuan dan nasionalisme di tanah jajahan ini.

Tapi, sebentar, kenapa layar kaca di kereta sudah menampilkan pesan selamat hari sumpah pemuda? Apa itu sumpah pemuda? Kenapa beberapa bagiannya mirip dengan kasak-kusuk para aktivis kemerdekaan sejawatnya? Tahun berapa ini? Kereta macam apa ini? Pak Gondo terus saja mengeluh sepanjang perjalanan.

Ojeknya, Pak, mau ke mana?” seorang pria mendatanginya sesaat setelah Pak Gondo keluar dari stasiun. Dan di samping pria itu berdiri sebuah kendaraan aneh dengan 2 roda yang cukup besar. Matanya celingukan mencari dokar atau aktivis-aktivis lain yang ingin hadir di kongres tetapi tetap saja tidak ia temukan. Pada akhirnya ia memutuskan naik kendaraan aneh tadi itu, ojek, ah istilah apa itu.

“Bapak dari mana?” tanya si tukang ojek.

“Saya dari Tuban, Bung,” jawab Pak Gondo singkat. Pandangannya masih tertumpu ke pemandangan Batavia yang kini amat sangat berbeda. Tidak ada orang-orang Belanda, mobil pun kini sudah sangat banyak. Pak Gondo sadar, ada sesuatu yang tidak beres. Ia tidak seperti berada di Hindia Belanda.

“Bung, ini Batavia kan?”

“Oh, Bapak mau lihat suasana Jakarta pas masih Batavia dulu, ya? Bisa saya antar ke Kota Tua kok, Pak, tapi ya ongkosnya tambah.”

Dan sesampainya di gedung Indonesische Club, ia melihat situasi sudah ramai. Namun ia tetap tidak yakin apakah orang-orang itu adalah peserta kongres. Sebab di matanya, mereka tampak seperti orang-orang Belanda yang sedang berpesiar ke Hindia Belanda lalu menaruh segala kagum atas apa yang dilihat.

“Permisi, apakah kongres pemuda kedua sudah dimulai?” tanya Pak Gondo ke seorang pria di depan gedung. Yang ditanyai bingung bukan main dengan tampilan Pak Gondo. Pantalon lusuh, tas kulit, dan kopiah hitam pudar. Sekilas, gaya itu mirip dengan patung di museum Sumpah Pemuda.

“Maaf, Anda ini siapa?”

“Lho, saya ini Sugondo Joyopuspito, saya datang mau memimpin kongres. Di mana yang lain?”

Si lawan bicara berbisik dengan seorang wanita muda di sampingnya. Wanita itu lantas mengetik kata ‘Sugondo Joyopuspito’ di internet sebelum terkejut demi mengetahui siapa yang sedang ia ajak berbicara. Mereka lantas bersalaman dan Pak Gondo dipapah ke dalam gedung. Kongres Pemuda 2021 diadakan. Segera!

“Siapa yang mengetik hasil rapat kita?”

“Tidak perlu, Om, sudah saya rekam kok.”

“Sebentar, bagaimana cara kita menyebarkan hasil rapat ini?

“Tenang, Om, ini dari tadi aku sudah live Instagram kok.”

“Ha? Apa maksudmu?”

“O iya, Om, nanti setelah ini kita foto bersama, ya. Jangan lupa besok di-upload ke Instagram, syukur-syukur pakai twibbon yang kami buat,”

“Ha? Apa itu?”

***

Pria itu gelagapan, tangannya bergerak-gerak meraih udara seperti orang tenggelam. Samar suara sang istri mengganggu mimpinya. Ia kucek-kucek matanya sembari merenggangkan punggung. “Siang-siang kok mimpi aneh, Pak! Masa mimpi kok teriak-teriak kayak mimpin rapat. Sudah, sana, ayammu dikasih makan, sudah sore.”

Pak Gondo bergegas mencampur pakan ayam sembari mengingat mimpi yang tadi ia dapatkan. Kenapa mimpi itu terasa sangat nyata dan sang istri bilang ia berteriak-teriak seperti memimpin rapat?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image