Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Caroline Sugiarti

Ketika Bahasa Ibu dianggap Memalukan

Sastra | 2021-10-28 21:11:41
Ilustrasi generasi Z. (sumber: pexels.com)

Ketika sedang asik menggulir halaman tiktok saya, lalu jari saya terhenti cukup lama untuk melihat seseorang yang sedang melakukan siaran langsung pada aplikasi Tiktok. Saya mengenalnya, ia merupakan seorang mahasiswa yang berasal dari Bandung. Terdapat satu komentar yang membuat saya tertegun akan respon yang dilontarkan oleh mahasiswa asal Bandung tersebut.

"kak coba ngomong pake Bahasa Sunda dong!" komentar salah seorang netizen yang sedang menonton siaran langsungnya.

"aduh, gue gabisa Bahasa Sunda" Jawabnya sembari tertawa.

Padahal, saat ia sedang bermain bersama teman-temannya seringkali mengggunakan bahasa ibu (daerah), seolah ia malu untuk menggunakan bahasa itu. Hal ini berlaku juga bagi para generasi Z sekarang yang semakin sedikit menggunakan bahasa ibu mereka, bahkan ada yang sampai tidak menguasai bahasa daerahnya sendiri padahal ia lahir dan tumbuh besar di daerah itu.

Seperti yang kita semua ketahui Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki wilayah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan keanekaragaman budaya dan bahasa. Keberagaman bahasa disetiap daerahnya menjadikan ciri khas tersendiri dan sebagai identitas dari seseorang yang membuat Indonesia menjadi istimewa. Namun sayangnya saat ini sangat sedikit yang mengembangkan dan melestarikannya.

Dikutip dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hasil kajian kebahasaan yang dilakukan setiap tahun menunjukan adanya kekhawatiran besar melanda bangsa ini, yaitu terdapat delapan bahasa dikategorikan punah, lima bahasa kritis , 12 bahasa mengalami kemunduran, 24 bahasa terancam punah, 24 bahasa dalam kondisi rentan atau stabil namun masih terancap punah, dan hanya 21 bahasa yang berstatus aman.

Padahal pada zaman dulu para tokoh pejuang kita yang menikmati pendidikan diluar negeri pun tetap memelihara bahasa ibu (daerah) mereka, meskipun mereka tinggal dan menguasai bahasa asing (internasional) tidak menghilangkan identitasnya ketika kembali ke tanah air. Hal ini tidak hanya terjadi pada Suku Sunda, tetapi suku-suku lain seperti Suku Jawa yang sering disebut medok.

Banyak faktor yang menyebabkan generasi Z enggan menggunakan bahasa ibu mereka, seperti merasa lebih keren dengan menggunakan bahasa asing, merasa lebih tinggi derajat sosialnya dibandingkan dengan teman-temannya yang menggunakan bahasa daerah, globalisasi, adanya etnis mayoritas dan minoritas, crossbreeding atau perkawinan silang antar etnis. Sering juga dijumpai kasus pengelompokan mahasiswa berdasar pada daerah asal mereka, seperti orang sunda yang hanya bergaul dengan orang sunda saja, jawa dengan jawa, batak dengan batak dan biasanya yang merasa superior yaitu mahasiswa yang tinggal di perkotaan atau ibu kota.

Kurangnya minat dan partisipasi dari generasi muda dapat membuat bahasa-bahasa daerah ditanah air semakin lama semakin sedikit dan lama-lama punah tergerus zaman. Generasi muda yang sejatinya merupakan penerus bangsa seharusnya selalu menjaga kelestarian berbagai budaya yang telah dititipkan oleh pendahulu kita, salah satunya bahasa.

Siapa lagi yang akan melestarikan dan mengajarkan bahasa daerah jika bukan kita selaku generasi muda? bukankah keberagaman itu menjadi salah satu keistimewaan dari bangsa kita? Maka seharusnya kita berbangga dengan identitas yang melekat pada diri kita. (CS)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image