PERAN SANTRI DI ERA DISRUPSI
Agama | 2021-10-25 08:54:11PERAN SANTRI DI ERA DISRUPSI
Oleh: IDRIS APANDI
(Anggota Dewan Pendidikan Jawa Barat, Penulis Buku Santri Benteng Pancasila)
Santri adalah salah satu unsur yang tidak terpisahkan dari dunia pesantren. Santri diartikan orang yang sedang belajar ilmu agama Islam kepada kyai atau ustaz di pondok pesantren. Santri ada yang disebut santri mukim (yang menetap di pondok pesantren) dan dikenal juga âsantri kalongâ yaitu santri yang tidak menetap di pondok pesantren. Biasanya âsantri kalongâ adalah penduduk yang tinggal di dekat pondok pesantren. Dalam perkembangannya, label santri bukan hanya disematkan kepada orang yang belajar ilmu agama di pesantren tradisional atau modern, tetapi juga yang memperdalam ilmu agama sambil kuliah di perguruan tinggi. Di beberapa kampus Perguruan Tinggi Islam juga didirikan pesantren kampus.
Tidak ada batasan umur minimal dan maksimal seorang santri belajar di sebuah pondok pesantren. Tidak ada juga batasan waktu lama seorang santri belajar lembaga tersebut. Sepanjang seorang santri ingin belajar ilmu agama, maka dia boleh belajar di pondok pesantren. Apalagi saat ini, selain pondok pesantren yang melakukan pembelajaran secara tatap muka, juga ada pesantren virtual dimana santri atau orang yang ingin belajar agama bisa belajar secara virtual (daring/online). Selain membaca materi dari internet, mereka pun membuka layanan konsultasi atau tanya jawab seputar agama Islam dengan guru/pembimbingnya secara daring.
Setelah seorang santri âselesaiâ belajar di pondok pesantren, biasanya akan menyebarkan ilmunya dengan cara menjadi guru ngaji, mendirikan majelis taklim, atau mendirikan pondok pesantren. Selain berkiprah pada bidang agama Islam, santri pun cukup banyak yang menjadi PNS, guru, dosen, anggota TNI/POLRI, pengusaha, petani, peternak, dan sebagainya. Ilmu agama yang dipelajarinya selama di pondok pesantren diharapkan menjadi fondasi dalam melaksanakan tugas atau usahanya. Intinya, santri tidak harus selalu menjadi guru ngaji, tetapi saat dia tidak berprofesi sebagai guru ngaji, jiwa santrinya tetap melekat dalam dirinya dan tercermin dalam kehidupan sehari-harinya. Dengan kata lain, dia menjadi pribadi yang nyantri.
Pada pesantren salafiyah, aktivitas santri banyak digunakan untuk mempelajari kitab-kitab klasik atau juga yang disebut sebagai kita kuning, sedangkan pada pesantren modern, santri selain belajar kitab kuning, juga belajar kitab putih (kitab kuning yang telah diterjemahkan atau buku-buku pelajaran umum), bahasa asing di luar bahasa Arab seperti bahasa Inggris, dan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Penguasaan TIK di era digital sangat penting. Santri bukan hanya belajar Al-Quran, hadits, dan kitab-kitab secara konvensional (hard copy) tetapi juga mempelajarinya secara digital (soft copy) baik dari gawai maupun laptop/komputer.
Ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis, dan ormas lainnya mendirikan pondok pesantren hampir di setiap daerah di Indonesia. Di pondok pesantren, para santri digembleng ilmu agama, dibina karakternya, dan dibekali ilmu-ilmu lainnya untuk bekal menghadapi masa depan. Bahkan, ada juga pondok pesantren yang mengajarkan ilmu bela diri kepada para santri. Tujuannya untuk menjaga diri saat diperlukan.
Untuk memberikan kecakapan hidup kepada santri-santrinya, pengelola pondok pesantren juga membekali mereka dengan beragam keterampilan mulai dari keterampilan bertani/ bercocok tanam, beternak, hingga membuat kerajinan tangan yang bisa dijual. Harapannya mereka dapat hidup mandiri dan berkembang, tidak mengandalkan donasi dari masyarakat jika suatu mendirikan pengajian.
Untuk menghormati peran penting santri dalam perjuangan kemerdekaan RI dan kiprahnya dalam pembangunan pascakemerdekaan RI, presiden Joko Widodo menetapkan tanggal 22 Oktober 2015 sebagai Hari Santri. Dan sejak saat itu, setiap tanggal 22 Oktober rutin diperingati sebagai Hari Santri.
Santri harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Santri saat ini bukan hanya berposisi sebagai orang yang belajar ilmu agama Islam, tetapi juga bisa berperan sebagai agen perubahan (agent of change). Santri diharapkan menjadi pemersatu bangsa, pengokoh budaya toleransi, bisa menjadi penjaga Pancasila sebagai ideologi bangsa, dan bisa turut membendung bahaya radikalisme khususnya kepada generasi muda. Santri harus mampu menampilkan wajah Islam yang ramah dan antikekerasan. Santri bisa memperlihatkan karakter Islam yang moderat atau âIslam Tengahâ sehingga turut membangun semangat toleransi dalam keberagaman baik sesama umat Islam maupun dengan umat yang berbeda agama.
Di era disrupsi (gangguan/kekacauan) saat ini, santri diharapkan bisa berperan untuk ikut menangkal berita hoaks, ujaran kebencian, atau fitnah yang biasanya beredar melaui media sosial. Dia sendiri tidak ikut-ikutan menyebarkan berita bohong, provokatif, atau fitnah. Santri selain melek ilmu agama, juga diharapkan melek peraturan perundang-undangan terkait larangan menyebarkan berita bohong, fitnah, atau ujaran kebencian. Dengan demikian, santri bisa menjadi ujung tombak kampanye perdamaian. Dalam dakwah-dakwah yang disampaikannya, santri selain membahas hal tersebut dari perspektif ajaran agama Islam, juga mengaitkannya dengan hukum negara seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sehingga umat Islam menjadi melek hukum.
Untuk mewujudkan hal tersebut, menurut Saya, pola pendidikan di pondok pesantren pun harus mengondisikan para santri dapat melek terkait peraturan perundang-undangan atau bidang lain yang akan menambah wawasan atau keterampilan santri. Setiap pondok pesantren biasanya memiliki kurikulumnya masing-masing. Di pesantren salafiyah yang kecil, biasanya sang kiai yang memutuskan kitab-kitab apa saja yang akan dipelajari santri, sedangkan di pesantren yang relatif besar bahkan modern, biasanya sudah ada sistem yang mengatur kurikulumnya. Pola pendidikan di pondok pesantren diharapkan mampu melahirkan santri yang memiliki karakter nyantri seperti memiliki ilmu agama yang luas, keimanan dan ketakwaan yang tinggi kepada Allah SWT, rendah hati, berintegritas, mandiri, dan peduli terhadap sesama.
Dalam mendidik dan membina para santri, pengelola pondok pesantren bisa bekerja sama dengan berbagai pihak terkait, mulai dari aparat penegak hukum, TNI/POLRI, cendekiawan, peneliti, pengusaha, penulis, atau praktisi lainnya. Intinya, santri benar-benar dibentuk menjadi manusia yang kompeten, siap guna, dan berakhlakulkarimah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.