Kafe di Yogyakarta, Warganet dan UU ITE
Gaya Hidup | 2022-06-20 10:33:08Beberapa waktu lalu, saya melakukan perjalanan menuju Yogyakarta, kota yang setiap sudutnya romantis bagi sebagian orang. Sesampainya di Yogyakarta, saya tidak langsung menuju ke penginapan ataupun lokasi acara. Tempat yang saya cari adalah kafe.
Bagi saya, kafe merupakan tempat yang cukup nyaman untuk mencari informasi serta inspirasi. Tak lupa nyaman juga untuk melakukan pelatihan serta rapat-rapat yang membosankan dengan cara daring melalui aplikasi zoom meeting.
Dalam kesendirian menunggu rapat daring di kafe, saya melihat sekumpulan mahasiswa yang datang bersamaan serta duduk tidak jauh dari tempat saya memandang laptop. Pemandangan yang cukup biasa di sebuah kafe jika anak-anak muda berdiskusi hingga bersenda gurau.
Perilaku Warganet
Namun, selang waktu 30 menit, saya mulai menguping pembicaraan antara anak-anak muda tersebut. Mereka berlima sepertinya pengurus salah satu organisasi mahasiswa. Sebut saja si kurus, si kacamata, si jilbab, si rambut pendek serta si pemakai topi.
“Semakin ke sini, warganet rasa kepo-nya sudah keterlaluan,” ujar si jilbab
“Bukannya itu sebagai kontrol sosial?” sela si kacamata
“Menurut gue sih kalau masuk ke ranah pribadi sudah enggak make sense,” tegas si rambut pendek.
Si kurus dan si pemakai topi menyetujui si pendek. Mereka setuju bahwa jika sudah terlalu ingin tahu atau bahkan sok tahu tentang pribadi seseorang maka sudah tidak masuk akal. Walaupun yang dibicarakan seorang public figure.
Si pemakai topi melanjutkan perbincangannya setelah menyeruput kopi hangat yang ia pesan. Dirinya berpendapat bahwa bagaimanapun kondisi pribadi seseorang tidak perlu jadi perbincangan apalagi dikonsumsi oleh publik secara ramai.
“Mending kalau isunya benar, kalau salah? Bahkan justru jauh dari apa yang dibicarakan mau bagaimana?”
“Iya juga, malah jadi fitnah akhirnya,” jawab si kacamata dengan semangat.
Perbincangan sekumpulan mahasiswa itu semakin seru walau sepertinya hanya nongkrong santai. Mereka betul-betul mengkaji tentang perilaku netizen yang sudah kelewat batas. Belum lagi jika ternyata yang diperbincangkan bukanlah hal yang benar.
Contoh perilaku lain netizen yang kelewat batas menurut mereka adalah membagikan suatu informasi untuk ketenaran tanpa melihat kebenaran.
“Sudah lihat belum? Ramai informasi berupa video tentang kematian anak gubernur Jawa Barat?”
“Iya parah banget, mereka enggak kasihan ya, melihat Pak RK?”
“Mau bagaimana lagi? Kadang laku berita yang seperti itu?”
Saya tak menyangka, obrolan sekumpulan mahasiswa yang duduk-duduk di kafe yang cukup ramai dapat membuat saya terkagum-kagum. Saya tak yakin mereka mahasiswa yang berlatar pendidikan sosiologi. Tapi membuat saya yang pernah mengenyam jurusan sosial tersenyum lebar.
Obrolan kafe semacam ini sebetulnya banyak terjadi. Kebetulan, makanan dan minuman yang saya pesan sudah datang, lalu meeting online sudah dimulai lagi siang itu. Sehingga saya sedikit beralih fokus untuk tidak mendengarkan diskusi mahasiswa di kota pelajar tersebut.
Ketegasan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik
Tak terasa, ternyata hari sudah sore, makanan dan minuman yang saya pesan sudah habis. Begitu juga meeting online yang cukup menguras tenaga dan pikiran. Saya melihat sekumpulan mahasiswa yang tadi diskusi masih ketawa-ketiwi. Tapi sepertinya mereka masih melanjutkan diskusi.
Melihat obrolan anak-anak mahasiswa tersebut, saya jadi terpikirkan bagaimana posisi UU ITE dalam menanggapi para perilaku warganet seperti yang dibicarakan lima mahasiswa yang duduknya tidak jauh dari saya.
“Eh, gue jadi kepo deh, kalau warganet yang sudah kepo, membagikan berita bohong, dan juga menjelekkan seseorang bisa dilaporkan ga ya?” Si Jilbab penasaran.
“Bisa dong, tinggal laporkan, yang penting ada dua saksi yang melihat di media sosial,” kata si Kacamata.
“Jangan lupa, kalau kumpulin bukti seperti screenshot, video atau fotonya”
Keganasan serta ketegasan UU ITE membuat orang-orang yang suka memberikan kritik via media sosial atau alat digital lainnya menjadi takut. Bayangkan saja, beberapa aktivis pernah terjerat jaring kepolisian karena undang-undang ini.
Akan tetapi, agak kelemahan UU ITE. Terkadang mereka yang tidak melaporkan sendiri (korban pencemaran nama baik) maka pelaku tidak akan pernah terjerat. Karena UU ITE termasuk delik aduan atau orang yang dirugikan yang harus melapor.
Tak lama kemudian, saya mendengar si rambut pendek mengatakan berati orang-orang yang tahu sedang dirusak nama baiknya di ranah media sosial atau ranah publik, orang yang sangat baik ya? Atau mereka malas melaporkan?
“Ya tidak tahu juga, tapi bisa saja mereka orang yang malas berurusan dengan hukum,” jawab si kacamata.
Semakin sore, diskusi mereka selesai. Saya juga bersiap untuk berangkat ke lokasi acara. Kesimpulan obrolan mereka, ternyata banyak orang baik yang sudah dihancurkan namanya oleh sekelompok orang namun tetap tidak melaporkan ke pihak berwajib walaupun bukti dan saksi sudah kuat.
Dan satu hal yang menarik, saya mendapatkan banyak masukan dari obrolan di salah satu kafe di ujung Yogyakarta. Seperti biasa, setiap ngopi itu harus menghasilkan sesuatu walau bukan uang.
Fathin Robbani Sukmana, Penulis dan Penikmat Cokelat
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.