Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Taufik Alamsyah

Aktivisme dan Problematik Hari Ini

Politik | Wednesday, 15 Jun 2022, 11:29 WIB

People try to identify who is the most likely person to turn out, and what we did is that we changed who turns out. And that changes the whole electorate.

(Alexandria Ocasio-Cortez, Politikus Partai Demokrat dan Kekasih Imajiner Taufik Alamsyah)

Pada tanggal 8 Agustus 2020, akun twitter WWF (World Wild Life Fund for Nature) Indonesia, menulis cuitan “Seperti apa industri kelapa sawit yang berkelanjutan? Silakan bergabung dalam virtual talkshow untuk mengetahui apa itu sawit berkelanjutan, sehingga Sobat sebagai konsumen dapat berkontribusi dengan memilih produk yang berkelanjutan.” Lengkap dengan poster yang menampilkan pembicara diantaranya akademisi Prof. Bambang Hero dari IPB. Tidak sampai di situ, WWF juga melanjutkan cuitannya yang berbunyi, “Kita sering dengar bahwa aktivitas perkebunan sawit berdampak bagi lingkungan, merusak hutan & habitat satwa. Dengan mengatur agar praktiknya mengikuti prinsip-prinsip berkelanjutan, sawit dapat memiliki dampak minimum terhadap lingkungan & tetap memberi manfaat bagi kita semua.”

WWF adalah organisasi yang bergerak dalam konservasi lingkungan hidup untuk menjaga dan melestarikan hutan agar tercipta keseimbangan bumi dan mencegah kerusakan alam demi kehidupan yang asri berkelanjutan dan beperkepanjangan. Mencari titik pijak relasi manusia dan alam memang sangat sulit menemui titik terang. Sebab, manusia dengan segala superioritas dan kekuasaanya yang dilandasi fondasi historis kehidupan manusia pra-aksara tidak bisa dilepaskan dari alam. Artinya, segala keseluruhan civitas manusia mulai dari makan, minum, dan kebertahanan hidup selalu bergantung dengan alam. Dengan segala keterbatasan ilmu dan pengetahuan serta teknologi pada saat itu, setuju atau tidak, mengobjektifikasi alam adalah hal yang lumrah bahkan menjadi keharusan.

Tetapi, zaman telah telah berganti. Waktu terus berpacu. Homo Sapiens menciptakan alat bukan sekadar menciptakan secara kesederhanaaan, melainkan teknologi berbasis mutakhir. Penemuan-penemuan terbaru dengan gaya efisien ruang dan waktu melahirkan pergeseran-pergeseran kebudayaan manusia, juga melahirkan pelbagai problematik kehidupan manusia, dan sialnya erat kaitannya dengan lingkungan, tidak, bukan erat lagi, tetapi tidak dapat dipisahkan, bukan karena relasi harmonis dari manusia-alam, tetapi dari relasi manusia-alam dan kerusakan-kerusakan alam yang timbul dari persekongkolan ilmuwan, korporat, dan aristokrat atau kalau boleh meminjam suatu terma dari John Perkins, “Korporatokrasi”.

Para korporat dengan menggunakan segala macam dalih guna melancarkan bisnis perusahaan-perusahaan (multi-nasional-internasional) salah satunya adalah ikut mengkampanyekan gerakan lingkungan penghijauan dan melestarikan alam demi kehidupan berkelanjutan anak cucu kita, yaitu menciptakan teknologi yang dihasilkan dari energi terbaru dan terbarukan agar menjalankan praktik-praktinya berjalan dengan prinsip-prinsip etika lingkungan. Tentu korporat tidak bekerja sendiri. Sejarah membuktikan, seperti apa yang dikatakan dalam buku Homo Sapiens dari Noah Harari, para korporat mendapat dukungan dari para ilmuwan dan akademisi untuk mengaktualisasikan pembenaran kolektif imajinasinya menyongsong tatanan dunia perekonomian yang dicita-citakannya. Ilmuwan dan akademisi dipaksa bertekuk lutut menuruti kemauan para pemodal, menerbitkan jurnal-jurnal berbasis kepalsuan ilmu dan pengetahuan supaya meyakinkan masyarakat global, bahwasanya, apa yang dilakukan oleh para korporat adalah benar adanya tidak merusak lingkungan dan dunia tetap akan baik-baik saja. Apakah kerjasama para pemodal dan ilmuwan untuk terus melanjutkan civitas industri-ekonomi meski bertabrakan dengan environmental ethic dan hukum-hukum di suatu negara akan terwujud?

Tentu tidak. Ada yang harus diajak kerjasama satu lagi. Siapa itu ? ya, sebut saja aristokrat. Aristokrat di sini yang saya maksud, bukan hanya kepala negara saja, tetapi orang-orang yang membisikkan ke telinga penguasa juga sangat berpengaruh. Tidak lain tujuanya adalah untuk meng-goal-kan rencana para korporat tersebut. Contoh WWF di atas adalah salah satunya. Bagaimana mungkin, organisasi gerakan kelestarian lingkungan hidup memberi karpet merah diskusi umum Kelapa Sawit? Betul memang, Kelapa Sawit adalah salah satu bahan kebutuhan untuk masyarakat luas, akan tetapi haruskah beri tekanan kepada publik bahwa apa yang dilakukan industri tidak merusak lingkungan? dan apakah mendirikan industri di suatu wilayah hutan tidak merusak keragaman hewani? apakah pendirian pabrik-pabrik tidak menyentuh pemukiman para petani dan masyarakat adat? Dalam logika sederhana, ekspansi kelapa sawit akan menyebabkan kerusakan hutan hujan dan lahan gambut tropis dalam skala besar, meletakkan keragaman hayati dalam resiko dan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang substansial. aktivisme organisasipun ikut terbuai rayuan korporat, ilmuwan, dan aristokrat. Benar-benar malang.

Bukan hanya sampai di situ, maksud saya, dalam pembangunan industri tidak hanya mempersoalkan etika lingkungan belaka. Tetapi, ada ikatan berkelindan secara sosiologis. Aristokrat bukan hanya berhasil meloloskan Undang-undang yang mengabaikan lingkungan (tentu ini hasil pesanan korporat yang didukung jurnal ilmu pengetahuan para ilmuwan) juga membantu dalam urusan mencari lahan demi pembagunan industri besar-besaran. Salah satunya adalah pembebasan lahan. Dalam pembebasan lahan, yang paling rentan terkena adalah para petani dan masyarakat adat yang miskin, kurang akses politik, dan tak punya daya melawan keputusan dan kebijakan aristokrat.

Jelas para petani dan warga tidak ingin memindahkan tempat di mana ia hidup dan menghidupi para keluarga dan masyarakat adat, para petani dan masyarakat adat juga tidak ingin memindahkan mimpinya menjaga asa lingkungan kelastarian alam untuk keturunanya kelak. Tetapi, atas nama pembangunan, semua diberangus. Segala macam upaya dilakukan, salah satunya menurunkan aparat negara untuk memberi stimulus ketakukan terhadap petani dan masyarakat adat, dan tak jarang apa yang dilakukan aparat tanpa segan yaitu dengan kekerasan fisik maupun hukum: dibunuh atau dipenjara. Hanya itu pilihan yang bisa diambil oleh para petani dan masyarakat adat. Konflik agraria akan terus menggila. Benar-benar tak ada harapan

Kemarin teman SMP saya mengirimkan foto hasil rapat di salah satu kementerian, yang memperlihatkan bagaimana Power Point Omnibus Law; Penyederhanaan Perizinan, Persyaratan Investasi, Pengenaan Sanksi, Pengadaan Lahan, Kemudahan Investasi dan Proyek Pemerintah, serta Kawasan Ekonomi Khusus. Omnibus Law benar-benar sudah berada di depan mata, dan pastinya sangat menyeramkan. Bagaimana tidak, dalam perkembangannya, kata Omnibus banyak diarahkan ke dalam istilah Omnibus bill, yang diartikan sebagai “sebuah RUU dalam satu bentuk yang mengatur bermacam-macam hal yang terpisah dan berbeda, dan seringkali menggabungkan sejumlah subjek yang berbeda dalam satu cara, sehingga dapat memaksa eksekutif untuk menerima ketentuan yang tidak disetujui atau juga membatalkan seluruh pengundangan.”

Secara tidak langsung, negara memegang kebenaran penuh secara mutlak. Apa yang menurutnya benar, dan apa yang menurutnya salah. Tak ada lagi negoisasi. Negara memegang penuh kebijakan dan keputusan membangun, memberangus, memutus, menggusur, menghilangkan hak-hak rakyatnya, merusak lingkungan demi pembangunan industri dan sebagainya dan sebagainya. Kedaulatan negara menunjukkan wajah aslinya. Benar-benar iblis.

Sulit mencari benang kritis bagaimana ini semua bisa terjadi. Tetapi saya ingin mencoba menarik dari civitas aktivisme yang ada hari ini. Dalam melawan tirani negara, memang kita mengharapkan gerakan kelompok yang mempunyai kapasitas pengetahuan, relasi yang luas, dan mempunyai segala macam akses politik, media, sosial, ekonomi, dan budaya. Di mana kelompok ini yang akan menjadi basis pertarungan gerakan rakyat atas ketidakadilan yang dilakukan negara sampai hari ini. Ada beberapa gerakan misalnya, seperti “Watchdog Documentary” milik Dandhy Laksono, atau WWF, Greenpeace Indonesia, Gerakan Masyarakat adat, AJI, atau semua gerakan dan aliansi yang bergerak untuk bukan sekadar hanya melawan narasi negara, tetapi merebut ruang publik dan menggalang visi misi demi memenuhi hasrat ideologi gerakkannya lalu bergerak bersama untuk mengubah situasi sosial dan budaya.

Saya sangat menghormati dan ikut tergerak pada aktivisme hari ini. Saya percaya dan yakin, bahwa mereka semua mengerahkan segala akal, pikiran, tenaga, dan material lainnya untuk memajukan gerakan ini semua. Tetapi apa daya, semua yang mereka lakukan terlihat hanya sia-sia. Sebab, melihat negara yang semakin luwes menindas rakyatnya sampai hari ini, secara ekplisit dan implisit, harus kita akui, pergerakan rakyat atas nama ketidakadilan berujung kekalahan. Dan akan selalu kalah. Selamanya.

Tentu kita bisa mendeteksi mengapa ini semua bisa terjadi. Padahal, pergerakkan sudah mengisi semua platform media. Yang terbesar dan tersebar secara cepat alah melalui media sosial. Wacana politik di Indonesia pun menjadi makin masif terfasilitasi oleh media baru. Secara mendasar, media komunikasi memang digunakan oleh aktor politik/gerakan untuk mengomunikasikan pesannya pada audiens yang diinginkan. Saat ini, teknologi membantu dengan sarana mobile yang lebih sering mengubah perilaku protesters, membuat makin mudah berkomunikasi, mengelola, berbagi informasi, mengubah lokasi pertemuan (Ayres, 1999). Kegiatan daring ini mengubah protes jalanan dan protes daring, sesuatu yang disebut cyberactivism (Sandoval-Almazan & Gil-Garcia, 2014, h. 365). Cyberactivism telah menjadi kekuatan politis signifikan pada sisi kecepatan yang hampir tidak mungkin untuk dipahami. Meski demikian, belum cukup juga untuk memajukan dan merebut suara rakyat. Entah

Untuk mendapatkan hasil berbeda, tentu kita tidak mungkin menggunakan cara yang sama. Artinya, untuk sebuah pergerakkan nyaris mustahil bila ingin mengubah situasi (baca: revolusi) bila hanya itu-itu saja dilakukan: organisir massa, lempar wacana publik, menggalang dana, dan sebagainya dan sebagainya. Saya teringat Alexandria Ocasio-Cortez (AOC), anggota Kongres termuda sepanjang sejarah Amerika Serikat. Berawal dari pengalaman hidupnya sebagai pekerja bartender, ia merasakan betul bahwa nasip pekerja sangatlah tidak jelas, salah satunya ketiadaan jaminan kesehatan. Kenyataan hidup inilah yang mendorong AOC untuk bertarung sebagai anggota Kongres dari Partai Demokrat, dari fraksi Demokratik Sosialis. AOC sendiri adalah anggota dari organisasi Democratic Socialist of America (DSA).

Dalam pertarungan untuk perebutan kursi anggota Kongres tersebut. Tidak hanya berhenti di situ, AOC benar-benar melakukan sesuatu yang sama sekali baru dalam tradisi politik AS, yakni tidak menerima uang dari korporasi, melainkan hanya menerima sumbangan dana dari masyarakat—itu pun tidak boleh melebihi $5.000,00 bagi setiap penyumbang. Slogannya di masa kampanye adalah “rakyat/people vs uang/money. Kita punya rakyat, mereka punya uang.” Saat dilantik sebagai anggota Kongres pada Januari 2019, hal pertama yang dilakukan AOC adalah bergabung bersama-sama para aktivis dari Sunrise Movement, sebuah gerakan anak muda yang memperjuangkan kelestarian lingkungan hidup untuk berdemonstrasi di depan ruangan kantor jubir Partai Demokrat Nancy Pelosi. Tak pernah ada anggota Kongres yang melakukan tindakan serupa, sehingga aksi AOC kontan memicu kontroversi.

Tapi itu baru langkah awal. Setelah menjadi figur publik yang sangat populer, AOC terus aktif bergabung bersama gerakan rakyat lainnya, baik di level nasional, misalnya memperjuangkan hak kesehatan universal, penghapusan utang mahasiswa, memperjuangkan kelestarian lingkungan, hingga isu-isu imigrasi. Secara strategis, di level ini, AOC bersama-sama dengan aktivis Justice Democrat, mendirikan Movement School, sebuah lembaga yang bertujuan untuk mencetak aktivis-aktivis politik untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan kelas pekerja di komunitasnya. Tujuan akhirnya adalah agar para aktivis ini mampu memenangkan pertarungan dalam perebutan kekuasaan politik di seluruh level, sehingga dengan demikian mampu mewujudkan energi aktivismenya ke dalam kekuasaan politik. (https://indoprogress.com/2020/05/belajar-dari-alexandria-ocasio-cortez/)

Salah satu kelemahan bagi aktivisme di Indonesia adalah, tidak ingin (atau alergi?) masuk ke dalam arena politik kekuasaan. Entah mengapa, tetapi dari sekelibat yang saya tangkap dari argument mereka adalah, “sejarah akan terulang”, mereka menganggap bahwa memasuki arena politik kekuasaan adalah hal yang sia-sia, karena pasti akan selalu kalah, suara mereka akan terkooptasi oleh golongan keoompok yang lebih masif, dan juga takut dirinya tergoda kuasa jabatan dan uang. Sebab mereka berkaca pada “aktivis” yang sudah terlebih dahulu masuk ke dalam lingkaran politik. Sialnya, ketakutan ini amat berkepanjangan, hinga sampai detik ini alih-alih membuat partai dan mulai organisir massa untuk menarik dukungan supaya masuk ke dalam parlemen negara, malah mereka tetap bersenandung nyaman di parlemen jalanan. Dan entah sampai kapan.

Harusnya, mereka sadar akan eksistensi gerakan rakyat yang sudah muak dengan kekuasaan sampai hari ini. Saya yakin, bila mereka membuat partai, ekspansi gelombang dukungan rakyat akan dahsyat. Lihat dan belajarlah dari AOC. Pertama, jika Anda sungguh-sungguh ingin melawan oligarki, janganlah menerima uang dari mereka. Kedua, begitu menduduki kursi legislatif dan menjadi figur populer di level nasional, ia tidak tercerabut atau mencerabutkan dirinya dari basis massa dan konstituennya, apalagi memunggungi mereka. Ia justru menggunakan seluruh keistimewaannya itu untuk memperkuat basis massa dan konstituennya, baik di level nasional maupun lokal. Ketiga, jangan pernah menganggap bahwa popularitas dan pengaruh politik yang diraih adalah hasil dari bakat dan prestasi perorangan belaka. Di baliknya ada organisasi yang mendukung dan menopang langkah-langkah dan capain-capaian politik itu.

Hallo Aktivisme Indonesia, pilihan sekarang hanya ada dua. Ikuti jejak AOC atau jatuh dalam performativitas simbolik.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image