Babu Sebagai Penyambung Lidah Kuliner
Kuliner | 2021-10-19 09:34:06Dalam sejarah, Bung Karno (BK) dikenal dengan slogan sebagai penyambung lidah rakyat. Dengan slogan itu, BK dipandang mampu mendengar dan menyuarakan apa yang menjadi kepentingan rakyat. Maka, bukan kebetulan jika rakyat begitu percaya dan setia pada sosok yang merupakan Presiden RI pertama itu.
Namun, dalam sejarah yang jarang diungkap, apalagi disingkap, ada sosok lain yang juga layak disebut sebagai penyambung lidah rakyat. Merekalah yang dikenal sebagai para babu di zaman kolonial Belanda. Babu atau pembantu di masa kini itu terbukti telah memainkan peran yang cukup penting dalam mempopulerkan beragam masakan atau kuliner dunia, khususnya dari Eropa atau Barat.
Dalam kajiannya yang berjudul "Sentimental Education: Native Servants and the Cultivation of European Children in the Netherlands Indies" (Sears, 1996), Ann Laura Stoler mengungkap bahwa babu di zaman kolonial Belanda, selain menjadi penjaga dan perawat kanak-kanak dalam keluarga orang-orang Eropa, juga adalah peramu dan pemandu masakan atau kuliner global. Dalam hal ini, para babu yang terbiasa untuk menyiapkan beragam menu masakan ala Eropa atau Barat ternyata juga menghidangkannya di meja-meja makan di luar rumah keluarga-keluarga Eropa atau Barat.
Di rumahnya sendiri misalnya, beragam menu masakan itu dihidangkan dengan cara dan gaya "pribumi". Dengan demikian, masakan yang disajikan itu dapat dikonsumsi sesuai dengan selera dan rasa masyarakat pada umumnya. Contoh di masa kini dapat ditemukan pada rumah-rumah makan dari luar Jawa, seperti nasi Padang atau lapo-lapo dari tanah Batak, yang ada di Yogyakarta misalnya, akan menyajikan rendang atau saksang (daging anjing/B1) dan babi panggang (B2) sesuai dengan lidah orang-orang Yogya yang suka dengan rasa manis dan gurih.
Hal itu juga terjadi pada para babu yang sehari-hari berhadapan dengan menu masakan atau kuliner dari Barat, namun berlidah "pribumi". Mereka tanpa ragu dan malu menyajikan menu-menu itu, paling tidak di tengah keluarga dan sanak kerabat, serta tetangga dekatnya. Dari sanalah masakan atau kuliner itu beredar dengan cepat dan meluas, bahkan hingga ke warung-warung makan. Itulah mengapa sajian kuliner yang beraroma Barat atau Eropa masih mudah ditemukan saat ini seperti yang dikenal sebagai kaasstengels (kastengel), meisjes (meses), atau soes (sus).
Beragam sajian kuliner itu telah dipopulerkan oleh para babu. Popularitas itu mampu menghadirkan perubahan sosial yang cukup signifikan dan relevan. Sebagaimana dikaji oleh Bambang Purwanto (2006), perubahan sosial itu telah memposisikan para babu yang sebagian besar adalah perempuan secara berbeda dalam masyarakat, khususnya di masa kolonial Belanda. Hal itu sekaligus menandai kegagalan historiografi Indonesiasentris yang terlalu mengabaikan peran dan peristiwa bersejarah di luar tema atau topik kolonialisme, termasuk kehadiran para babu.
Penting untuk dicatat bahwa tidak semua peran dan peristiwa dalam sejarah di Indonesia berurusan dengan penjajahan yang selalu dibayangkan penuh dengan penderitaan dan kesengsaraan. Masih ada perubahan sosial yang mampu dikerjakan oleh orang-orang biasa, seperti para babu, di bawah tekanan atau himpitan beban selama masa kolonial. Dan perubahan itu membawa dampak yang membuat masyarakat tetap tumbuh dan berkembang.
Dalam konteks ini, menarik bahwa para babu mampu memainkan peran sebagai penyambung lidah kuliner secara global. Dengan mempopulerkan beragam menu masakan ala Barat atau Eropa, mereka menawarkan berbagai kemungkinan dan kesempatan untuk tetap berubah, meski berada di tengah alam kolonialisme. Hal ini mengingatkan pada film yang berjudul âAruna dan Lidahnyaâ (2018) yang membuktikan bahwa Indonesia memang kaya dengan beragam menu masakan atau kuliner yang tak terbayangkan sebelumnya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.