Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Adha Estu Rizqi S. R.

Bahagia Terus? Yang Bener?

Eduaksi | Saturday, 11 Jun 2022, 11:12 WIB

Alasan mengapa banyak orang menemukan kesulitan untuk merasa bahagia.

Diakses dari https://media.istockphoto.com/photos/emoji-with-smiley-face-picture-id1207566766?b=1&k=20&m=1207566766&s=170667a&w=0&h=-is9Ff-mg-_S8-cUOpbaBcqr9rsEvAO_gqKT6HcM2h0=

Digagas oleh Martin Seligman pada awal tahun 90-an, psikologi positif sudah melanglang buana pembahasannya. Banyak gerakan yang dikembangkan untuk meningkatkan kadar kesejahteraan dan eksplorasi tentang kehidupan yang baik, telah berkembang lebih dari 30 tahun lamanya. Psikologi positif sendiri, adalah psikologi yang mempunyai fokus pada penelitian terhadap kadar atau tingkat kebahagiaan manusia. Namun, tentu saja ilmu yang dikembangkan dari psikologi humanistik dan psikologi eksistensial ini terus berkembang hingga saat ini, didukung perkembangan teknologi yang cukup maju. Hal ini sudah menjadi bahasan umum yang beredar di masyarakat. Namun, bak berenang melawan arus, apakah benar, ilmu yang sudah berkembang kurang lebih 30 tahun ini, akan selalu mempunyai standar yang sama seiring berjalannya waktu? Tentu saja tidak! Ilmu ini memang didesain untuk menimbulkan rasa kepuasan, dan kesadaran, serta rasa bersyukur akan apa yang kita miliki. Ilmu ini tak memiliki alat ukur resmi untuk mengukur kadar kebahagiaan kamu sampai mana, seberapa besar, namun untuk menyadarkan kita semua, jika kita tidak bisa mendapatkan segalanya di dunia ini, dan mengerti akan arti bersyukur atau kebahagiaan yang kita miliki. Karena pada dasarnya, kebahagiaan itu tidak hanya ada satu, namun beragam bentuknya, sesuai dengan pribadi masing-masing mengukur kadar kebahagiaan mereka.

Diakses dari https://pbs.twimg.com/media/BoOykbeIYAASjbi.png

Menurut pendapat seorang filsuf Bernama Jennifer Hecht dalam bukunya yang berjudul The Happiness Myth, ia berpendapat bahwa manusia mengalami jenis kebahagiaan yang berbeda-beda, namun tidak sepenuhnya saling melengkapi. Diibaratkan seperti ranting pohon yang makin ke atas, ia akan lebih banyak tertimpa deru angin yang merontokkan daun-daun. Begitu pula dengan yang namanya kebahagiaan, dengan meningkatnya kebahagiaan atau kepuasan di salah satu aspek kehidupan, misal materi, maka kebahagiaan di aspek lainnya cenderung mengalami penurunan signifikan. Kok bisa? Tidak dipungkiri bahwa materi adalah salah satu aspek pendukung kebahagiaan, ia memegang peranan yang juga penting. Namun, pernahkah kamu membayangkan, bagaimana kehidupan sosial dan kondisi emosional seseorang yang mededikasikan waktunya hanya untuk bekerja? Terserang toxic productivity dan sedang panas-panasnya berada dalam fase quarter life crisis, khususnya kaum mahasiswa? Mereka akan mendedikasikan sebagian besar waktunya untuk bekerja, dan mulai kehilangan sedikit demi sedikit hari yang santai dan pertemanan yang damai. Dan lambat laun, hal itu akan segera terpinggirkan, dan dinilai sudah tak berada dalam cakupan skala prioritasnya.

Maka dari itu, seperti susunan DNA masing-masing pribadi yang berbeda, begitu pula dengan bagaimana mereka mengukur kebahagiaannya. Maka dari itu, psikologi positif sendiri mungkin tidak akan bekerja secara maksimal untuk semua orang, dan mungkin akan bekerja maksimal kepada sebagian orang, karena masing-masing manusia memiliki kapasitas dan fluktuasi masing-masing sepanjang hidupnya. Pertanyaannya, apakah kita memang didesain untuk tidak merasa bahagia? Iya, karena pada dasarnya, beberapa orang akan menemukan kesulitan untuk menemukan kebahagiaannya sendiri, dalam kurun waktu yang tak menentu, dan ada pula sebagian orang yang merasa bahagia terus menerus, namun tidak adanya jaminan akan sampai kapan merasa bahagia. Maka dari itu, diperlukannya psikologi positif untuk membantu dan mendorong kita dalam menyadari rasa bersyukur, berbahagia, dan berhenti untuk membanding-bandingkan takdir kita dengan orang lain. Hal terpenting ialah bagaimana kita harus selalu menjamin energi positif itu ada dan mendominasi, yang tentu saja akan menjamin kadar kebahagiaan kita dan generasi kita nantinya di masa depan, sesuai dengan apa yang telah kita tetapkan menjadi standar (Burke, 2021).

Sumber:

Burke, Jolanta. (26 November 2021). Why some people find it harder to be happy. Diakses dari https://theconversation.com/why-some-people-find-it-harder-to-be-happy-171692 pada 11 Juni 2022.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image