BPKH: Sejarah dan Perjalanannya
Lomba | 2021-10-13 12:06:55Menunaikan ibadah haji adalah salah satu rukun Islam kelima dan wajib dilakukan setidaknya sekali seumur hidup bagi umat Islam yang mampu. Ibadah haji membutuhkan kesiapan yang matang, salah satunya dari segi biaya. Setiap tahunnya jemaah haji dari Indonesia terus meningkat, sehingga Indonesia menjadi salah satu negara di luar wilayah Arab Saudi yang mendapatkan kuota jemaah haji terbanyak di dunia. Namun, peningkatan jemaah haji tidak sebanding dengan ketersediaan kuota haji yang cenderung terbatas sehingga jumlah jemaah haji tunggu turut meningkat setiap tahunnya yang berakibat pada terjadinya akumulasi dana haji. Oleh sebab itu, pengelolaan dana haji menjadi hal yang krusial dan diperlukan kehati-hatian.
Pada awalnya pengelolaan dana haji merupakan tanggung jawab Kementerian Agama berdasarkan UU RI Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Namun dalam pengelolaan dana haji tersebut muncul tantangan berupa tanggung jawab yang sangat besar yang justru tidak dibarengi oleh kemampuan pengelolaan yang mumpuni. Akibatnya, dana haji tidak lagi dikelola oleh Kementerian Agama, termasuk juga Dana Abadi Umat yang kemudian dikelola oleh Badan Pengelola Dana Abadi Umat (BP DAU). Hal ini dimaksudkan agar pengelolaan DAU lebih berdaya guna dan berhasil guna untuk kemaslahatan umat. BP DAU diawasi oleh Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) berdasarkan UU RI Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Selanjutnya pengelolaan dana haji di Indonesia mengalami perkembangan hingga akhirnya dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) berdasarkan UU RI Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Keuangan Haji sendiri mencakup semua hak dan kewajiban pemerintah yang dapat dinilai dengan uang terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji, serta semua kekayaan dalam bentuk uang atau barang yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut, baik yang bersumber dari jemaah haji maupun sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Pengelolaan Keuangan Haji oleh BPKH berasaskan pada enam hal utama, yaitu prinsip syariah, prinsip kehati-hatian, manfaat, nirlaba, transparan, dan akuntabel.
BPKH merupakan badan hukum publik yang berada di luar struktur Kementerian Agama, bersifat mandiri, dan bertanggung jawab kepada presiden melalui Menteri Agama. Sejak awal mula terbentuk, struktur organisasi BPKH terdiri dari Dewan Pengawas dan Badan Pelaksana. Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla pertama kali melantik Dewan Pengawas dan Badan Pelaksana BPKH pada 26 Juli 2017 di Istana Negara yang berdasarkan pada Kepres RI Nomor 74P Tahun 2017 tentang Pengangkatan Keanggotaan Dewan Pengawas dan Anggota Badan Pelaksana BPKH. Mereka yang mengisi jabatan Dewan Pengawas dan Badan Pelaksana merupakan sosok yang tepat karena telah menjalani uji kelayakan dan kepatutan oleh tim panitia seleksi. Baik Dewan Pengawas dan Badan Pelaksana, beranggotakan tujuh tenaga profesional dengan salah satu anggotanya merangkap sebagai ketua/kepala. Namun khusus Badan Pelaksana, para anggotanya berasal dari unsur pemerintah dan masyarakat.
BPKH tidak sembarang dibentuk tanpa adanya visi dan misi organisasi. BPKH memiliki visi yang mulia, yaitu menjadi lembaga pengelola keuangan terpercaya yang memberikan nilai manfaat optimal bagi jemaah haji dan kemaslahatan umat. Untuk mencapai visi tersebut, BPKH menjalankan lima misi penting, yaitu:
1. Membangun kepercayaan melalui pengelolaan sistem keuangan yang transparan dan modern;
2. Meningkatkan efisiensi dan rasionalitas BPIH melalui kerjasama strategis;
3. Melakukan investasi pada imbal hasil yang optimal dengan prinsip syariah dan mempertimbangkan aspek keamanan, kehati-hatian dan profesionalitas;
4. Menciptakan tata kelola dan sistem kerja yang komprehensif dan akuntabel dengan mengembangkan SDM yang berintegritas dan profesional; dan
5. Memberikan kemaslahatan untuk meningkatkan kesejahteraan umat.
Sebagai suatu organisasi, BPKH tentu saja memiliki tugas dan fungsinya. BPKH bertugas mengelola Keuangan Haji yang meliputi penerimaan, pengembangan, pengeluaran, dan pertanggungjawaban Keuangan Haji. Dalam melaksanakan tugas tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UU RI Nomor 34 Tahun 2014, BPKH menyelenggarakan empat fungsi, di antaranya yaitu:
1. Perencanaan penerimaan, pengembangan, dan pengeluaran Keuangan Haji;
2. Pelaksanaan penerimaan, pengembangan, dan pengeluaran Keuangan Haji;
3. Pengendalian dan pengawasan penerimaan, pengembangan, serta pengeluaran Keuangan Haji; dan
4. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan penerimaan, pengembangan, dan pengeluaran Keuangan Haji.
Dari UU tersebut, BPKH memiliki kewenangan yang lebih luas dalam investasi dana haji melalui produk perbankan, surat berharga, emas, investasi langsung, dan investasi lainnya dengan pengawasan KPHI.
Sebenarnya proses pembentukan hingga beroperasinya BPKH memerlukan waktu yang relatif panjang. Setelah BPKH terbentuk, keuangan Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah harus diaudit terlebih dahulu oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang kemudian dilakukan audit kembali oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Pendirian BPKH sempat tertunda karena seharusnya dilakukan setahun berikutnya setelah UU RI Nomor 34 Tahun 2014 disahkan atau paling lambat Oktober 2015 lalu.
Namun hal tersebut lantas tidak menghentikan langkah BPKH sebagai satu-satunya lembaga yang melakukan pengelolaan Keuangan Haji di Indonesia untuk mencapai tujuannya, yaitu meningkatkan kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji, rasionalitas dan efisiensi penggunaan BPIH, serta manfaat bagi kemaslahatan umat Islam. Keberadaan BPKH niscaya memberikan angin segar bagi kemaslahatan umat karena BPKH menjamin pengelolaan keuangan haji yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Melalui BPKH, akumulasi dana haji dapat ditingkatkan nilai manfaatnya guna mendukung penyelenggaraan ibadah haji yang lebih berkualitas.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.