Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rifka Silmia Salsabila

Pandemi, Dorongan Mencetak Peneliti Andal

Guru Menulis | Sunday, 10 Oct 2021, 21:04 WIB
Foto: Freepik

Pandemi Covid-19 menyadarkan kita bahwa kita tidak boleh berhenti melahirkan para peneliti unggul untuk persiapan menghadapi tantangan di masa depan. Pandemi memang telah banyak meluluhlantahkan kehidupan manusia di berbagai sektor. Rasanya tidak ada yang tidak terdampak. Di situasi tersebut, kita pun membutuhkan orang-orang yang ahli dalam melakukan riset dan penelitian dalam menemukan langkah penanganan pandemi yang tepat.

Rasanya kita patut berterima kasih kepada semua pihak yang telah menginvestasikan waktu dan pikirannya untuk menemukan solusi dari masalah pandemi ini. Apapun sektornya.

Dari pandemi juga, saya belajar bahwa situasi tak terduga bisa terjadi kapan saja. Oleh karena itu, kita akan selalu butuh para peneliti dari berbagai bidang agar kita selalu siap menghadapi perubahan-perubahan di masa mendatang. Di sinilah pendidikan harus berperan dalam mencetak peneliti-peneliti tersebut.

Dalam buku berjudul “Meneliti itu Mudah” yang diterbitkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia tahun 2017, dikatakan bahwa modal menjadi peneliti adalah selalu menilai secara objektif, berpikiran terbuka, memiliki rasa ingin tahu, faktual, analitis, kritis (berpikir mendalam pada suatu hal), dan solutif.

Modal-modal tersebut tidak bisa dipupuk dalam satu malam, itu semua harus ditanamkan sejak manusia mulai belajar sesuatu, baik secara formal ataupun tidak. Saya sebagai salah satu pendidik di sebuah lembaga formal tingkat menengah atas merasa memiliki tanggung jawab dalam menumbuhkan daya kritis para murid yang saya didik.

Mengapa menumbuhkan daya kritis dan rasa ingin tahu menjadi sangat penting? Tanpa itu semua, Ibnu Sina tidak akan disebut sebagai ahli di bidang Sains dan Kedokteran; Al-Khawarizmi tidak akan dipanggil Bapak Aljabar Dunia; Ibnu Khaldun tidak akan mencetuskan Ekonomi Islam; Thomas Alva Edison tidak akan bisa menemukan lampu; Alexander Graham Bell tidak akan sampai menemukan telepon; serta para ilmuwan tidak akan bisa menemukan formula vaksin yang dapat menekan angka penyebaran Virus Korona. Pada akhirnya, semua didorong oleh rasa ingin tahu yang besar.

Salah satu cara yang bisa saya lakukan untuk menumbuhkan modal-modal yang harus dimiliki peneliti tersebut ialah dengan menerapkan konsep merdeka belajar. Konsep tersebut diprakarsai oleh Najeela Syihab dan kini diterapkan ke dalam kebijakan Kemendikbud oleh Nadin Makarim. Langkah pertama yang saya lakukan tentunya dengan belajar menjadi pribadi yang terbuka, memperdalam rasa ingin tahu, dan terus mengasah daya kritis sendiri. Saya yakin jika begitu maka murid bisa mencontoh apa yang saya lakukan. Sehingga, tercapailah keinginan saya untuk mencetak murid yang berpikiran terbuka, memiliki rasa ingin tahu, dan berpikir kritis.

Berbicara tentang berpikir kritis, seorang tokoh pendidikan asal Brasil Bernama Paulo Freire memiliki definisi tersendiri tentang kesadaran kritis. Ia mengatakan, kesadaran kritis ditandai dengan penafsiran yang mendalam atas berbagai masalah digantikannya penjelasan (yang bersifat) magis dengan penjelasan kausalitas. Meninjau dari kutipan tersebut, kunci dari kesadaran kritis ada pada berpikir mendalam. Sehingga, rasa penasaran pun dibutuhkan sebagai bahan bakarnya.

Jika saya mengingat kembali saat saya masih duduk di bangku sekolah dulu, kurikulum di Indonesia terkesan hendak menyeragamkan kualitas seluruh peserta didiknya dengan standar nilai yang telah ditentukan pemerintah. Tidak ada yang salah dengan itu, namun dalam praktik di lapangan, metode untuk mencapai standar tersebut jadi beragam. Hal tersebut kerap menyempitkan definisi anak pintar. Salah satunya pemikiran seperti ini, pintar berarti nurut dan tidak banyak bertanya.

Contoh kasus, seorang anak mempertanyakan keputusan untuk dirinya yang dibuat orangtua atau orang dewasa lainnya. Lalu Ia pun dianggap sedang membantah dan telah melakukan perbuatan tercela. Alhasil, rasa penasaran anak itu pun padam. Ia jadi tidak punya rasa ingin tahu, atau mungkin tidak berani mengutarakan rasa penasarannya sebab takut dicap anak nakal. Jangan sampai hal semacam itu jadi faktor penghambat dalam melahirkan peneliti-peneliti berbakat.

Semoga, kita tidak menjadi bagian dari penghambat terlahirnya para peneliti baru. Jangan sampai kita mematikan rasa penasaran seorang anak dengan melabeli mereka bodoh, nakal, atau semacamnya. Mudah-mudahan semakin banyak yang sadar akan pentingnya meningkatkan daya kritis para generasi penerus bangsa, agar Bangsa Indonesia siap menghadapi perubahan apapun yang terjadi di masa depan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image