Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image sri supriatin

SAATNYA MENJADI GURU ALTRUISTIK LOVE

Guru Menulis | Thursday, 30 Sep 2021, 21:41 WIB
Guru SDIT IBNU RUSYD beserta murid-muridnya, Bekasi Utara.

SAATNYA MENJADI GURU “ALTRUISTIK LOVE”

Oleh : Sri Supriatin S.Hum.

Pernahkah Kita mengidolakan seorang guru saat masih sekolah dulu. Apakah karena guru itu baik, ganteng, cantik atau pintar. Apapun alasannya, masih terngiang dalam ingatan sosok guru itu sampai sekarang. Kalau diperhatikan, anak- anak zaman now jarang sekali yang mengidolakan gurunya. Kebanyakan mereka lebih tertarik untuk mengidolakan artis ketimbang gurunya. Padahal, guru adalah orang yang hampir setiap hari bertemu di sekolah. Bahkan karena guru, seseorang bisa menulis, membaca dan menggapai cita- cita. Sebenarnya apa yang membuat seorang guru bisa menjadi idola bagi para siswanya. Sehingga guru bisa menjadi orang yang tidak pernah terlupakan sepanjang masa.

Memang tidak mudah untuk menjadi guru yang bisa diidolakan siswanya. Apalagi dalam kondisi pandemik seperti ini. Dengan sistem belajar daring, guru hanya bisa menyampaikan materi secara on line kepada siswanya. Aplikasi yang digunakanpun beragam seperti classroom, google meet, zoom meeting, grup whattaps, dll. Sistem pembelajaran jarak jauh ini terpaksa dilakukan dalam rangka mencegah penyebaran wabah. Selama pembelajaran on line guru hanya memberikan materi secara knowledge saja. Memang tidak dapat dipungkiri, sentuhan fisik dan interaksi sangat berpengaruh terhadap proses kegiatan belajar- mengajar.

Namun kondisi wabah saat ini bukan halangan untuk guru- guru hebat. Mereka tetap menjalankan tugasnya sebaik mungkin. Mereka rela meluangkan waktunya untuk melakukan “ Home Visit”. Kegiatan ini merupakan sejenis kunjungan guru ke rumah siswanya. Mereka melakukan pendataan, pendekatan bahkan melakukan pembelajaran secara langsung. Tentunya dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Dengan kegiatan seperti ini diharapkan guru tidak saja menyampaikan materi, namun juga terjalin keterikatan secara ruh dengan siswanya.

Dalam kondisi pandemik seperti ini, tentunya dituntut pengorbanan yang luar biasa dari seorang guru agar sistem pendidikan terus berjalan. Saatnya guru berubah menjadi guru “altruistik love “ bagi para siswanya. Dalam istilah psikologi dikenal dengan kata altruisme yaitu sebuah perasaan sayang atau cinta seseorang kepada orang lain tanpa meminta imbalan dari orang lain. Ini yang biasa dikenal dengan istilah Ikhlas atau tanpa pamrih.

Bagi guru altruistik love, pandemik bukan halangan melainkan sebuah tantangan agar menjadi kreatif dan inovatif. Karena mereka selalu mengajar dengan “Cinta” dan landasan :

1. Guru yang mendidik bukan hanya mengajar

Ada perbedaan antar mendidik dan mengajar. Mendidik adalah usaha untuk mengantarkan anak didik kearah kedewasaan baik secara jasmani dan rohani. Mendidik bisa diartikan juga upaya pembinaan secara personal, sikap mental akhlak peserta didik.

Sedangkan mengajar adalah suatu proses kegiatan belajar dan mengajar. Mendidik lebih luas pengertiannya dari mengajar, karena mendidik memiliki tanggung jawab moral secara ruh, sedangkan mengajar hanya transfer yang bersifat pengetahuan saja. Saat ini kebanyakan guru hanya menyampaikan materi pembelajaran saja, padahal dibalik itu ada sebuah tujuan besar, yaitu bagaimana merubah akhlak generasi muda Indonesia menjadi generasi yang hebat dan luar biasa.

2. Mendidik sebagai media pengabdian kepada Tuhan YME

Guru altruistik love memahami bahwa mendidik dan mengajar itu merupakan media untuk mendekatkan diri kepada TuhanNya. Memberi pemahaman utuh akan ilmu merupakan amanah dari Tuhan. Sehingga dalam prosesnya pun mereka akan dengan senang hati menyampaikan ilmu kepada para siswanya. Mereka berharap dengan mendidik bisa menyelamatkan diri, lingkungan dan masyarakat luas. Sungguh satu tugas yang mulia. Dengan kesadaran ini, guru altruistik love melihat bahwa anak-anak adalah anugrah dari Tuhan yang harus dijaga dan dipelihara sebaik mungkin.

3. Menjalankan tugas sepenuh hati

Guru bukan sekedar profesi yang harus djalankan, sehingga gugurlah kewajiban setelah dirinya mengajar. Namun lebih dari itu, guru harus menjalani hari- hari dengan penuh kesabaran dan perjuangan untuk mendidik para siswanya. Sadar bahwa diri punya tanggung jawab sebagai “agent of chance”, guru harus menjalani proses dan menikmatinya. Memang tidak dapat dipungkiri, mendidik itu bukan perkara mudah. Banyak tantangan yang harus dihadapi. Apalagi di era digital saat ini, dimana arus informasi tidak dapat dibendung lagi. Selain itu kecanggihan teknologipun berkembang begitu pesat. Guru harus bangkit dan meng-counter semua itu, saatnya para Guru mengajar dengan penuh cinta.

4. Mendidik tanpa 3 M

Menurut Ibu Wismiarti Tamim, seorang pendiri sekolah dengan metode Sentra, Beliau mengungkapkan bahwa dalam rangka mendidik anak- anak, terutama anak usia dini haruslah berpatokan pada tanpa 3M, yaitu tanpa marah, tanpa menyuruh dan tanpa melarang. Menjadikan anak didik berkembang, eksplorasi dan berkreasi tanpa batas.

5. Guru yang menyenangkan

Jadilah guru yang disukai para siswanya. Guru yang selalu dirindukan kehadirannya, bukan sosok yang menakutkan dan dibenci. Untuk menjadi sosok ini tentunya seorang guru harus all out dalam mengajar. Bagaimana membuat anak- anak senang ketika belajar. Membuat siswanya merasa nyaman ketika berada di kelas. Membuat metode pembelajaran yang menarik. Memadukan materi pembelajaran dengan game atau simulasi. Sehingga anak-anak tidak boring saat belajar. Libatkan selalu anak- anak dalam membuat proyek yang menyenangkan.

6. Guru yang up date dan up grade

Ditengah kondisi pandemik seperti ini, seorang guru harus selalu semangat belajar memperbaiki diri, menambah ilmu dan keterampilan. Guru harus up grade terhadap sesuatu yang baru, terutama dalam bidang teknologi. Jangan sampai guru dianggap gaptek atau gagap teknologi. Kondisi selalu berubah dengan cepat dan tak pasti. Guru altruistik love harus selalu siap dalam perubahan tersebut.

Guru altruistik love selalu berperan dalam kehidupan. Tidak saja disekolah, namun juga dimasyarakat luas. Sosoknya akan dikenang sepanjang masa, karena mereka mendidik dengan hati, bukan sekedar fisik. Ketika seorang guru membuka hati, maka akan diterima juga secara hati oleh para siswanya. Kondisi apapun dalam hidup ini bukan halangan bagi para Guru altristik love, karena mereka selalu siap menjadi figur yang terbaik. Mari para Guru, kita selalu menjadi Guru “altruistik love”.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image