Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image UMI KULSUM

WAHYUNI DAN INKA

Sastra | 2021-09-28 17:50:28

Fauzi membuka jurnal mengajar dan mulai memasukkan nilai ulangan. Suasana kelas ramai dengan celoteh para siswa. Mereka baru saja menyelesaikan koreksi bersama. Ulangan pekan lalu baru bisa diperiksa hari ini, sebab terpotong tanggal merah di hari Kamis. Hasil ulangan kali ini cukup menyedihkan. Hampir separuh kelas harus mengikuti remedial.

Pada satu nama, Wahyuni, tangan Fauzi berhenti. Ia terkejut. Bagaimana bisa nilainya cuma 55? Belum pernah selama dua tahun mengajar kelas ini, skor Wahyuni demikian rendah. Fauzi memandang Wahyuni. Tempat duduknya lurus dengan meja guru, di baris ketiga. Kepala Wahyuni di atas meja, dengan posisi miring. Dia sedang mendengarkan Inka, teman sebangkunya, bicara.

“Wahyuni, sini,” Fauzi memanggil. Wahyuni beranjak dengan langkah pelan.

“Tumben nilaimu turun?” Fauzi menunjukkan kertas ulangan. Wahyuni meringis, tersenyum malu. Dia hanya beralasan sedang pusing dan tidak enak badan saat ulangan lalu.

Kelas ini, X Multimedia, adalah kelas perwalian Fauzi. Ada lima belas siswi dan dua puluh siswa, Hanya di kompetensi keahlian Multimedia saja yang jumlah peserta didik putera dan putri hampir seimbang. Di kompetensi keahlian lain, didominasi putri.

Bel istirahat berbunyi. Fauzi membereskan laptop dan memasukkan dalam ransel. Peserta didik putera bergantian menyalami sebelum melesat keluar. Sementara yang perempuan hanya menangkupkan tangan di depan dada. Mereka tahu Fauzi tidak bersalaman dengan perempuan bukan mahram, walau murid sendiri.

Fauzi meuju ruang guru. Ia melewati kelas dua belas Bisnis Daring Pemasaran. Sayup ada suara musik berdentam. Fauzi berbelok ke kelas itu, melongokkan kepalanya melalui pintu yang terbuka separuh.

Cukup melongok saja, kelas perlahan jadi sepi. Heru (satu-satunya putera di kelas itu) buru-buru mematikan gawai dan mencabut kabel pelantang suara. Fauzi geleng-geleng kepala. Bisnis Daring ini kompetensi yang spesial. Ragam masalah sering timbul dari sini. Beberapa nama menjadi langganan pembahasan dalam rapat dewan guru.

Lima tahun mengajar di SMK, Fauzi mengenal ciri khas setiap kompetensi keahlian. Multimedia kelas yang santai dan kreatif. Perkantoran, Perbankan, dan Akuntansi lumayan serius, dikenal tekun dan jarang ada masalah besar muncul. Perhotelan hampir mirip dengan Bisnis Daring Pemasaran.

Fauzi guru populer. Wajah gantengnya menjadi daya tarik. Apalagi dia masih belum menikah. Beberapa siswi, terutama yang sudah kelas dua belas, cukup agresif menggoda. Fauzi bersikap sebagaimana layaknya guru: mengayomi, menjaga dan sekaligus menghargai. Dia menanggapi panggilan manja dengan senyum saja, tidak berniat meladeni.

Banyak guru berdedikasi tinggi di sekolah ini. Salah satu yang menjadi perhatian Fauzi adalah Bu Tyas. Guru senior BK ini benar-benar all-out. Kunjungan ke rumah siswa kelas yang diampu biasa dilakukan, apalagi jika bermasalah. Baik bermasalah secara karakter, maupun masalah ekonomi. Bu Tyas sigap menangani persoalan sejak dini, sebelum berkembang menjadi masalah serius. Telaten memberikan waktu khusus konsultasi dan diskusi.

Fauzi mendorong pintu kaca ruang guru. Tengah hari begini, ruangan sudah penuh oleh Bapak Ibu guru yang rehat. Fauzi menuju loker, membuka kuncinya dan menyimpan jurnal di sana. Sudah habis jadwal mata pelajaran Sejarah hari ini. Sepekan Fauzi mengajar sebanyak 28 jam. Sisa waktu di luar jam mengajar digunakan untuk mengoreksi, menulis artikel atau cerpen, dan bermain badminton di aula sekolah. Sesekali bercengkrama dengan anak-anak perwalian di gazebo yang ada di halaman tengah.

Auzi selesai salat dhuhur berjamaah, ia kembali ke ruang guru. Dua puluh menit ke depan, bel masuk setelah istirahat kedua akan berbunyi. Inka muncul di pintu. Ia mengangguk pada Fauzi, lalu menunggu di luar. Fauzi bergegas ke luar ruangan. Inka meminta izin menyampaikan sesuatu lewat WA nanti sore. Fauzi mempersilakan.

Inka anak yang aktif. Ia sekretaris OSIS. Sigap dan cekatan mengerjakan tugas. Ia juga aktif di Pramuka dan Taekwondo. Prestasi akademiknya juga tidak mengecewakan. Ia disayang para guru dan dihormati teman-temannya. Apalagi Inka berasal dari keluarga terhormat. Ayah Inka seorang pengusaha kondang.

Fauzi memandang lapangan. Lantai semen lapangan basket memantulkan sinar matahahri. Beberapa anak melintas sambil menenteng nasi bungkus dan mukena. Fauzi terkenang masa SMAnya dahulu. Saat itu ia tidak pernah bercita-cita menjadi guru di kota kelahitannya ini. Ia ingin merantau ke Bandung, kota impiannya. Bandung menjadi perhatian setelah melihat sepak terjang Hasna, kakak perempuannya.

Lulus SMA, Hasna belum berhijab sempurna. Kadang dipakai, kadang tidak. Ia menekuni hobi menyanyi. Hasna tahu Abah tidak menyukai kegiatannya itu. Hasna nekat memilih PTN di Bandung agar bisa menjadi penyanyi profesional.

Pilihan Hasna mengecewakan Abah. Mamak memilih bersikap netral, tidak menunjukkan penentangan yang frontal. Abah melepas dengan berat hati setelah melalui proses diskusi yang panjang dengan Mamak.

Dua semester di Bandung, Hasna membawa kejutan besar ketika pulang: ia berjilbab rapi, bahkan sangat rapi. Abah sujud syukur. Mamak menangis terharu dan membagikan berkat berisi nasi kotak beserta kue ke tukang becak di sekitar alun-alun dan stasiun.

Iman itu diperjuangkan, begitu kata Hasna ketika ditanya Fauzi asal muasal keinsyafannya. Dulu Hasna sangat membanggakan statusnya sebagai anak ulama yang cukup disegani. Abah sering mengisi ceramah di penjuru Kabupaten, juga ke beberapa kota di provinsi. Anak-anak Abah dihormati dan disegani. Suatu waktu Hasna akan mengikuti jejak Abah dan Mamak. Suatu waktu, tapi tidak dalam waktu dekat. Ia ingin meraih dulu cita-cita asal: penyanyi prosefional. Menjadi daiyah yang pintar menyanyi tentu keren.

Di Bandung, Hasna sempat menjajal menjadi penyanyi elekton, untuk hiburan pernikahan. Salah satu debutnya yaitu di aula salah satu masjid terkenal. Permintaan pengantin hanya lagu-lagu religi. Saat adzan dhuhur, Hasna salat berjamaah. Dia berkenalan dengan salah satu pengurus masjid tersebut, seorang mahasiswi yang cerdas dan santun. Di situlah bermula. Hasna perlahan bergabung. Cita-cita penyanyi lenyap seiring semangat berubah yang menggebu-gebu. Hasna seolah menemukan dirinya yang baru. Kebaruan yang mengundang senyum sumringah Abah dan Mamak.

Fauzi mengikuti jejak Hasna ke Bandung. Ia memilih perguruan tinggi kependidikan. Lima tahun kemudian, Fauzi kembali. Koneksi Abah yang luas membuatnya mudah memulai karir di sekolah tengah kota.

Di rumah, sepulang salat Ashar berjamaah di masjid, Fauzi mendapat pesan WA dari Inka.

“Wahyuni hamil, Pak. Sekarang ia sedang memesan obat penggugur kandungan secara online.”

Fauzi gemetar, dia terduduk lemas sambil beristighfar.

“Saya menyarankannya untuk bicara dengan Bapak, tapi katanya nanti, dia menunggu hasil obat itu dahulu.”

Fauzi hendak menghubungi Bu Tyas, tapi diurungkan. Inka diminta untuk memantau keadaan Wahyuni dan melaporkan secara rutin. Inka menyanggupi.

Fauzi menelepon Hasna dan menanyakan banyak hal tentang kehamilan. Penjelasan Hasna semakin membuat Fauzi khawatir.Usia muda sudah hamil, kondisi kejiwaan labil, tertekan oleh rasa malu, takut, cemas, tak berdaya. Anak-anak sekarang, balligh, alias matang secara seksual namun lemah akal. Belum aqil. Belum mengenal kewajiban sebagai manusia dewasa yang sudah dihitung pahala dan dosa.

Keesokan hari Wahyuni tidak masuk. Ibunya menelepon, memohonkan izin dengan alasan sakit. Ingin rasanya Fauzi segera ke rumahnya. Inka memberi tahu bahwa Wahyuni dibawa ke rumah sakit di luar kota.

Sampai hari keempat tidak ada kabar lagi. Surat keterangan dokter diantar oleh siswa kelas dua belas, tetangga depan rumah Wahyuni. Fauzi berusaha menelepon orangtua, namun tidak terhubung. Sementara sudah dua hari Inka tidak masuk sekolah karena sakit. Fauzi kehilangan sumber informasi. Akhirnya Fauzi melibatkan Bu Tyas. Ia menceritakan secara lengkap apayang diketahuinya tentang keadaan Wahyuni. Mereka bersepakat hendak melakukan kunjungan ke rumah Wahyuni besok..

Pagi di hari yang ditentukan, menjelang pukul delapan pagi. Baru saja Fauzi turun dari masjid sekolah setelah dhuha, Bu Tyas tergopoh-gopoh mendekatinya.

“Anak panjenengan kritis di rumah sakit,” pucat pasi Bu Tyas mengabari.

“Rumah sakit mana?”

“Rumah sakit bersalin. Keguguran, ya Allah, Pak,” tangan Bu Tyas gemetar menunjukkan gawai. Ia kesulitan mencari-cari sesuatu di WAnya.

“Dikabari Ibu Wahyuni?” Fauzi bertanya tak sabar.

“Ibu Wahyuni? Bukan! Ibunya Inka.”

“Inka dan Ibunya menunggui Wahyuni?”

Bu Tyas memandang Fauzi bingung.

“Inka yang kritis, Pak! Dia minum obat penggugur kandungan!”

Fauzi limbung. Dua anak kebanggaannya; Wahyuni yang cerdas, Inka yang terampil dan cekatan. Terbayang wajah orangtua Inka. Terngiang kalimat Hasna: iman itu tak dapat diwariskan. Ia harus diperjuangkan.

UMI KULSUM

GURU BAHASA INGGRIS DI SMKN 1 JOMBANG

PESERTA WORKSHOP MENULIS CERPEN REPUBLIKA

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image