Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Adhiya Alfi Zikri

Tak Ada Yang Lebih Tabah, Bijak Dan Arif Dari Pandemi Pergi

Lomba | Sunday, 26 Sep 2021, 00:29 WIB

Segala menebal segala mengental selamat tinggal. Mengambil kutipan dari eyang Sapardi dalam salah satu sajaknya “tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni, tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni dan tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni”. Pun begitu dengan pandemi, “tak ada yang lebih tabah, bijak dan arif dari pandemi pergi”.

Hidup adalah tentang mencari intisari. Setiap gerak langkah kaki, setiap peristiwa yang terjadi, air mata, tangis bahagia menjadi pelangi dalam hidup. Sebetulnya, segala hal baik dan hal buruk itu datangnya silih berganti. Ibarat siang dan malam, pria dan wanita, ujian dan kebahagiaan. Maka apa yang harus dicemaskan ketika hal buruk sedang terjadi. Semuanya silih berganti? Hal yang perlu kita lakukan membaca membaca dan berkaca diri mengapa hal tersebut bisa terjadi?

Dewasa ini pandemi telah menjadi buah bibir yang paling panas dan seksi untuk ditampilkan oleh kalangan masyarakat dunia, Indonesia terkhususnya. Berbagai macam teori konspirasi pun berdatangan dari pengamat dan peniliti. Hal ini pun menjadi buah simalakama bagi para penikmat ota lapau (sebuah tempat minum kopi dikedai-kedai kecil disertai dengan debat kusir), diskusi-diskusi kecil-kecilan dan masyarakat pada umumnya. Akibatnya terjadilah perdebatan panjang yang tak kunjung usai, saling curiga mencurigai dan terbentuknya dua kubu yang saling bertentangan, antara yang percaya akan pandemi (Covid-19) dan tidak percaya akan pandemi (Covid-19). Peran pemimpin memang betul-betul diuji pada kali ini. Apakah mereka bisa memberikan kontribusi terbaiknya sebagai pemimpin atau mendapat olok-olokan dari beberapa buah bibir sebagai seorang pemimpi.

Covid-19 atau Coronavirus Disease 19, merupakan sebuah penyakit menular yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2. Pandemi ini telah membuat tatanan dunia goncang pada abad 21. Jika melihat catatan sejarah, di Indonesia –dahulunya bernama Hindia Belanda– juga pernah ada wabah atau pandemi yang mematikan seperti saat sekarang ini, disebut dengan pandemi influenza atau wabah flu spanyol yang puncaknya terjadi sekitar tahun 1918 silam. Wabah tersebut juga merupakan wabah penyakit yang terganas umat manusia karena kematian korban mencapai hingga jutaan orang. Dalam buku “Pandemi Influenza 1918 Di Hindia Belanda” mengatakan bahwa diperkirakan antara 20 hingga 40 juta orang meninggal dunia karena wabah penyakit mematikan tersebut.

Kita, manusia sebagai korban dari pandemi ini telah memberikan dampak yang besar terhadap tatanan hidup berkehidupan. Banyak hal sebenarnya ibrah yang dapat dipetik dari peristiwa ini. salah satunya, dengan pandemi ini kita merasakan bagaimana rasanya terpenjara walaupun di rumah sendiri. Semula segala aktifitas dilakukan diluar ruangan sekarang dihambat oleh wabah penyakit yang tak terlihat dan kasat mata. Rasanya seperti omong kosong belaka, namun eh ternyata pasti adanya.

Dilansir dari Suara.com, para ilmuwan menyatakan bahwa selama masa pandemi Covid-19 pada awal tahun 2020 lalu, lapisan ozon yang selama ini menjadi ancaman bagi kesehatan manusia dan iklim mengalami penurunan sebanyak 15 persen secara global. Hal ini secara tidak sengaja memberikan dampak yang baik bagi kemaslahatan umat manusia disamping besarnya efek buruk pandemi yang melanda.

Berbicara mengenai andai-andai ada dua maksud yang coba penulis tangkap. Pertama sebuah bentuk permohonan, pengharapan atau doa dari apa yang diinginkan atau diidam-idamkan, kedua bentuk keputusasaan dari sebuah cobaan atau malapetaka. Jika memilih, tentunya pilihan pertama menjadi pilihan yang pas melihat situasi dikala ini.

Andai pandemi pergi, maka semuanya tak akan seperti dulu lagi, hiruk pikuk 17 Agustus akan terdengar lagi, paspor tak akan jadi barang antik lagi, pernikahan tidak hanya ijab kabul lalu pergi dan setidaknya tertanam perilaku hidup besih dan sehat dalam bayangan masyarakat yang semula abai terhadap hal-hal kecil seperti mencuci tangan dan lain sebagainya menjadi lebih peka dan tahu diri.

Teknologi telah mengambil peran penting ketika pandemi melanda. Segala hal, baik dalam bentuk kegiatan, pekerjaan hingga media informasi berada dalam jangkauan teknologi. Andai pandemi pergi tentunya orang-orang tidak akan terlepas dari kecanduan teknologi. Terutama kalangan anak-anak remaja yang dipaksa belajar dengan android pintarnya. Hal tersebut akan menjadi candu bagi mereka, terlepas apakah digunakan untuk belajar atau malah sebaliknya. Namun yang paling inti dari andai pandemi pergi ini adalah orang-orang akan lebih harga menghargai, sebab pandemi telah memberikan manusia banyak pelajaran berharga dan pengalaman yang tak terduga. Pandemi mengajarkan manusia agar lebih arif dan bijaksana.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image