Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dodo Hinganaday

Seandainya Pandemi Pergi...

Lomba | 2021-09-25 23:58:17

Pada abad XIV begitu banyak orang menginginkan Black Death segera pergi dari dunia ini, khususnya Eropa. Akan tetapi, ketika akhirnya terbebas dari wabah pes yang merenggut jiwa jutaan orang ini, Eropa tidak serta-merta dilanda sukacita. Banyak dari mereka yang masih hidup tersiksa akibat dampak yang ditinggalkan oleh pandemi: tingginya harga bahan pangan, lemahnya kondisi psikis, dan rasa bersalah. Jangan sampai kita mengalami hal yang sama seandainya pandemi Covid-19 pergi dari bumi Indonesia.

Tingginya harga bahan pokok, antara lain, menjadi sorotan Lawrence Raymond Poos, ahli sejarah dari Amerika. Poos (2004) menuliskan kaitan antara tingginya harga makanan dan kenaikan upah buruh tani di Inggris setelah Black Death. Menurut Poos, meningkatnya harga bahan pangan mendorong tingginya upah pekerja pertanian. Ketika harga sudah mulai turun, sejalan dengan turunnya populasi, para pekerja tetap menginginkan upah yang tinggi. Upah yang mahal itu kemudian cenderung menyebabkan para majikan atau tuan tanah mencari tenaga baru yang lebih murah.

Tanda-tanda pengulangan gejala itu pada masa kini sudah mulai tampak, walaupun dengan corak berbeda. Sementara harga pangan masih relatif terkendali, kita sempat mengalami kenaikan harga barang-barang yang dipercaya bisa mencegah penularan Covid-19. Sebut saja masker, cairan pembersih lantai, dan hand sanitizer. Pada saat yang sama, tapi tidak berhubungan langsung, beberapa perusahaan merumahkan pegawainya. Berkurangnya kapasitas produksi dan pelayanan menyulitkan mereka dalam membayar gaji pegawai, bahkan walaupun para pegawai itu tidak meminta kenaikan gaji.

Selain harga yang tidak terkendali, lemahnya kondisi psikis masyarakat juga dominan terjadi pada masa Black Death. Mari kita ambil contoh Francesco Petracco, penyair Eropa masa itu yang lebih dikenal sebagai Petrarca atau Petrarch. Seperti dikatakan Findlen (2020), Petrarca menulis demikian: “Tahun 1348 meninggalkan kita sendiri dan tak berdaya.” Kalimat yang murung itu masih dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan, antara lain mengenai hidup setelah banyaknya orang yang meninggal.

Kondisi psikis yang menurun ini ditambah lagi dengan rasa bersalah akibat meninggalnya orang-orang terdekat. Begitu besarnya rasa bersalah itu antara lain juga diungkapkan oleh Petrarca : “Saudaraku! Saudaraku! Saudaraku! [ ] Saya berharap, Saudaraku, bahwa aku tidak pernah dilahirkan atau, setidaknya, telah meninggal sebelum saat-saat ini” (Epistula familiaris 8.7). Orang-orang menjadi begitu kesepian setelah ditinggalkan anggota keluarga atau sahabat yang mereka kasihi. Kematian pada masa pandemi terlihat begitu buruk sehingga Petrarca berandai-andai bahwa seharusnya ia saja yang meninggalkan atau tidak pernah dilahirkan.

Membaca pengalaman dan tulisan Petrarca, sekali lagi akan ditemukan keserupaan dengan pengalaman kita pada masa pandemi Covid-19. Bila melihat ke sekitar, dapat kita temukan sesama kita yang berduka karena ditinggal orang-orang yang mereka cintai. Jangan lupa, kita bisa berjumpa anak-anak yang menjadi yatim piatu karena orang tua mereka dirampas oleh Covid-19. Pengalaman ini dapat menjadi semacam luka batin bagi mereka bila tidak ada yang mendampingi dan membantu penyembuhan psikis mereka. Kita ingat pula bahwa masyarakat mengalami stress dalam berbagai tingkatan, mulai dari bosan karena terlalu lama di rumah sampai frustrasi menghadapi persoalan hidup.

Melihat pengalaman-pengalaman tersebut, kita bisa jadi khawatir bahwa pengalaman masyarakat Eropa setelah pandemi Black Death akan kita alami juga seandainya Covid-19 sudah pergi. Akan tetapi, kita masih dapat mengatasinya, justru dengan persiapan yang kita mulai sekarang pada saat pandemi. Dukungan dari pemerintah tentu kita harapkan, terutama dalam pengendalian harga dan inflasi. Diharapkan pula pemerintah bersinergi dengan banyak pengusaha dalam menambah kesempatan bagi banyak orang demi menemukan mata pencaharian baru dan menyambung hidup.

Selain dalam hal penghidupan ekonomis, kita juga dapat bekerja sama untuk menjaga kesehatan psikologis diri sendiri dan sesama. Jangan segan-segan menghibur orang-orang di sekitar dengan cerita-cerita positif. Berdoa bersama juga menjadi cara yang baik untuk saling menyemangati dan meneguhkan, berharap daya Ilahi membantu kita semua. Kita juga dapat membantu dengan sedikit bersabar mendengarkan dan menemani orang yang sedang frustrasi. Syukur bila kehadiran kita dapat memberi jalan keluar bagi mereka yang kita dampingi, terutama bila mau berbagi segala sesuatu yang kita miliki untuk membantu mereka.

Dengan segala persiapan itu, kita boleh berharap bahwa seandainya pandemi pergi, kita akan tetap sehat secara jasmani dan rohani. Kuncinya ada pada sinergi, kemauan untuk saling peduli, serta kerendahan hati di hadapan Sang Pencipta dan Pemilik Hidup.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image