Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Alan Nur

Potensi Semakin Meredupnya Hegemoni Dollar AS

Bisnis | Tuesday, 24 May 2022, 17:54 WIB
Foto: ANTARA/Aditya Perdana Putra

Meskipun dollar AS masih mendominasi transaksi perekonomian global, namun data Dana Moneter Internasional (IMF) mengungkapkan terjadinya tren penurunan dollar AS sebagai cadangan devisa dunia. Pada tahun 2000, porsi dollar sebagai cadangan devisa yang tersimpan di bank sentral di seluruh dunia sebesar 71% sementara pada tahun 2020 hanya menjadi sebesar 59%.

Dalam laporan yang dipublikasikan IMF pada Maret 2022 berjudul “The Stealth Erosion of Dollar Dominance: Active Diversifiers and the Rise of Nontraditional Reserve Currencies” menyingkap fakta bahwa terkikisnya dollar AS bukan disebabkan karena naiknya porsi mata uang euro, pound, atau yen yang selama ini menjadi pendamping dollar AS sebagai cadangan devisa yang umum di simpan oleh bank sentral di dunia. Justru, ada kecenderungan bagi bank sentral di dunia untuk meningkatkan simpanan cadangan devisa mereka dalam bentuk mata uang lain. Masih menurut laporan tersebut, renminbi China menjadi rising star sejak tahun 2016 yang konsisten mengalami peningkatan sebagai mata uang simpanan cadangan devisa.

Pada akhir tahun 2021, renminbi China berada di urutan kelima sebagai mata uang yang disimpan sebagai cadangan devisa di bank sentral di seluruh penjuru dunia dengan prosentase sebesar 2,79%, setelah pound, yen, euro, dan dollar AS masing-masing sebesar 4,78%, 5,57%, 20,64%, dan 20,64%.

Kuatnya pengaruh dollar AS dalam kancah global tidak terlepas dari perjanjian Bretton Wood di mana pada tahun 1944, 44 negara sepakat memilih dollar AS sebagai mata uang utama dunia sebab di masa itu AS menjadi negara dengan simpanan cadangan emas terbesar di dunia dimana pencetakan dollar AS di back up dengan emas. Namun pada Agusuts 1971, dollar AS sebagai mata uang yang di back up emas memudar pasca Presiden Nixon memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan perjanjian Bretton Wood sehingga dollar AS yang dicetak sudah tidak lagi berdasar pada emas sebagai dasar pencetakan uang.

Pasca dollar AS tidak di back up emas, dollar AS masih tetap perkasa dalam kancah global. Selain karena bank sentral di seluruh dunia sudah terlanjur menyimpan dollar AS sebagai cadangan devisa, keberhasilan AS membujuk Arab Saudi sebagai negara eksportir minyak terbesar di dunia untuk memberlakukan transaksi minyak seluruhnya menggunakan dollar AS pada tahun 1974 menjadi bargaining baru bagi dollar AS dalam dominasi mata uang global.

Meskipun semua negara di dunia menggunakan dollar AS sebagai transaksi internasional, Rusia dan China sebagai rival hegemoni AS di kancah global menyadari akan potensi ancaman dollar AS sebagai alat tekan untuk memperlemah perekonomian negara tersebut. Embargo ekonomi dianggap sebagai bentuk dari perang asimetris, termasuk di dalamnya mencakup sanksi ekonomi yang dapat mengganggu sektor moneter.

Sadar akan potensi penggunaan sanksi ekonomi sebagai sarana untuk memperlemah negara, terhitung sejak 2010, Bank Sentral Rusia dan Bank Sentral China terus memperbanyak cadangan devisa dalam bentuk emas dari surplus perdagangan yang mereka dapatkan dengan tren yang terus mengalami peningkatan hingga 2020. Rusia dan China sangat aktif mendiversifikasi cadangan devisanya agar konsentrasi dollar AS tidak terlalu besar.

China sedang berusaha untuk mengembangkan ekosistem baru guna menandingi hegemoni dollar AS melalui pengembangan mata uang digital atau Central Bank Digital Currencies (CBDC) berbasis blockchain. Bermodalkan 125 negara yang bermitra dagang dengan China, potensi penggunaan mata uang digital China sangat memungkinkan terjadi. Jika China berhasil menguasai moneter digital, tentunya menjadi ancaman besar bagi disrupsi penggunaan dollar AS di kemudian hari sebagai mata uang utama dalam perdagangan internasional.

Kemunculan kabar Arab Saudi tengah mempertimbangkan renminbi sebagai mata uang untuk transaksi minyak adalah indikasi berikutnya yang menunjukkan bahwa dunia saat ini sedang berusaha untuk mengurangi ketergantungan dollar AS dalam transaksi perdagangan internasional, terlebih saat ini China merupakan pembeli kedua terbesar minyak Arab Saudi setelah AS. Apabila Arab Saudi sebagai negara eksportir minyak terbesar di dunia benar-benar membuka opsi pembayaran minyak menggunakan renminbi, maka tentu akan membawa konsekuensi bagi AS baik dari sudut pandang ekonomi maupun politik.

Konflik Rusia dan Ukraina yang berujung pada peperangan juga membawa dinamika baru bagi posisi dollar AS sebagai alat transaksi perdagangan internasional. Salah satu respon AS terhadap serangan Rusia ke Ukraina adalah dengan menghapus Rusia dari daftar SWIFT Code sehingga Rusia sudah tidak lagi dengan mudah menerima dan mengirim uang dari dan ke luar negeri menggunakan sistem tersebut.

Sebagai eksportir gas alam terbesar pertama dan sebagai eksportir minyak terbesar ketiga di dunia, Rusia menyikapi sanksi SWIFT Code dengan mengharuskan negara-negara yang mengimpor gas alam dari Rusia untuk membayar menggunakan mata uang rubel kepada negara yang dianggap tidak bersahabat dengan Rusia. Hingga kini, pasar impor terbesar gas alam Rusia berasal dari negara-negara Eropa sehingga negara-negara Eropa sangat bergantung kepada gas alam Rusia.

Mata uang rubel bukanlah sebagai mata uang yang lazim disimpan sebagai cadangan devisa, maka Rusia membuka kesempatan konversi emas untuk ditukar menjadi rubel. Dengan konversi rubel dalam bentuk emas, membuka kembali riwayat sistem pembayaran yang sebelumnya pernah diterapkan di mana posisi uang sebagai alat pembayaran dilandaskan pada emas sebagai nilai yang mendasarinya sehingga membuka diskusi akan kemungkinan untuk mempertimbangkan kembali penggunaan fiat money.

Apa yang dilakukan Rusia dengan konversi emas terhadap rubel adalah hal yang juga menarik bila ditinjau dari sisi ekonomi Islam. Memang terjadi perdebatan diantara ekonom syariah tentang penggunaan fiat money sebagai alat tukar pembayaran karena ketiadaan intrinsic value sehingga terdapat kebebasan pemerintah untuk mencetak uang yang mengakibatkan kestabilan nilai uang fiat money cenderung kurang stabil daripada mata uang yang memiliki intrinsic value sebagaimana penggunaan dinar-dirham yang terjadi pada masa Rasulullah SAW.

Namun apa yang dilakukan Rusia dengan menerapkan konversi emas ke rubel patut dicermati, sebab semenjak adanya kesempatan konversi emas terhadap rubel mampu menekan gejolak nilai tukar rubel terhadap dollar AS. Awalnya ketika Rusia mendapatkan sanksi ekonomi dari AS dan keluar dari SWIFT Code, rubel sempat mengalami tekanan depresiasi yang hebat terhadap dollar AS. Namun semenjak adanya kesempatan konversi emas terhadap rubel menjadikan posisi nilai tukar rubel terhadap dollar AS menjadi terapresiasi, bahkan nilai tukar rubel terhadap dollar AS saat ini lebih baik dibanding sebelum pecahnya konflik perang dengan Ukraina.

Negara lain dapat mengambil pelajaran dari Rusia akan potensi penggunaan sanksi ekonomi yang diberikan oleh AS dan sekutunya sebagai alat tekan. China sudah pasti mengamati dengan cermat kondisi yang terjadi terhadap kemungkinan adanya potensi ancaman sektor moneter yang mungkin akan dihadapinya. Andai barat memberlakukan sanksi ekonomi terhadap China, sudah selayaknya bagi Indonesia bisa mempersiapkan sedari dini setiap kemungkinan yang terjadi dengan kalkulasi dampak serta konsekuensinya.

Diakomodirnya transaksi melalui Local Currency Settlement (LCS) adalah langkah Bank Indonesia sebagai otoritas moneter di Indonesia untuk ikut mengurangi ketergantungan terhadap dollar AS. LCS adalah tools yang berguna bagi Indonesia untuk memperkuat hubungan dengan para mitra dagang dari negara lain guna memudahkan transaksi ekspor impor. Setidaknya sudah ada empat negara yang sepakat dengan penerapan LCS yaitu Jepang, Malaysia, Thailand dan yang terbaru adalah China.

Rusia telah mengawali pembelian gas bumi dengan mata uang lokalnya dan Arab Saudi sedang mempertimbangkan peluang pembelian minyak bumi dengan mata uang renminbi. Indonesia mungkin dapat mempertimbangkan langkah yang sama untuk ekspor komoditas sumber daya alam yang tersimpan di bumi Indonesia sehingga rupiah memiliki daya tawar untuk menjadi salah satu mata uang global yang disegani dan meningkatkan kedudukan rupiah dalam perdagangan internasional.

Dengan realitas bahwa ketergantungan dunia pada dollar AS semakin berkurang, patut dicermati apakah tren meredupnya dollar AS masih akan terus berlanjut dan bahkan memunculkan tatanan mata uang baru yang menggeser dominasi dollar AS di dunia? Mungkinkan penggunaan fiat money yang dicetak tanpa intrinsic value akan dikaji kembali? Dalam lingkup yang lebih luas, apakah ini menjadi salah satu pertanda semakin melemahnya pengaruh dollar AS terhadap perekonomian global? Waktu yang akan menjawab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image