Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Cut Syafira Aldina

Andai Pandemi Pergi: Apakah Wabah The Lost Of Adab Ikut Pergi?

Lomba | Saturday, 25 Sep 2021, 21:41 WIB
Ilustrasi kesehatan mental. Foto: pixabay

Jika rata-rata orang membahas tentang sejarah Covid-19 mulai dari awal mula muncul saat tahun 2020 kemudian dikaitkan dengan kiat-kiat pendukung agar ekonomi Indonesia menjadi pulih kembali. Saya akan sedikit keluar dari zona biasa yang relatable juga dengan keadaan saat ini. Terkait isu mental illness atau gangguan kesehatan mental yang semakin menjadi-jadi akibat pandemi Covid-19 melanda. Bahkan UN (United Nations) mencatat, jumlah penduduk dunia yang mengalami depresi mencapai 264 juta jiwa.[1] Sementara Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat (Jabar) mengatakan 60 persen warganya mengalami tekanan psikis, cemas dan khawatir karena pademi Covid-19.[2]

Saya memang bukan psikiatri, maka dari itu perkataan dari Dr. Fidianjah, Sp. KJ, MPH, seorang Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa akan saya kutip. Menurutnya, Pandemi Covid-19 ialah pandemic berdimensi multisektor (Bio Psiko Social Spiritual) yang menyebabkan ketakutan dan kegelisahan karena banjirnya informasi asimetris dan misleading (Infodemi). Maka dari itu saat awal sekali muncul ada fenomena panic buying, oknum-oknum yang memanfaakan keadaan untuk menimbun masker sehingga harganya menjadi naik drastis.[3]

Bahkan pada awal pandemi, pembicaraan terkait Covid-19 di grup Whatsapp kerap kali dilarang dengan alasan tidak ingin daya tahan tubuhnya menurun. Pandemi berhasil memberikan multiple stressors pada tatanan kehidupan masyarakat. Mulai dari stres menghadapi sekolah online, secara tiba-tiba terkena PHK, sampai harus menerima penurunan omset besar-besaran.

Sampai pada poin ini, kita bisa melihat bahwa pandemi tidak hanya berhasil memberikan efek lebih terhadap kesehatan fisik, namun juga berpengaruh terhadap mental health atau kesehatan mental. Hanya saja, yang disayangkan adalah rakyat Indonesia terlalu overthinking sampai akhirnya self-diagnose atau mendiagnosis diri sendiri dengan istilah mental illness yang terdengar cukup keren namun sayangnya mispersepsi.

Misalnya, langsung mendiagnosa diri sendiri setelah membaca tulisan dari internet tentang ciri-ciri anxiety atau gangguan kecemasan kemudian dihubungkan dengan kondisi perasaan saat itu. Berakhir dengan berpikir bahwa dirinya sedang mengidap enxiety disorder. Lalu yang terjadi setelahnya, cenderung mengambil pengobatan yang salah karena lagi-lagi mencari tahu secara mandiri sehingga bukan sembuh tapi justru kebalikannya. Kondisi mental health malah semakin memburuk.

Polanya sama terhadap mental illness lain, seperti Mood Disorders, Schizophrenia/Psychotic Disorders, Dementias, Eating Disorder, Bipolar dan berbagai istilah lainnya. Informasi yang sangat mudah didapati mengenai mental health akhir-akhir ini kerap sekali dikemas dengan bahasa mudah lengkap dengan visual yang apik berhasil membuat kaum milenial tertarik.

Sayangnya, saya melihat motif yang berulang selama pandemi. Kaum milenial ini, setelah self-diagnose, mereka mulai menilai keadaan sekitar. Dan keluarga menjadi objek diagnosa selanjutnya. Ketika harus terkurung dalam jangka waktu yang cukup lama bersama keluarga karena karantina mandiri, pasti ada saja kisah dramatic yang dialami setiap keluarga. Bahkan, tidak jarang ada yang baru tahu sifat salah satu keluarganya saat berkumpul di masa pandemi ini.

Intensitas pertemuan yang awalnya hanya seminggu sekali atau bahkan setahun sekali, sekarang malah harus terkurung hampir dua tahun dengan kondisi yang sama. Sama-sama tidak bisa bebas keluar ramah, serta sama-sama berada di kondisi mental yang kurang lebih serupa. Berakhir dengan mengklaim orang tuanya adalah pelaku utama dalam rusaknya kesehatan mental sang anak.

Lantas kalimat Toxic Parent menjadi padanan kata yang sering diungkit saat orang tua mulai menampakkan ciri-cirinya. Seperti mengontrol gerak-gerik anak, sering mengkritik pakaian yang dipakai anak, sampai mengganggu privasi anak adalah ciri dari toxic parent. Sehingga, saat orang tua menampakkan salah satu ciri, sang anak yang sudah khatam belajar dari internet langsung mendiagnosis dan merasa paling benar. Apalagi ditambah dengan pendapat-pendapat dari influencer yang padahal tidak pernah mengambil jurusan psikologi.

Lebih menyedihkan lagi, kaum milenial mengutuk atau bahkan menceritakan apa yang mereka alami di rumah kepada random people. Bukan pada psikiater. Seperti menulis kisah tentang betapa racunnya keluarga yang ia miliki di kolom komentar instagram yang sedang membahas tentang mental illness. Tanpa peduli sisi lain dari alasan mengapa orang tua bersikap seperti itu.

Maka saat mengalami mental illness jangan pernah cari jalan keluar dari internet apalagi bertukar nasib dengan para depresi imaginer lainnya di luar sana. Tidak semua yang dialami orang lain harus disamakan dengan apa yang kita alami. Mungkin kita punya masalah yang sama, tapi bukan berarti penyelesaiannya juga harus sama seperti netizen yang meninggal bunuh diri karena depresi. Jika ada kaum yang mengutuk orang tuanya dengan sebutan toxic parent berakhir dengan membangkang, lantas kita tidak harus ikut-ikutan membangkang, kan?

Prinsipnya, mengalami mental illness bukan tanda lemahnya iman, tapi ajang untuk meningkatkan keimanan.

Last but not least, Pandemi Covid-19 berlalu jangan sampai adab juga berlalu begitu saja tanpa ada kemajuan atau malah terjadi kemunduran. Karena mau tidak mau, kemunduran peradaban kaum muslim hari ini salah satunya karena the Lost of Adab. Harusnya dengan adanya moment kumpul bersama keluarga, gunakan untuk mengambil peran kebaikan serta porsi ibadah lebih. Orang tua tidak perlu tumpukan uang, tapi beradab dengan baik itu sudah cukup membuat mereka bangga.

Lantas, jika dengan dibangunkan tidur oleh orang tua agar bantu memasak saja sudah marah dan berteriak bilang toxic, itu sebenarnya yang harus diperbaiki orang tua atau malah anaknya?

Sumber:

[1] United Nations, Policy Brief: Covid-19 and the need for Action of Mental Health, 13 May 2020, United Nations

[2] https://republika.co.id/berita/daerah/jawa-barat/qywtky485/emil-60-persen-warga-jabar-cemas-karena-pandemi

[3] Pandemi dan Mental Health: Meringkas Isu Kesehatan Mental selama Satu Tahun di Era Pandemi, Departmen Advokasi dan Kajian Strategis, BEM KM FKG UGM 2020, Hlm. 1

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image