Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sevilla Nouval Evanda

Andai Pandemi Pergi, Siapa yang Pergi dan Apa yang Dinanti?

Lomba | Saturday, 25 Sep 2021, 16:04 WIB
Republika.co.id/Putra M. Akbar" />
Saat pandemi yang mengimbas seluruh dunia ini pergi tiba-tiba, apa yang perlu kita benahi sebelum menyambut kembali awal baru yang selalu dirindukan? Foto: Republika.co.id/Putra M. Akbar

Satu tahun setengah terakhir ini membuat saya mengalami banyak hal yang rasanya sama saja—sama sama membuat saya patah hati. Berbagai fase saya lewati di masa pandemi, mulai dari menjumpai kawan yang tak percaya Covid-19, tak pernah bersedia divaksin, hingga orang-orang yang sangat cemas dengan penyakit ini dan tak pernah senggang dari membersihkan barang-barang dengan cairan pembersih.

Contohnya saja, penelitian yang diterbitkan dalam Asian Journal of Psychiatry pada Desember tahun lalu mengidentifikasi coronaphobia dan tiga komponen kecemasannya. Yang saya pahami, komponen itu termasuk kekhawatiran berlebih yang berpengaruh pada detak jantung, nafsu makan, dan pusing.

Para peneliti juga menyebut komponen lainnya, yaitu ketakutan berlebih dan perilaku menghindar terhadap hal yang terkait langsung dengan penularan atau penyebaran Covid-19.

Belum habis hal-hal negatif baru yang saya jumpai di tengah wabah, kabar berpulangnya bude dari ayah saya, Titik, sampai di telinga. Rasa panas menjalar di hati, mata, hingga wajah saya. Beberapa hari sebelumnya, beliau dikonfirmasi terinfeksi Virus Corona.

Memang, persiapan diri akan kondisi terburuk pasien Covid-19 sudah digaungkan di mana-mana sejak 2020. Namun tetap saja, perih di hati tak semudah itu pudar. Apalagi, beliau adalah orang yang merawat salah satu adik saya sejak kecil. Di luar sana, ada kurang lebih 141 ribu korban tewas akibat Covid-19 yang tentu menyisakan rasa perih di jiwa orang-orang tersayang mereka.

Saya tak bisa berlama-lama larut dalam kesedihan saya kala itu. Sebagai mahasiswi Diploma III, saya harus bersiap diri melewati tahun terakhir kuliah saya. Mulai dari pencarian tempat magang, pengaturan ulang jadwal kuliah, bahkan menahan diri untuk tidak membeli jilbab baru yang modis agar dapat tetap membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) semester kelima.

Hati saya juga dimakan kegundahan.

“Apa nilaiku akan turun?” begitu kurang lebih. Dalam satu semester sebelumnya, saya menghabiskan enam hari seminggu untuk bekerja jadi pegawai kedai kopi. Tentu saja, untuk membantu sendatnya kemampuan finansial keluarga.

Di saat-saat terpuruk, kadang saya membayangkan bagaimana kalau ini semua hanya mimpi? Seperti sistem plotting deus ex machina dalam novel-novel. Bangun-bangun, saya hanya perlu mematikan alarm pada pukul setengah lima pagi dan siap-siap pergi ke kampus menggunakan bus. Lalu, saya pun dapat memanfaatkan masa muda dengan bersosialisasi layaknya masyarakat biasa tanpa rundungan pandemi. Siapa yang tak suka kembali ke masa indah?

Jika saja pandemi pergi, tiba-tiba, sama seperti kala ia datang tanpa diundang, apa semuanya bisa kembali normal secara nyata? Hampir 24 bulan seluruh lapisan masyarakat menyesuaikan diri, menerapkan protokol kesehatan, mengubah sistem pendidikan dan kerja, bahkan perekonomian negara yang sempat terombang-ambing.

Andai pandemi tak pernah ada, bude saya mungkin masih di sini, bersilaturahmi ke rumah setiap satu atau dua bulan sekali. Saya, mahasiswi jurnalistik ini pun bisa belajar dengan baik, melakukan peliputan di sana-sini tanpa takut terjangkit. Mungkin, kesenjangan finansial kami tidak akan separah ini.

Namun, begitulah pandemi. Meski tiba-tiba datang tanpa diharapkan, umat manusia sudah terlanjur beradaptasi untuk bertahan. Akan sangat menggemparkan saat ia pergi. Manusia mungkin diselimuti kebahagiaan, tetapi belum tentu dengan lingkungan dan segala sistem yang telah kita ciptakan. Semuanya perlu dikonversi kembali. Orang-orang pun bisa saja memadati jalanan lagi dan dengan dadakan menciptakan polusi.

Kita perlu berbenah diri. Jangan sampai hanya ditelan rasa bersemangat untuk kembali beraktivitas. Menurut Republika Online, Badan Energi Internasional mengatakan, aktivitas rata-rata global di jalan turun hampir 50 persen dibandingkan pada 2019. Dalam waktu singkat pun, perkotaan mencatat penurunan polutan yang terkait dengan mesin pembakaran internal. Jadi persiapkan, bagaimana kelak kita harus bersikap terhadap planet ini setelah kembali ke awal yang "lama"?

Jangan terlena. Suatu saat, saya percaya akan tiba saatnya manusia bisa mengendalikan wabah ini dengan ikhtiar dan niat baik. Setelah kita kembali atau justru melupakan kehidupan lama, saya yakin, lingkungan juga pasti ingin adaptasi yang tepat dari kita untuk mereka.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image