Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Anggawinata Rachmat Hidayat

Bahasa di Tengah Reruntuhan: Peran Diksi dalam Membentuk Empati Korban Bencana

Eduaksi | 2025-12-14 23:11:49

Setiap bencana alam selalu meninggalkan kerusakan yang terlihat dan yang tidak terlihat. Bangunan runtuh dapat disaksikan dengan mata, tetapi luka batin para korban sering kali hanya hadir melalui kata-kata. Di sinilah bahasa memegang peran penting. Cara kita memilih dan menggunakan kata dapat membuat masyarakat ikut merasakan penderitaan korban atau justru merasa jauh dan tidak peduli.

Dalam pemberitaan bencana, kata-kata yang digunakan sering kali hanya berisi angka dan data. Jumlah korban, rumah rusak, dan wilayah terdampak disampaikan secara cepat dan singkat. Informasi ini memang penting, tetapi jika hanya berhenti pada angka, korban seolah kehilangan sisi kemanusiaannya. Padahal, di balik setiap angka ada keluarga yang kehilangan rumah, orang tua, atau masa depan.

Ahli bahasa menjelaskan bahwa pilihan kata sangat memengaruhi perasaan pembaca. Kalimat seperti “ratusan orang terdampak” terdengar biasa saja, berbeda dengan “ratusan keluarga kehilangan tempat tinggal dan harus bertahan di pengungsian”. Kata-kata yang menggambarkan pengalaman hidup korban membuat pembaca lebih mudah berempati dan memahami beratnya situasi yang mereka hadapi.

Sumber :

 

  • BBC News Indonesia,
  • Melaporkan dari,Tapanuli Tengah, Sumatra Utara

Selain pilihan kata, cara menyusun kalimat juga berpengaruh. Banyak berita menggambarkan korban sebagai pihak yang pasif, misalnya “warga dievakuasi” atau “korban dipindahkan ke pengungsian”. Kalimat seperti ini tidak salah, tetapi kurang menunjukkan perjuangan korban. Jika ditulis “warga berusaha menyelamatkan anak-anak dan barang seadanya saat air terus naik”, pembaca dapat merasakan kepanikan dan usaha keras yang dilakukan korban.

Bahasa juga bisa menimbulkan kesalahpahaman jika tidak digunakan dengan hati-hati. Ungkapan seperti “alam murka” atau “bencana sebagai hukuman” sering muncul dalam percakapan dan berita. Meski terdengar dramatis, istilah ini dapat membuat orang menganggap bencana sebagai sesuatu yang tidak bisa dicegah. Akibatnya, perhatian terhadap penyebab manusia, seperti kerusakan lingkungan atau tata kota yang buruk, menjadi berkurang.

Para ahli bahasa mengingatkan bahwa bahasa bukan hanya alat menyampaikan berita, tetapi juga alat membangun kepedulian. Bahasa yang terlalu resmi dan kaku sering kali terasa jauh dari penderitaan korban. Sebaliknya, bahasa yang sederhana, jujur, dan manusiawi lebih mudah menyentuh hati pembaca.

Sumber : Chicago, Gatra.com

Di tengah reruntuhan akibat bencana, kata-kata dapat menjadi penguat bagi para korban. Bahasa yang tepat mampu menggerakkan empati, solidaritas, dan bantuan nyata. Karena itu, memilih kata saat berbicara atau menulis tentang bencana bukan sekadar soal gaya bahasa, tetapi juga soal tanggung jawab kemanusiaan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image