Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image adhimas buana

Ketika Hutan Hilang, Banjir Tak Terelakkan

Lainnnya | 2025-12-14 23:10:57

Tragedi Ekologis yang Tidak Terhindarkan Pendahuluan Banjir besar setelah hujan lebat melanda beberapa daerah di Sumatera pada akhir November 2025. Rumah-rumah rusak berat dan ratusan ribu orang mengungsi, dengan jumlah korban jiwa yang dilaporkan mendekati seribu orang. Peristiwa ini bukan hanya bencana alam, namun akumulasi kerusakan lingkungan yang telah lama terjadi. Deforestasi yang sangat parah di beberapa provinsi di Sumatera merupakan penyebab utama yang disebut paling memperhebat efek bencana ini.

https://pixabay.com/id/photos/latar-belakang-natal-kabut-hutan-1535201/

Artikel ini menjelaskan bagaimana deforestasi yang menyebabkan banjir mencapai skala dan intensitas yang sangat besar, serta kebijakan kebijakan yang kontroversial yang mengiringinya, dan langkah-langkah yang harus diambil agar tragedi serupa tidak kembali terulang.

Deforestasi di Indonesia tren yang mengkhawatirkan Indonesia dulunya memiliki hutan hujan tropis terluas di dunia. Namun dalam waktu kurang dari 50 tahun, laju hilangnya hutan yang sangat besar telah berjalan sehingga kestabilan ekologi sudah terancam. Deforestasi di Sumatera dilakukan secara agresif melalui pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, penambangan, pembangunan infrastruktur, dan penebangan ilegal. Organisasi lingkungan hidup melaporkan bahwa sejak tahun 2016 hutan di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat menyusut hingga jutaan hektar. Hingga banyak Daerah Aliran Sungai (DAS) yang kini berada dalam kondisi sangat kritis akibat berkurangnya tutupan hutan di bawah ambang batas aman. Ketika tutupan pohon hilang, kemampuan wilayah tersebut dalam menahan kelemahan udara hujan dan kerentanan terhadap banjir meningkat secara drastis. Meski pemerintah mengklaim jumlah penggundulan hutan menurun dalam beberapa tahun terakhir, para ahli berpendapat bahwa kerusakan yang terjadi dalam jangka panjang masih menyebabkan daya dukung lingkungan runtuh. Banjir Besar di Sumatera: Dampak dan Kronologi Badai tropis dan curah hujan ekstrem pada akhir November 2025 menyebabkan banjir besar di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Dalam beberapa jam, banjir menghancurkan daerah pemukiman, infrastruktur, dan lahan pertanian.

Dampak Bencana Besar

 

  • Korban jiwa mendekati 1.000 orang.
  • Lebih dari satu juta orang mengungsi.
  • Jembatan, jalan, sekolah, dan fasilitas umum rusak parah.Banyak desa terlindungi selama berhari-hari karena tertutupnya akses transportasi.
  • Ratusan ribu hektar lahan pertanian terendam lumpur.
  • Selain kerusakan fisik, penduduk mengalami ancaman kelaparan dan penyebaran penyakit akibat udara yang tercemar. Bencana ini dengan cepat berubah dari krisis lingkungan menjadi krisis kemanusiaan.

Mengapa Deforestasi Memperparah Banjir?

1. Hilangnya Penyangga Air Alami Hutan bagaikan spons besar yang menyerap udara dan menahannya di dalam tanah. Akar pohon memanjangkan struktur tanah agar tidak mudah tergerus. Ketika hutan ditebang, hujan air mengalir lebih cepat ke sungai, sehingga meningkatkan risiko terjadinya banjir bandang dan tanah longsor.

2. DAS yang Rusak dan Tidak Seimbang Banyak DAS di Sumatera yang sekarang kehilangan vegetasi penutup yang sangat penting. Di beberapa daerah, tutupan hutan tinggal di bawah 25 persen. DAS yang sangat kritis tidak mampu menahan limpasan udara, karena itu hujan deras langsung berubah menjadi arus banjir yang menghancurkan.

3. Aktivitas Industri Ekstraktif Skala perkebunan besar, tambang terbuka, dan pembangunan infrastruktur telah mengubah bentuk lahan dan mengganggu sistem hidrologi alami. Banyak kanal dan drainase yang dibangun tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang pada aliran air

4. Cuaca Ekstrem Akibat Perubahan Iklim Badai tropis tahun 2025 dipengaruhi oleh pemanasan global yang menyebabkan hujan ekstrem menjadi sangat lebat. Ketika kondisi iklim yang semakin tidak stabil bertemu dengan lingkungan yang sudah rusak maka tidak ada jalan lain kecuali bencana. Kontroversi dan Dinamika Politik Banjir yang menimbulkan kerusakan secara drastis memang terlihat jelas di ruang publik. Pemerintah menilai bahwa cuaca ekstrem menjadi penyebab utama, sedangkan deforestasi bukan faktor utama. Namun, kelompok-kelompok lingkungan, ahli hidrologi, dan akademisi menyatakan bahwa pengabaian perlindungan hutan selama bertahun-tahun telah membahayakan ketahanan alam.

Pemerintah pusat kemudian mengumumkan rencana revisi besar-besaran untuk tata ruang Sumatera, termasuk kemungkinan mengembalikan beberapa wilayah ke fungsi hutan lindung. Investigasi atas dugaan penebangan ilegal juga diluncurkan setelah banjir membawa ribuan potongan kayu ke permukaan sungai, yang menjadi bukti visual kerusakan hutan di daerah hulu.

Kontroversi ini mencerminkan kebutuhan akan transparansi yang lebih besar dalam pengelolaan hutan dan perizinan usaha.

Dampak Ekologis dan Sosial yang Lebih Luas

1. Ancaman terhadap Keanekaragaman Hayati

Habitat kera owa bertangan merah, orangutan Tapanuli, dan harimau Sumatera, spesies yang paling terancam punah di dunia, telah mengalami kerusakan serius. Banjir dan tanah longsor menghancurkan koridor habitat yang sudah terfragmentasi akibat aktivitas manusia.

2. Kerugian Ekonomi dan Hilangnya Mata Pencaharian

Petani telah kehilangan lahan produktif. Pasokan pangan terganggu. Biaya pemulihan infrastruktur diperkirakan mencapai triliunan rupiah. Sementara itu, masyarakat adat yang bergantung pada hutan harus menghadapi masa depan yang suram.

3. Peningkatan Risiko Kesehatan

Sanitasi yang buruk, udara yang tercemar, dan keterbatasan tenaga medis meningkatkan kemungkinan terjadinya ledakan penyakit yang disebabkan oleh banjir, mulai dari diare hingga infeksi kulit dan pernapasan.

Jalan Menuju Pemulihan dan Pencegahan

1. Penguatan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup

Pelepasan hewan pembohong, perubahan hutan, dan izin lahan dengan niat buruk harus dihukum tegas. Pengawasan lapangan dan audit lingkungan perlu diperketat.

2. Rehabilitasi Hutan dan Daerah Aliran Sungai

Pemulihan kawasan hutan di hulu sungai harus menjadi prioritas nasional. Reboisasi saja tidak cukup memulihkan pemulihan ekosistem yang komprehensif dan berbasis ilmu pengetahuan.

3. Revisi Perencanaan Penggunaan Lahan dan Manajemen Risiko

Perencanaan tata ruang harus aman secara ekologis, bukan hanya secara ekonomis.Daerah rawan bencana harus ditetapkan sebagai zona dengan pembangunan terbatas.

4. Adaptasi Perubahan Iklim

Pemerintah daerah dan pusat perlu memasang sistem peringatan dini, memperkuat infrastruktur tahan banjir, dan mendidik masyarakat tentang mitigasi bencana.

Kesimpulan

Banjir besar di Sumatera merupakan gambaran yang sangat jelas bahwa kerusakan lingkungan berdampak langsung pada keselamatan manusia. Ketika hutan hilang, air kehilangan ruang untuk menampung, tanah kehilangan struktur penopangnya, dan alam kehilangan keseimbangannya. Dalam situasi seperti itu, satu badai ekstrim saja sudah cukup untuk menyebabkan bencana berskala nasional.

Indonesia mempunyai kesempatan untuk memperbaiki keadaan: melalui penegakan hukum yang kuat, perencanaan tata ruang yang berkelanjutan, dan komitmen terhadap perlindungan ekosistem. Hutan bukan hanya sumber ekonomi tetapi juga benteng masyarakat terakhir setelah bencana. Tragedi Sumatera adalah peringatan keras bahwa tanpa perlindungan lingkungan, bencana hanyalah masalah waktu.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image