Jika Pandemi Berakhir, Hibridisasi Akan Lahir
Lomba | 2021-09-25 09:03:15
Akan menjadi seperti apa dunia jika pandemi pergi atau berakhir? Pertanyaan tersebut kini mulai menggedor-nggedor pikiran banyak orang, tidak hanya para cerdik-cendikia, pemimpin negara, tetapi juga rakyat biasa. Meskipun, tidak seorang pun berani dan bisa memastikan kapan pandemi Covid-19 ini akan sungguh-sungguh menyingkir.
Pandemi Covid-19 yang berasal dari Wuhan (Cina) sejak akhir 2019 dan terdeteksi menginfeksi Indonesia pada Maret 2020, sesungguhnya mengulang rangkaian sejarah wabah yang pernah menghantam Indonesia di zaman Hindia Belanda (abad XVIII-XX). Sebut saja cacar, kolera, pes, hingga flu spanyol. Segala upaya penanggulangan pun dilakukan. Cacar, kolera, dan pes berhasil ditekan lewat vaksinasi. Sementara pandemi flu spanyol menghilang seiring terbentuknya kekebalan kelompok (herd immunity).
Antara Petaka dan Pembaruan
Berkaca dari masa lalu, wabah (pegebluk) hadir dengan dua muka: petaka dan pembaruan. Ketika cacar, pes, hingga flu spanyol menjalar, ratusan ribu hingga jutaan jiwa menjadi korban. Berkelindan dengan itu, Hindia Belanda berbenah diri agar tak tersapu pandemi lagi. Perkembangan kedokteran berbasis masyarakat lebih diperhatikan. Di masa ini, mulai dibangun sekolah kedokteran pertama di Hindia-Belanda, yaitu Sekolah Dokter Djawa yang kemudian menjadi School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen (STOVIA) pada 1849.
Sekolah ini pada mulanya bertujuan mencetak para mantri atau juru cacar pribumi untuk membantu pemerintah yang kewalahan dalam memvaksinasi cacar. Di luar itu, sikap dokter Belanda yang diksriminatif terhadap pribumi membuat kesal para dokter STOVIA sehinga turut memengaruhi sikap kebangsaan mereka dengan menginisiasi pendirian organisasi pergerakan.
Kehidupan pasca-wabah pes juga begitu terasa. Masyarakat di Jawa mulai mengenal rumah-rumah yang terbuat dari bata dan kayu dengan atap genteng untuk mencegah mudahnya tikus masuk rumah. Rumah-rumah mereka yang sebelumnya terbuat dari bambu beratap daun ataupun jerami dibakar karena dianggap sarang tikus berkutu pembawa penyakit pes.
Sementara di Batavia, ketika sanitasi buruk dan munculnya berbagai wabah seperti kolera dan malaria, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Willem Daendels memindahkan pusat pemerintahan dari kawasan Kota Tua ke arah Selatan, yang bernama Weltevreden (daerah Medan Merdeka dan sekitarnya). Pada masa inilah, pemerintah melakukan perbaikan pada sistem sanitasi kota dan mengalihkan pembangunan yang semula berbasis lautan (pelabuhan) di era VOC ke sektor daratan. Gedung-gedung pemerintah dan perkantoran kemudian dilengkapi wastafel pembersih tangan guna mencegah penularan wabah kolera.
Begitu pula usai pandemi flu spanyol, selain memperkuat peran dokter pribumi, juga terjadi reformasi sektor kesehatan. Influenza Ordonatie (protokol resmi untuk menghadapi epidemi influenza di masa depan) diluncurkan pemerintah pada 1920. Pemerintah juga membentuk Inter-coordination Agency yang mengatur koordinasi pelabuhan, karantina, dan edukasi. Imbauan pembatasan sosial dan penerapan hidup bersih diberlakukan kepada masyarakat. Mirip dengan apa yang terjadi saat ini guna memerangi pandemi Covid-19.
Pada skala global, pandemi flu Spanyol memaksa Perang Dunia I segera dituntaskan. Kelelahan dan keruewtan akibat flu Spanyol juga mendorong berbagai upaya kemitraan internasional hingga terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa (kini PBB). Berkaca dari lintang-pukang negara-negara dalam mengatasi flu, Liga Bangsa-Bangsa meluncurkan Health Organization di tahun 1923 sebagai cikal bakal World Health Organization (WHO), yang lahir pada 1948.
Hibridisasi Usai Pandemi
Dengan adanya pandemi Covid-19, setiap orang menghindari terjadinya kontak fisik dan beralih untuk melakukan berbagai aktivitasnya secara virtual atau online. Sebut saja belanja online, transaksi perbankan, rapat-rapat, dan sebagainya. Namun, andai pandemi berakhir sekalipun, tampaknya aktvitas virtual baik dalam kehidupan masyarakat, pemerintahan, maupun dunia pekerjaan, tidak akan sepenuhnya ditinggalkan. Dunia (termasuk Indonesia), akan memasuki tatanan hibridisasi sebagai kebiasaan baru (new normal).
Secara harfiah, hybrid berarti kombinasi dari dua atau lebih konsep yang akhirnya menghasilkan turunan dengan dwifungsi. Misalnya, percampuran aktivitas daring-luring, WFO-WFH, atau pembelajaran jarak jauh dan tatap muka. Model ini dirasa sangat fleksibel dan mendorong produktivitas tinggi di masa depan. Konsep ini merupakan jembatan antara adaptasi selama pandemi Covid-19 untuk mencegah penularan dan ketidakpastian terkait kemunculan kembali pandemi di masa mendatang dengan prilaku adaptif masyarakat terhadap perubahan zaman dengan memanfaatkan perkembangan teknologi.
Ada dua sektor utama yang sangat memungkinkan untuk beradaptasi dengan menerapkan hibdridisasi usai pandemi. Pertama, hybrid working yang merupakan penggabungan konsep bekerja di kantor dengan bekerja dari rumah atau lokasi lainnya. Penerapan hybrid working ini akan memberikan efek pada semua level dalam bisnis seperti pengaturan tugas, aktivitas, proses manajemen, dan penguasaan teknologi.
Fenomena di atas diperkuat dengan hasil penelitian terkini dari Cisco yang menunjukkan bahwa meningkatnya cara bekerja hybrid berdampak pada operasional perusahaan. Diprediksi, 77% organisasi besar akan meningkatkan fleksibilitas kerja, sementara 53% organisasi besar akan memperkecil ukuran kantor.
Kedua, hybrid learning di dunia pendidikan. Hybrid learning adalah pembelajaran yang menggabungkan berbagai pendekatan yakni pembelajaran tatap muka, pembelajaran berbasis komputer, dan pembelajaran berbasis online (internet dan mobile learning).
Model ini dinilai lebih efektif, uatamanya bagi mahasiswa ataupun pengajar yang berada di wilayah terpencil, dinas ke daerah, ataupun berada di luar negeri. Selain itu, hybrid leraning dapat memperkaya variasi kegiatan belajar mengajar dan mengurangi kejenuhan karena pembelajaran tatap muka dapat dikombinaskan dengan sistem daring.[]
#Lomba Menulis Opini
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
