Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Niswana Wafi Alfarda

Bagaimana memberantas korupsi dalam islam?

Politik | Thursday, 19 May 2022, 07:43 WIB

Sebagai umat islam, solusi yang kita gunakan untuk menyelesaikan seluruh problematika hidup haruslah berasal dari Islam. Hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan seluruh kaum muslim di masa lampau dalam kegemilangannya selama 13 abad.

Dalam memandang permasalahan tindak pidana korupsi yang terus terjadi tanpa henti di negeri ini maka Islam menetapkan bahwa korupsi adalah salah satu kepemilikan harta yang haram. Korupsi termasuk tindakan kha'in (pengkhianatan). Dalam Islam, korupsi juga merupakan masalah yang dilihat sebagai suatu kejahatan, dan kejahatan ini muncul karena sistem, artinya bukan kejahatan yang berdiri sendiri. Lantas, bagaimana cara agar korupsi ini dapat diselesaikan secara tuntas berdasarkan tuntunan Islam?

Kunci yang pertama adalah ketakwaan. Dalam surah Al-Baqarah ayat 2 disebutkan bahwa salah satu ciri orang yang bertakwa adalah memiliki keimanan. Adanya iman yang menjadi pondasi individu, masyarakat, dan negara, menjadikan kehidupan mereka berjalan sesuai dengan ketentuan Allah Swt. Harus kita ingat bahwa beriman berbeda dengan berislam. Orang yang beriman sudah pasti berislam, sedangkan orang yang berislam belum tentu beriman. Iman bukan hanya sekadar percaya akan keberadaan Tuhannya, melainkan juga meyakini seluruh ajaran-Nya dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini bermakna bahwa peran iman sungguh luar biasa besar dalam menuntun perilaku manusia. Sebuah hadist mengatakan "Seorang pencuri tidak akan mencuri ketika dia beriman." Dalam riwayat lain, Rasulullah juga menyatakan "Tidaklah berzina seseorang itu dalam keadaan beriman." Artinya bahwa iman itu mempunyai pengaruh yang kuat. Individu yang memiliki keimanan, dia akan mempunyai kesadaran bahwa ia senantiasa diawasi oleh Allah Swt. Di dalam Nash yang lain Allah juga menyatakan "Saat hari kiamat nanti, bumi, dan apapun yang kita tempati, apapun yang kita gunakan sebagai tempat berpijak, semua akan menceritakan apa yang pernah kita lakukan di atasnya," lalu bagaimana mungkin kita mampu berkutik di hadapan Allah Swt? Jawabannya adalah tidak akan mungkin. Dan itulah yang disebut sebagai keimanan.

Maka jika seseorang memiliki keimanan dan ketakwaan yang demikian, apapun yang akan dilakukan, semua akan terkawal dan terjaga, dengan imannya. Hal ini tentu terjadi jika kita memiliki keimanan. Oleh karena itu, Islam mempunyai konsep bagaimana suatu perbuatan merupakan aktivitas fisik yang lahir dari keimanan dan kesadaran. Yakni bahwa kita selalu terhubung dengan Allah, diawasi oleh Allah, dan apapun yang kita lakukan kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Ketika iman seperti itu ada di tengah masyarakat, maka masyarakat tersebut menjadi masyarakat islami karena seluruh pemikiran, perasaan, dan aturannya dibangun oleh Islam. Ketika iman seperti itu ada di dalam sebuah negara, dan negara itu dibangun atas akidah Islam, maka yang menjadi patokan adalah halal dan haram dan yang menjadi standar adalah hukum Islam, bukan hukum lain buatan manusia atau bahkan buatan para penjajah. Pada saat itu, pelanggaran terhadap hukum Islam otomotis tidak akan terjadi karena negara menegakkan hukum Islam untuk mengurus dan memimpin rakyatnya. Dalam konteks ini, jika 3 pilar itu ada, ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan penerapan sistem Islam oleh negara, maka potensi seseorang untuk melakukan tindak pidana korupsi sangatlah kecil.

Jika negara telah menggunakan hukum dan sistem Islam untuk mengatur dan mengurus rakyatnya, maka akan ada pengawasan, baik itu oleh masyarakat, maupun adanya hisbah (amar ma'ruf nahi munkar). Berdasarkan hukum Islam, perilaku kejahatan tindak pidana korupsi akan diserahkan kepada qadhi (hakim) untuk pemberian sanksi. Pengambilan sanksi ini dilakulan ketika semua pintu-pintu pencegahan sudah ditutup. Lalu bagaimana caranya supaya pintu pencegahan ini bisa ditutup?

Pertama, harus ditelusuri terlebih dahulu apa yang menjadi penyebab terjadinya korupsi. Jika seseorang melakukan korupsi karena faktor ekonomi, maka akan ditanyakan apa motifnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam Islam, wajib hukumnya bagi negara untuk memberikan jaminan ekonomi, sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan ke seluruh masyarakatnya. Tentunya jika semua kebutuhan sudah tercukupi dan seluruh masyarakat sudah teredukasi dengan Islam, lantas mengapa masih melakukan tindak pidana korupsi? Apakah gaji yang diberikan kurang? Maka negara akan memberikan kepada aparat yang bekerja bersama negara dengan gaji yang jauh lebih dari cukup. Namun jika masih tetap melakukan korupsi, maka kemudian negara akan mengambil tindakan yang tegas. Yaitu negara akan memberikan sanksi, dan sifat/karakter dari sanksi yang diberlakukan dalam Islam itu ada dua. Dia bersifat jawazir (pencegahan), dia akan menjadi pencegah terjadinya tindakan kriminal berulang. Hal ini dilakukan dengan cara membuat pelaku tindak kejahatan tersebut dipaksa agar merasa kapok, menyesal seumur hidup, dan tidak akan mengulang kejahatan yang sama dua kali. Dan bagi orang lain yang melihat hukuman seseorang yang sudah melakukan kejahatan tersebut, mereka akan berfikir 1000x untuk melakukan kejahatan yang sama. Fungsi kedua adalah sebagai jawabir (penebus) artinya dia akan menjadi penebus siksaan di akhirat. Yakni orang yang berbuat tindak pidana korupsi di dunia tidak akan diadili lagi atas dosa yang sama ketika kelak di akhirat.

Begitulah cara Islam menyelesaikan korupsi sehingga permasalahan korupsi akan benar-benar tuntas dan tindak pidana korupsi ini bisa diberantas hingga ke akar-akarnya. Alhasil, pencegahan dan pemberantasan korupsi ini hanya akan berhasil dalam sebuah negara yang menegakkan Islam sebagai hukum dan sistem aturan untuk masyarakatnya. Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang meyakini agamanya? (Q.S. Al-Ma’idah : 50)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image