Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sofyan Aziz

Potret Pembelajaran Yang Serba Salah

Guru Menulis | 2021-09-24 06:19:32

Guru mengajar, siswa belajar, seperti itulah konsep berbagi peran dalam tata kelola pembelajaran yang wajar. Kewajaran seperti ini, menjadi serba sulit dan serba salah, ketika wabah Korona menyerang, dan pembelajaran harus dilakukan jarak jauh.

Saya teringat, di awal-awal pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh dahulu, saya pernah mendapatkan surat melalui aplikasi whatsapp dari sekolah anak saya. Salah satu poin isi surat menyebutkan bahwa orang tua diminta mendampingi anaknya dalam proses belajar. Tentu saja saya masygul.

Antara masygul dan bingung datang silih berganti. Berbagai tanya berseliweran silih berganti. Apa guru mereka tidak tahu, bahwa di jam mereka belajar saya juga harus mencari nafkah untuk biaya anak saya belajar? Saya juga harus mengajar di jam yang sama dengan anak saya belajar. Membagi peran sebagai ayah bagi anak, sekaligus guru bagi siswa-siswa saya.

Kita tergagap pada proses yang tiba-tiba pada konsep Pembelajaran Jarak Jauh ini.

Menilik ke belakang, sebenarnya konsep Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ini merupakan barang lawas. Konsep alternatif yang sudah digagas sejak lama. Bahkan sebelum ada ontran-ontran Korona seperti ini.

Konsep e-learning, begitulah sebutannya. Namun nampaknya konsep pembelajaran yang baru dalam tahap pilot project atau sosialisasi ini, kini dengan terpaksa harus dimulai secara serentak dan mendadak.

Tentu saja hal ini menimbulkan permasalahan tersendiri. Setidaknya banyak pihak yang terlibat ikut terdampak dalam program PJJ ini, pasti dengan segala kerumitannya.

Pihak pertama, tentu pemerintah. Dengan dikomandani oleh Mendikbud, konsep pembelajaran ini nyatanya belum menemukan formula yang tepat diberlakukan oleh pihak penyelenggara. Satu kebijakan dari pusat tidak bisa begitu saja diterapkan mentah-mentah untuk seluruh wilayah Indonesia, dengan keanekaragaman sumber daya yang berbeda-beda.

Pihak kedua adalah sekolah. Dengan segala keterbatasannya, pihak sekolah melakukan inovasi-inovasi semampunya yang ala kadarnya. Gambaran sekolah saat ini ibarat anak-anak yang kehilangan induk semangnya. Mungkin karena terlalu banyak urusan yang harus diurus oleh induk semangnya.

Pihak ketiga adalah siswa, inilah alasan utama kenapa PJJ ini harus dilaksanakan. Untuk mencukupi kebutuhan anak terhadap sebuah pendidikan. Namun hal ini menjadi kesulitan yang luar biasa, khususnya untuk anak-anak yang kesulitan dengan pemenuhan sarana prasarana pembelajaran jarak jauh.

Pihak keempat adalah orang tua siswa. Orang tua biasanya tidak terlalu memusingkan hal-hal teknis dalam belajar. Sebab ada guru yang bertugas untuk itu. Tetapi kini nampaknya mereka harus ikut andil banting tulang memeras otak dalam mendampingi anak dalam proses belajar.

Padahal kita tahu, sebagian orang tua ekonominya tidak tumbuh atau bahkan minus dalam era wabah ini. Maka mendapatkan tugas tambahan dengan pemenuhan sarana HP, pembelian kuota, kerumitan mengoperasikan teknis pembelajaran, adalah hal yang memusingkan.

Namun sebaliknya, jika anak dibiarkan saja tanpa didampingi dalam belajar, maka kekhawatiran lain akan muncul. Apa anak-anak mereka bisa bertanggungjawab dalam belajar secara mandiri? Mengingat di sekolahan saja, jika guru meleng sedikit saja, siswa kabur-kaburan dan angin-anginan begitu.

Kerumitan-kerumitan semacam ini, memang menjadi peristiwa yang akan kita temui hari-hari ini, mungkin juga untuk beberapa bulan ke depan. Namun dengan memilih opsi bahwa siswa tidak perlu belajar saja, demi menghindari kerumitan-kerumitan, itu juga bukan pilihan yang bijak.

Belajar atau tidak belajar sama rumitnya. Jika siswa mengeluh dengan kesulitan belajar jarak jauh, siswa akan menyalahkan pihak guru yang membebani siswa dengan tugas belajar yang berat. Namun jika tidak diberi pelajaran, katanya guru makan gaji buta. Benar-benar sebuah kondisi yang serba salah.

Kemudian episode berlanjut saling menuntut. Pemerintah menuntut kepala sekolah, kepala sekolah menuntut guru, guru menuntut siswa, siswa menuntut orang tua, orang tua menuntut pemerintah. Berputar-putar begitu terus, sampai sinetron PPT memasuki jilid 125.

Jika lingkaran saling tuntut-menuntut ini terus saja berlanjut, ada pihak yang merasa lebih daripada pihak lain. Apa iya belajarnya diliburkan dulu barang setengah tahun? Apa kita tega anak-anak kita dilepas-liarkan tanpa belajar yang semestinya?

Namun seiring waktu, melandainya Korona ini membawa angin segar pada proses belajar anak didik kita. Pelaksanaan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas sudah mulai dilaksanakan di beberapa sekolah. Meski kapasitas kelas hanya terisi setengah, dan durasi pembelajaran yang mengambil jatah sepertiga dari pembelajaran yang normal, saya kira ini sudah pencapaian yang luar biasa.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image