Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Pelangi di Sudut Kota

Sastra | 2024-11-19 12:35:00
Sumber foto : Canva



Hujan baru saja reda ketika Maya melangkah keluar dari gedung panti asuhan "Kasih Bunda". Genangan air di jalanan memantulkan cahaya senja yang keemasan, menciptakan lukisan abstrak yang berkilauan di aspal basah. Aroma tanah yang baru tersapu hujan menggelitik hidungnya, mengingatkannya akan masa kecilnya dulu. Udara terasa lebih ringan, seolah hujan telah mencuci segala kepenatan yang menggantung di atmosfer kota yang sibuk.

Sudah lima tahun ia mengabdikan hidupnya sebagai pengasuh di tempat ini, merawat puluhan anak-anak yang ditinggalkan orang tua mereka. Setiap pagi, ia disambut oleh tawa riang dan tangisan yang bercampur menjadi satu simfoni kehidupan yang unik. Terkadang hatinya terasa berat melihat mata-mata polos yang masih mencari-cari sosok yang telah meninggalkan mereka, tapi Maya selalu berusaha menjadi pelita dalam kegelapan mereka.

"Kak Maya!" Suara kecil Dini, gadis cilik berusia tujuh tahun, menghentikan langkahnya. Suaranya melengking penuh semangat, kontras dengan rintik hujan yang masih tersisa. "Besok Dini ulang tahun. Kakak jadi datang kan?"

Maya menatap Dini lekat-lekat. Gadis kecil itu mengenakan dress biru muda pemberian donatur, dengan rambut dikepang dua yang sedikit berantakan setelah seharian bermain. Ada harapan yang begitu besar di mata bulat jernihnya, sesuatu yang selalu membuat Maya ingin melindunginya dari kekejaman dunia.
"Tentu sayang, Kakak pasti datang. Kita rayakan bersama teman-teman yang lain ya?" Maya tersenyum hangat, berjongkok menyamakan tingginya dengan Dini. Dalam hati, ia sudah menyiapkan kejutan kecil untuk Dini - sebuah boneka beruang yang ia jahit sendiri selama beberapa malam terakhir.

Dini mengangguk gembira, matanya berbinar-binar seperti kerlip bintang pertama yang mulai muncul di langit senja. Maya mengusap lembut rambut gadis kecil itu sebelum melanjutkan perjalanannya ke minimarket terdekat. Persediaan susu dan makanan anak-anak sudah menipis.

Langkahnya mantap menyusuri trotoar yang basah, pikirannya melayang pada daftar belanja dan kebutuhan panti. Di tengah jalan, perhatiannya teralih pada sosok seorang pria tua yang tampak kebingungan. Pakaiannya lusuh, namun ada sesuatu dalam caranya berdiri yang menunjukkan bahwa ia pernah menjalani kehidupan yang lebih baik. Tangannya yang gemetar memegang selembar kertas yang sudah kusut.

Maya menghampirinya, didorong oleh naluri keibuan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun merawat anak-anak panti. "Permisi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"
Pria tua itu mendongak, dan Maya melihat kehampaan sekaligus harapan yang bercampur dalam matanya yang berkaca-kaca. Gurat-gurat kesedihan dan penyesalan terukir jelas di wajahnya yang keriput. "Nak, saya mencari alamat ini. Katanya anak saya ada di sini..." Ia menyodorkan kertas yang dipegangnya dengan tangan bergetar.

Maya membaca alamat yang tertulis. Jantungnya berdegup kencang, mengetuk-ngetuk rusuknya seperti genderang yang menandakan sesuatu yang besar akan terjadi. Itu adalah alamat panti asuhan tempatnya bekerja. Berbagai skenario berkelebat dalam benaknya - sukacita reunifikasi, tangis haru pertemuan kembali, atau mungkin kekecewaan yang akan menghancurkan hati kecil yang telah lama menunggu.

"Nama anak Bapak siapa?" Maya bertanya hati-hati, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang meski jantungnya berpacu semakin cepat.
"Dini... Dini Pratama. Saya ayahnya."

Dunia Maya seakan berhenti berputar. Udara terasa lebih berat di paru-parunya. Dini, gadis kecil yang baru saja ditemuinya, yang selalu bertanya tentang orang tuanya setiap malam sebelum tidur, yang selalu berharap suatu hari nanti ayah atau ibunya akan menjemputnya. Dini yang setiap kali melihat keluarga lain datang berkunjung, akan duduk diam di pojok, menggambar sosok-sosok yang ia bayangkan sebagai keluarganya.
"Pak... kenapa baru sekarang?" Maya berusaha menahan emosinya yang berkecamuk. Ada kemarahan yang ingin meledak, ada kesedihan yang ingin tumpah, tapi ada juga secercah harapan yang mulai bersemi.
Pria itu tertunduk, bahunya yang lelah semakin merosot seolah menanggung beban yang tak terlihat. "Saya menyesal, Nak. Lima tahun lalu, istri saya meninggal saat melahirkan Dini. Saya terpukul, depresi, dan tidak sanggup merawat Dini. Setiap kali melihatnya, saya teringat istri saya, dan rasa sakit itu..." Suaranya tercekat. "Saya tinggalkan dia di panti asuhan. Tapi setiap malam, saya selalu dihantui rasa bersalah. Wajah istri saya selalu muncul dalam mimpi, mengingatkan saya akan janji untuk menjaga putri kami. Saya bekerja keras, menabung, dan mencoba memperbaiki diri. Sekarang... saya ingin menebus kesalahan saya."
Maya menatap pria itu lekat-lekat, mencari-cari kebohongan dalam kata-katanya. Tapi di matanya, ia hanya melihat kesungguhan dan penyesalan yang mendalam. Mata itu adalah mata seorang ayah yang telah melewati neraka penyesalannya sendiri.
"Mari ikut saya, Pak. Saya akan antar Bapak ke panti." Maya menuntun langkah pria itu dengan lembut.
Setibanya di panti, Dini sedang bermain dengan teman-temannya di taman. Tawa riangnya memenuhi udara sore, bercampur dengan cicitan burung-burung yang mulai pulang ke sarang. Maya memanggil gadis kecil itu, jantungnya berdebar menantikan momen yang akan mengubah hidup Dini selamanya.
"Dini sayang, ada yang ingin bertemu denganmu."
Dini menoleh, dan waktu seakan melambat ketika matanya bertemu dengan mata pria tua itu. Ada sesuatu yang familiar, sebuah ikatan yang tak terjelaskan, benang tak kasat mata yang menghubungkan dua jiwa yang terpisah. Mungkin itu yang disebut orang dengan ikatan darah - sesuatu yang lebih kuat dari waktu dan jarak.
"A-ayah?" Dini berbisik pelan, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Entah bagaimana, hati kecilnya mengenali sosok di hadapannya, menembus kabut lima tahun perpisahan.
Pria itu berlutut, merentangkan tangannya yang bergetar. "Maafkan ayah, Dini..." Suaranya pecah oleh isak tangis yang tertahan.
Dini berlari, menubruk ayahnya dengan pelukan erat. Tangis keduanya pecah, lima tahun kerinduan dan penyesalan luruh dalam dekapan hangat. Waktu seakan berhenti berputar, memberi ruang bagi ayah dan anak ini untuk merajut kembali ikatan yang sempat terputus.
Maya menyaksikan pertemuan itu dengan haru, air mata hangat mengalir di pipinya. Ia teringat kata-kata mendiang ibunya: "Cinta yang tulus tak pernah terlambat untuk memperbaiki kesalahan." Kini ia memahami makna kata-kata itu dengan lebih dalam.
Sejak hari itu, kehidupan di panti asuhan berubah. Ayah Dini tidak hanya mengunjungi putrinya, tapi juga membantu panti asuhan. Dengan keahliannya sebagai mantan montir, ia membuka bengkel kecil di dekat panti, mengajar anak-anak laki-laki keterampilan otomotif. Ada cahaya baru di matanya, seolah menemukan tujuan hidup yang baru.
Dini memilih untuk tetap tinggal di panti, sebuah keputusan yang mengejutkan semua orang. "Aku ingin berbagi kasih sayang dengan teman-temanku yang lain," katanya dengan bijak, menunjukkan kedewasaan yang melampaui usianya. Setiap sore, ia akan duduk di bengkel ayahnya, mendengarkan cerita-cerita tentang ibunya sambil mengerjakan PR.
Maya memandang langit senja dari beranda panti. Pelangi indah membentang di atas panti asuhan, seperti lengkungan senyum Tuhan yang memberkati. Gradasi warnanya mengingatkannya pada spektrum emosi yang telah ia saksikan hari ini - dari kesedihan terdalam hingga kebahagiaan yang meluap-luap.
Ia mengerti sekarang, bahwa cinta yang tulus memang mampu mengubah dunia - setidaknya dunia kecil mereka di sudut kota ini. Cinta itu seperti air hujan yang membasahi tanah kering, memberi kesempatan kedua bagi tunas-tunas harapan untuk tumbuh kembali.
Setiap hari, Maya melihat lebih banyak orang tua yang datang ke panti, mencari anak-anak mereka, ingin memperbaiki kesalahan masa lalu. Beberapa memutuskan untuk membawa pulang anak mereka, yang lain seperti ayah Dini, memilih untuk berkontribusi pada panti sambil membangun kembali hubungan yang sempat terputus. Masing-masing dengan ceritanya sendiri, dengan penyesalan dan harapannya sendiri.
"Kak Maya," suara Dini membuyarkan lamunannya. Gadis kecil itu berdiri di sampingnya, tangannya menggenggam selembar kertas berisi gambar keluarga. "Terima kasih ya, Kakak sudah menjaga Dini selama ini."
Maya tersenyum, memeluk gadis kecil itu. Aroma shampo strawberry yang familiar menggelitik hidungnya. "Sama-sama sayang. Kakak senang melihat Dini bahagia."
Di matanya, Dini telah tumbuh menjadi gadis yang penuh kasih. Pengalaman hidupnya tidak membuatnya pahit, justru mengajarkannya untuk lebih memahami dan memaafkan. Senyumnya kini lebih cerah, tawanya lebih lepas, seolah beban yang selama ini ia pikul telah terangkat.
Dan Maya? Ia tetap di sana, menjadi saksi bagaimana cinta yang tulus mampu menyembuhkan luka, memperbaiki kesalahan, dan mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik - satu pelukan, satu senyuman, dan satu pengampunan pada satu waktu. Di sudut kota ini, di bawah naungan pelangi yang memesona, ia melihat mukjizat cinta bekerja setiap harinya, mengubah kisah-kisah sedih menjadi nyanyian pengharapan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image