Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image MUHAMMAD SATRIA BAGUS ARDI

Pemberlakuan Trading In Influence dalam Hukum Indonesia

Politik | Thursday, 23 Sep 2021, 17:12 WIB

Kejahatan korupsi kian hari kian bervariasi dalam berbagai modusnya, salah satunya yakni memperdagangkan pengaruh / Trading in influence. Trading in influence diatur secara detil dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 (UU Tipikor). Meskipun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa kali membuktikan perkara korupsi yang berawal dari trading in influence, tapi tetap saja perlu upaya membuktikan perbuatan memperdagangkan pengaruh dalam tindak pidana korupsi. Terdakwa juga bisa menjadikan teka-teki tentang jual pengaruh itu sebagai celah untuk meloloskan diri.

Menurut Artidjo Alkostar almarhum guru besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia “Perdagangan pengaruh adalah suatu tekanan yang mempengaruhi sikap orang untuk menentukan pendapatnya sehingga dengan demikian lebih bersifat tekanan, di mana tekanan dapat berupa: (1) tekanan kekuasaan politik, dan (2) tekanan ekonomi. Dalam arti kata memberi janji, apa pun bentuknya yang berupa yang menguntungkan bagi orang mau dan dapat dipengaruhi.”

Perdagangan Pengaruh sama-sama diatur dalam United Nations Convention Against Corruption 2003 (UNCAC) yang telah di ratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Namun sampai dengan saat ini, UU Tindak Pidana Korupsi belum memasukkan trading in influence sebagai salah satu tindak pidana korupsi. Itulah sebabnya pada kasus-kasus tersebut belum dapat diterapkan sebagai tindak pidana perdagangan pengaruh.

Contoh Kasus Trading In Influence di Indonesia

Di Indonesia sendiri sejatinya telah terdapat beberapa kasus trading in influence dengan berbagai modus diantaranya kasus impor daging sapi, kasus kuota impor gula, dan kasus “papa minta saham” (Freeport). Hingga kini meski belum adanya pengaturan terkait perdagangan pengaruh, penegak hukum cenderung memaksakan pasal suap terhadap terdakwa. Contoh kasus kuota impor daging sapi yang melibatkan Luthfi Hasan Ishaq mantan anggota DPR-RI Komisi I yang menangani bidang Intelijen, Pertahanan dan Luar Negeri yang mencoba mempengaruh Menteri Pertanian Suswono sebagai pejabat negara.

Mengacu pada putusan 38/PID.SUS/TPK/2013/ PN.JKT.PST korupsi yang dilakukan oleh Luthfi Hassan Ishaq divonis Suap sebagaimana pasal yang didakwakan terhadapnya, yakni Pasal 12 UU Tipikor. Menurut surat dakwaan, terdakwa yang juga Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), telah menerima uang sejumlah 1 milyar rupiah dari PT. Indoguna Utama yang merupakan salah satu importir sapi terbesar di Indonesia. Uang tersebut diberikan sebagai imbalan agar Luthfi Hassan Ishaq selaku Presiden PKS dapat mempengaruhi atau meminta Suswono (Menteri Pertanian) yang merupakan bawahannya di Partai PKS untuk dapat menambah kuota impor daging sapi bagi PT. Indoguna Utama.

Dalam surat dakwaan JPU memuat Frasa “mempengaruhi”, frasa “mempengaruhi masuk dalam ruang lingkup trading in influence yang mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi, karena erat kaitannya antara perdagangan pengaruh dengan kekuasaan yang ada dalam tindak pidana korupsi. Hubungan sifat trading in influence dengan tindak pidana korupsi saling interdependensi antara sifat dari korupsi yang menjelma pada sifat trading in influence sebagai pemicu munculnya tindak pidana korupsi. Titik utama dari trading in influence adalah nilai pengaruh. Seharusnya pusat permasalahan yang memberikan titik celah adanya penyalahgunaan yang didasari oleh pengaruh, perlu diberikan penekanan/perhatian yang lebih besar.

Perbandingan Pengaturan Trading in Influence di Prancis

Di Perancis, perdagangan pengaruh telah diatur dalam Nouveau Code Penal (KUHP yang ada di Perancis) pada tahun 1994. Pasal 435-4 KUHP Perancis mengatur trading in influence, baik pasif maupun aktif (traffic d’influence). Bentuk perdagangan pengaruh dalam KUHP Perancis dibagi menjadi dua. Dalam bentuk yang pertama, diatur perdagangan pengaruh oleh pejabat publik. Sedangkan bentuk kedua pelaku dan klien adalah perorangan. Kedua bentuk ini merupakan dua hal yang berbeda. Lain halnya dengan pelanggaran penyuapan, status orang yang menggunakan pengaruhnya untuk perdagangan keuntungan mempunyai konsekuensi yang lebih kecil, meskipun status si “penjual” pengaruh mendapatkan hukuman berat. Sampai tahun 2007, pihak berwenang yang memberikan pengaruh secara ilegal (otoritas publik atau badan lainnya yang ditempatkan di bawah pengawasan otoritas publik) dalam hukum Perancis dipahami sebagai otoritas legislatif dan administratif. Dengan adanya pasal 435-2 dan 435-4, legislator perancis memperluas ruang lingkup tindak pidana perdagangan pengaruh terhadap tawaran atau penerimaan untuk mempengaruhi pejabat publik atau orang yang menjabat di organisasi internasional (Uni Eropa, PBB, NATO, dan lain-lain). Dengan perluasan dari lingkaran orang-orang ini, dimana pengaruh dapat diberikan secara ilegal, dalam rangka memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi UNCAC dan CoE, Parlemen Perancis memutuskan untuk tidak memperluas lingkup pelanggaran kepada pejabat publik dan orang-orang tertentu dari luar negeri karena perdagangan pengaruhnya tidak dapat dihukum di sebagian besar negara-negara yang memiliki hubungan ekonomi dengan Perancis.

Perkembangan modus dan aktor korupsi yang terjadi belakangan ini menunjukkan bahwa aktor intelektual dari kejahatan korupsi seringkali muncul dari kekuatan politik yang bukan seorang penyelenggara negara dengan cara memperdagangkan pengaruh yang dimilikinya (trading in influence). Oleh karena itu, delik ini sudah saatnya diatur dalam hukum positif Indonesia. Pengaturan yang paling tepat untuk mengadopsi ketentuan perdagangan pengaruh tersebut adalah melalui revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Namun perlu trik khusus untuk memasukkan pasal ini, karena dipastikan akan memunculkan resistensi dari partai-partai politik.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image