Gus Dur dan Isu Humanisme
Politik | 2021-09-08 18:27:43Manusia begitu diagungkan karena ia memang merupakan spesies termulia yang memiliki fungsi ganda, yaitu subjek pengolah alam sekaligus objek tujuan dari pengolahan alam. Manusia memiliki penting dalam mengatur kehidupan dibumi.
Untuk itu manusia harus saling menjaga satu sama lain, antara manusia dengan alam sendiri. Ketika manusia merawat alam, manusia akan mendapatkan timbal baliknya. Ketika manusia saling merawat keharmonisannya satu sama lain. Ketika salah satu sedang kesusahan dan membutuhkan bantuan dia akan terbantu oleh manusia lainnya. Sudut pandang itu disebut dengan humanisme, humanisme yaitu paham yang menempatka manusia sebagai pusat realitas.
Humanisme ala Gus Dur berada pada ranah diskursif, yaitu dengan memberikan sumbangan agama bagi humanism. Artinya humanism Gus Dur adalah humanism perspektif islam, sebagai antitesis dari humanism ateis yang menawarkan pandangan lain yang berbeda dengan tradisi humanism ateis modern.
Pandangan ini lahir dari prinsip ketuhanan atas kemanusiaan. Ia merupakan perintah langsung dari tuhan sebagai bagian dari penugasan allah atas manusia sebagai kholifahtullah fil al-ardh. Manusia sebagai penjaga alam mengimplementasikan tugas tersebut dengan menjaga satu sama lain. Dengan cara menghargai hak orang lain seperti hak untuk hidup dengan layak yang tertara dalam UU Nomor 39 Tahun 1999.
Pada tahun 1948-1965 terjadi sebuah insiden besar dinegeri ini, insiden tersebut berawal dari pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap Republik Indonesia dibulan September 1948 di Madiun. Lalu, penyiksaan dan pembunuhan para jendral yang setelah itu dibuang kedalam lubang buaya.
PKI hingga sekarang masih menjadi pembahasan karena kejadian yang mengerikan lubang buaya. Untuk menanggulangi bangkitnya PKI, negara pada saat masa orde baru mengeluarkan TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara, dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.
Pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau biasa disebut Gus Dur, beliau ingin mencabut TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 berawal dari mendengar penderitaan keluarga tokoh PKI yang diperlakukan sebagai orang yang tidak punya hak sama sekali.
Gus Dur yang merupakan sosok yang menjunjung tinggi kemanusiaan karena pemahaman ilmu beliau tentang agama dimana sebagai seorang muslim tidak boleh mengucilkan orang lain, untuk mencabut TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966.
Alasan Gus Dur mencabut TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 karena TAP MPRS tersebut bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28J ayat 1 yang berisikan: âSetiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegaraâ.
Hal ini berarti kita harus menghormati hak mereka sebagai manusia agar dapat menjalankan kehidupan seperti biasa tanpa ada diskriminatif seperti cemohan dari orang lain bahkan negara yang membatasi aktivitas mereka hingga mereka merasa dikucilkan, karena negara memiliki kewajiban menjamin dan melindungi hak warga negaranya seperti dalam UU Nomor 26 Tahun 2000.
Menurut data dari KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) keluarga anggota PKI mengalami diskriminasi atas tuduhan sebagai kelurg PKI. Selain harus kehilangan pekerjaan, banyak diantaranya yang tidak bisa melanjutkan Pendidikan, dikucilkan dari lingkungan hingga kesulitan untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Hal tersebut sangat bersinggungan dengan rasa kemanusiaan dimana seharusnya negara melindungi rakyatnya namun TAP MPRS tersebut membuat keluarga tokoh PKI merasa semakin dikucilkan. Rencana Gus Dur untuk mencabut TAP MPRS tersebut banyak yang merasa takut jika PKI akan bangkit lagi. Dari sikap Gus Dur yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, kita bisa meneladaninya dengan menunjukkan bahwa keluarga PKI seharusnya diperlakukan selayaknya manusia, bukan malah menghina dan mengkucilkannya.
Selama hidupnya Gus Dur telah memberikan pelajaran bagaimana memperlakukan sesama manusia, tinggal kita yang meneladaninya. Sekarang Indonesia sedang berada dimana intoleransi semakin parah, dimana non muslim dipersulit dalam beribadah.
Dulu banyak sekali bantuan Gus Dur kepada saudara kita non muslim. Misal, dikota Bogor, Jawa Barat jemaat dari Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin yang kesulitan membangun tempat beribadatan yang hingga disegel oleh Satpol-PP yang berawal dari pihak GKI yang menghiraukan teguran mereka terkait pembangunan gereja.
Kemudian pada tanggal 31 Januari 2020 terjadi penyerangan yang dilakukan puluhan orang sambil teriak-teriak mereka merusak rumah ibadah di Perumahan Griya Agape, Tumaluntung, Minahasa Utara, Sulawesi Utara.
Sebagai manusia kita mempunyai hak untuk beribadah. Jika ibadah saudara non muslim terganggu oleh oknum yang melarang mereka beribadah bukankah itu sudah merusak hak mereka sebagai warga negara yang memiliki hak kebebasan ?.
Negeri ini dibangun oleh banyak suku, agama, dan ras. Kerukunan beragama merupakan salah satu hak dan kewajiban kita menjaganya sebagai warga negera Republik Indonesia.
Apa yang diajarkan Gus Dur sangat penting dilakukan dimasa sekarang ini. Bahwa kita harus bersikap selayaknya kepada orang lain tanpa memandang agama, suku, ataupun ras. Yang terpenting kita harus selalu berbuat baik kepada sesame manusia, seperti kata beliau âApabila kamu berbuat baik, kamu tidak akan ditanya agama mu apaâ.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.