DPR, Taman Kanak-Kanak dengan Mainan Triliunan
Politik | 2025-08-22 15:49:13Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pernah berkata, “Bubarkan saja DPR, isinya kayak taman kanak-kanak.” Saat itu dianggap guyonan. Tapi setiap kali DPR membuka mulut soal tunjangan baru, kata-kata Gus Dur terdengar lebih mirip nubuat daripada lelucon. Kata yang dulu terdengar jenaka, kini terasa lebih mirip ramalan buruk, seperti gema yang terus diperdengarkan sejarah.
Kita tahu, DPR adalah bagian dari trias politika. Dalam teori, ia punya tiga fungsi mulia berupa legislasi, pengawasan, dan budgeting. Dalam praktik, fungsinya sering bergeser jadi tiga hal lain yaitu mengajukan tunjangan, menambah fasilitas, dan merawat kepentingan kelompoknya sendiri.
Fenomena terbaru, tunjangan rumah Rp 1,74 triliun. Angka fantastis itu bukan untuk membangun ribuan rumah rakyat yang masih hidup di gubuk reyot, melainkan untuk sewa rumah 530 anggota DPR selama lima tahun. Hitung-hitungan sederhananya, tiap orang bisa kantongi Rp 50 juta per bulan hanya untuk urusan rumah. Kalau pimpinan DPR, jumlahnya lebih tebal lagi.
Padahal banyak anggota DPR lebih sering tinggal di hotel berbintang saat “kunjungan kerja.” Jadi, rumah sewaan Rp 50 juta itu lebih tepat disebut rumah imajiner, ada anggarannya, tapi jarang ditinggali.Krisdayanti pernah menyanyikan dengan jujur, bukan di panggung musik tapi di ruang publik. Ia blak-blakan menyatakan setiap anggota DPR mendapat dana penyerapan aspirasi Rp 450 juta sebanyak lima kali setahun, plus dana kunjungan dapil Rp 140 juta sebanyak delapan kali setahun. Kalau dihitung, seorang anggota DPR bisa membawa pulang uang negara miliaran rupiah per tahun hanya dengan dalih menyerap aspirasi dan melihat rakyatnya.
Pertanyaannya, aspirasi siapa yang terserap? Karena rakyat kecil jarang merasakannya. Yang lebih kentara justru aspirasi oligarki yang sukses ditulis dalam pasal-pasal undang-undang. Sebagai contoh, UU Cipta Kerja yang dipaksakan di tengah malam, yang lebih berpihak pada investor ketimbang buruh. Kemudian, Revisi UU KPK yang melemahkan lembaga antirasuah, padahal rakyat justru ingin korupsi diberantas, bukan dilembagakan.
Belum lagi terkait skandal pengawasan BUMN seperti Jiwasraya, Asabri, dan lainnya yang lebih dulu dibongkar media dan aparat hukum ketimbang DPR yang punya fungsi pengawasan resmi. Di luar gedung megah Senayan, rakyat yang memberi mandat justru sedang berjuang membeli beras yang harganya kian naik. Petani resah pupuk bersubsidi langka. Nelayan mengeluh solar tak terjangkau. Di pelosok Aceh hingga Papua, masih ada anak sekolah menyeberangi sungai dengan rakit rapuh. Rakyat antre minyak goreng, sementara wakilnya sibuk menghitung tunjangan rumah dan tiket perjalanan dinas. Belum lagi, jika ada usulan anggaran pokok pikiran yang katanya untuk rakyat tapi kenyataannya justru sangat sedikit yang sesuai dengan kebutuhan rakyat.
Di titik ini, pernyataan Gus Dur tak lagi terdengar jenaka. DPR memang mirip taman kanak-kanak. Bedanya, anak-anak TK belajar berbagi bekal, sementara “anak-anak Senayan” berebut fasilitas. Anak TK yang tertidur di kelas masih bisa dimaklumi, tapi anggota DPR yang tidur di sidang berarti rakyat sedang membayar mimpi dengan APBN.
Demokrasi akhirnya tampak seperti restoran mahal. Rakyat membayar pajak, antre panjang di luar, lalu menyaksikan para wakilnya menikmati hidangan mewah di dalam. Trias politika berubah jadi trias satwa yaitu rakyat jadi sapi perah, DPR jadi singa di kursi empuk, oligarki jadi buaya di kolam yang sama.
Kalau Gus Dur masih hidup, mungkin beliau akan tersenyum getir. DPR tak perlu dibubarkan, karena setiap kali mereka membuka mulut soal tunjangan, kepercayaan rakyat sudah bubar dengan sendirinya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
