Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sutanto

Cernak: Ayahku Seorang Dalang

Sastra | 2021-09-05 01:10:06

Bima adalah murid kelas 4 Sekolah Dasar, dia tergolong anak yang ceria. Namun hari itu dia tak mau tersenyum. Sampai di rumah pun wajahnya masih cemberut.

“Assalamu’alaikum,” Bima mengucap salam kepada ibunya sebelum masuk rumah.

“Waalaikum salam. Bim, kenapa kamu Nak, kok cemberut?” ibunya langsung menyerangnya dengan pertanyaan.

“Sebel Bu, habis teman-teman meledekku. Katanya pekerjaan ayah tidak jelas, kerap pergi malam hari dan pulang pagi.”

Bu Murni menatap anaknya dengan penuh kasih. “Oalah Bim, tidak usah didengarkan kata teman-temanmu. Pekerjaan ayahmu sebagai dalang ya memang seperti itu, kerjanya ya malam sampai pagi.”

“Tapi teman-teman itu ngeledeknya kelewatan. Apa itu pak dalang, tidak modern,” sambung Bima masih dengan cemberut,

“Ada apa ini, kok nyebut-nyebut dalang.” pak Bawono, ayah Bima tiba-tiba saja keluar dari kamarnya menghampiri mereka.

“Itu Yah, Bima diledek teman-temannya tentang profesi ayah sebagai dalang,” sahut Bu Murni.

“Memang salah kalau ayah seorang dalang? Kanjeng Sunan Kalijaga saja yang Wali Allah, menjadi dalang untuk berdakwah,”

“Kata teman-temanku, dalang itu profesi tidak modern, kuno,” jawab Bima.

“Temanmu menilai demikian, mungkin karena belum paham saja. Suatu saat apabila mereka paham akan berhenti sendiri meledeknya” sahut bu Murni.

Pak Bawono mengeluarkan kertas dari dalam sakunya. “Ayah mendapat undangan ke kantor bupati. Ibu dan Bima besuk malam ikut ayah ya.”

“Memang undangan apa Yah ?” tanya Bima

“Ini kamu baca sendiri!” jawab ayahnya.

Usai membacanyat, Bima tersenyum senang. “Siap Yah, Bima besuk ikut”

Seperti dijanjikan ayahnya, malam itu Bima bersama ibunya ikut menghadiri undangan ayahnya di pendopo kabupaten.

“Tempatnya bagus ya Buk,” bisik Bima yang baru pertama kali mengunjungi tempat itu.

“Iya lah, Bim. Namanya saja pendopo kabupaten ya mesti bagus,” sahut Bu Murni.

Bima dan ibunya berjalan di belakang ayahnya yang antre mengisi daftar hadir sekaligus menerima dus makanan. Mereka duduk dibarisan ketiga dari depan.

Acara dimulai dengan pentas tari, karawitan dan diteruskan dengan sambutan panitia dan bupati.

“Kini sampailah kita pada puncak acara, yaitu penghargaan untuk seniman yang telah memajukan seni tradisional di Kabupaten Bantul,” terdengar dengan jelas pembaca acara menyampaikan pengantar.

“Bim, coba kamu lihat. Itu banyak reporter televisi, radio, dan puluhan wartawan yang hadir meliput,” bisik Bu Murni di telinga Bima.

“Iya Buk, banyak sekali yang meliputnya.”

Setelah beberapa seniman dipanggil, akhirnya nama ayah Bima dipanggil.

“Untuk kategori seni tradisi wayang kulit, yang mendapat anugerah adalah Dalang Ki Bawono.”

Ayah Bima maju ke panggung disaksikan ratusan pasang mata dan sorot kamera. Saking gembiranya, Bima sampai tak sadar turut berdiri menyaksikan ayahnya yang menerima anugerah lencana dan piagam penghargaan dari bupati.

Begitu pak Bawono sampai di kursinya, Bima tak sabar memeluk ayahnya.

“Bagaimana Bim, kamu masih merasa minder kalau ayahmu seorang dalang?

“Ah Ayah, tentu tidak. Bima bangga, ternyata pekerjaan ayah dihargai banyak orang. Benar kata ayah, mungkin teman-teman Bima belum tahu saja tentang ayah,” sahut Bima sambil memeluk ayahnya lebih erat.

“Itu baru Bima, putra Ki Bawono.” Sahut ibunya

Ketiganya tertawa penuh bahagia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image