5 Bekal Perjalanan Menuju Akhirat
Agama | 2021-08-28 06:31:46Ketika sakit menjelang wafat, Abu Hurairah sempat menangis. Ketika ditanya, beliau berkata, âAku menangis bukan karena memikirkan dunia, melainkan karena membayangkan jauhnya perjalanan menuju negeri akhirat. Aku harus menghadap Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Aku tak tahu, perjalananku ke sorga tempat kenikmatan atau ke neraka tempat penderitaan.?â Lalu Abu Hurairah berdoâa: âYa Allah, aku merindukan pertemuan dengan-Mu, kiranya Engkau pun berkenan menerimaku. Segerakanlah pertemuan iniâ! Tak lama kemudian, Abu Hurairah berpulang ke rahmatullah.
Setiap Muslim mesti mengingat kematian, dan memperbanyak bekal dalam perjalanan panjang menuju negeri akhirat. Setiap perjalanan, sejatinya memerlukan bekal, baik fisik maupun non fisik (spiritual).
Apakah bekal terbaik tersebut?. Paling tidak ada 5 hal yang menjadi bekal terbaik kita dalam melakukan perjalanan menuju akhirat, yaitu :
1. Muâahadah (selalu mengingat perjanjian dengan Allah SWT)
Semua manusia telah melakukan perjanjian dengan Allah SWT sebelum ia lahir ke dunia. Perjanjian yang telah dilakukan ketika dalam kandungan pasti telah dilupakan, sehingga wajar jika setiap manusia memiliki keyakinan (agama) yang berbeda-beda. Dari kesaksian tersebut, pada hakikatnya kita pernah berikrar untuk menuhankan Allah (tiada Tuhan selain Allah), berjanji untuk tidak menyekutukan-Nya, tidak meminta kepada selain-Nya dan berbagai konsekuensi lainnya. Sebagaimana tercantum dalam Al Qurâan Surat Al Aâraf : 172, Allah berfirman :
âDan ingatlah ketika Rabb mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap mereka (seraya berfirman): âBukankah Aku ini Tuhanmu?, mereka menjawab. âBetul (Engkau Tuhan kami) kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikianitu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, âSesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).â
Dari ayat ini, kita diingatkan bahwa kita telah melakukan perjanjian dengan Allah Taâala. Ini adalah sebuah perjanjian yang pastinya mempunyai konsekuensi ketika kita lahir ke dunia. Dalam kehidupan dunia ini kita diuji oleh Allah, apakah kita termasuk orang-orang yang memegang teguh perjanjian tersebut atau tidak. Kemudian juga perjanjian-perjanjian kita dalam sholat-sholat kita semisal dalam surat Al Fatihah ayat 5 yang berbunyi, âIyyaaka naâbudu wa iyyaaka nastaâiinâ. Artinya, hanya kepada Engkau kami menyembah, dan hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan.
Jika kita telah memegang teguh perjanjian kita kepada Allah SWT, maka kita sudah memiliki landasan utama berupa keimanan dan ketakwaan, yang ini merupakan bekal yang paling utama dalam mengarungi perjalanan menuju Allah SWT.
ÙÙتÙزÙÙÙÙدÙÙÙا ÙÙاÙÙÙÙ Ø®ÙÙÙر٠اÙزÙÙاد٠اÙتÙÙÙÙÙÙ°ÙÛ ÙÙاتÙÙÙÙÙÙÙÙ ÙÙ°ÙاÙÙÙÙ٠اÙÙاÙÙÙبÙابÙ
â... Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakalâ.(QS. Al-Baqarah: 197).
Salah satu Ciri yang orang bertakwa adalah yu`minu bi al-ghayb (QS. Al-Baqarah/2: 3). Keimanan kepada yang ghaib termasuk kepada hari akhir memberikan kemampuan kepada manusia untuk menembus batas-batas alam fisik, menuju alam rohani yang tak terbatas, yaitu Allah SWT.
2. Mujahadah (Semangat dan kesungguhan dalam mengarungi kehidupan)
Bermujahadah artinya bersungguh-sungguh dalam melaksankan ketaâatan dalam menjalankan perintah Allah. Saâid Musfar Al Qahthani mengatakan; Mujahadah berarti mencurahkan segenap usaha dan kemampuan dalam mempergunakan potensi diri untuk taat kepada Allah dan apa-apa yang bermanfaat bagi diri saat sekarang dan nanti, dan mencegah apa-apa yang membahayakannya.
âDan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baikâ. (Q.S. Al Ankabut (29): 69).
Perjuangan itu bersifat multidimensional dan multi-quotient, meliputi perjuangan fisikal (jihad), intelektual (ijtihad), dan spiritual (mujahadah). Allah SWT akan membukakan pintu-pintu kemenangan bagi orang yang berjuang dan memiliki determinasi (ketetapan hati) dalam perjuangan. Orang yang merubah rasa malas menjadi semangat, meninggalkan maksiat menuju ketaâatan, bodoh menjadi berilmu, dari ragu kepada yakin, adalah ciri orang yang bermujahadah. Mujahid yang selalu berupaya bersungguh-sungguh di jalan Allah.
3. Muroqobah (Selalu Merasa diawasi Allah)
Orang yang banyak berdzikir adalah orang selalu merasa diawasi oleh Allah SWT. Dzikir terambil dari kata dzakaro yang berarti menghadirkan sesuatu ke dalam benak. Dzikrullah adalah menghadirkan Allah ke dalam benak. Karena itu orang yang selalu berdzikir akan menyadari betul bahwa Allah mengetahui segala sesuatu. Seperti di dalam ayat
âkecuali kalau Allah menghendaki. Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyiâ. (QS. Al Aâla, 87 : 7) Dalam ayat lain: âDan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dengan urat lehernya, yaitu ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya, satu duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada satu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.â (QS. Qaaf, 50 : 16-18)
4. Muhasabah (Intropeksidiri)
Terkait dengan muhasabah, Umar bin Khaththab berkata,
âHisablah dirimu sebelum dihisab, timbanglah diri kalian sebelum ditimbang. Sesungguhnya berintropeksi bagi kalian pada hari ini lebih ringan dari pada hisab di kemudian hariâ (HR. Iman Ahmad dan Tirmidzi secara mauquf dari Umar bin Khaththab) Hal senada juga pernah diungkapan oleh Hasan Al Basyri pernah berkata, âSeorang mukmin itu pemimpin bagi dirinya sendiri. Ia menghisab dirinya karena Allah. Karena sesungguhnya hisab pada hari kiamat nanti akan ringan bagi mereka yang telah menghisab dirinya di dunia.
5. Muâaqobah (Memberi sanksi ketika lalai beribadah)
Sikap jika bersalah memberi sanksi diri sendiri dengan mengganti dan melakukan amalan yang lebih baik meski berat, contoh dengan infaq dan sebagainya. Atau dengan bersegera bertaubat dan berusaha kuat untuk tidak mengulanginya lagi. Memberikan sanksi (âiqob) ketika kita lalai memang sulit. Dibutuhkan kesadaran diri yang baik dan keimanan yang kuat. Hanya orang-orang yang sholeh yang dapat melakukannya. Seperti salah satu kisah Nabi Sulaiman as dalam Alquran, â(ingatlah) ketika dipertunjukkan kepadanya kuda-kuda yang tenang di waktu berhenti dan cepat waktu berlari pada waktu sore, maka ia berkata: âSesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Tuhanku sampai kuda itu hilang dari pandangan. Bawalah kuda-kuda itu kembali kepadakuâ, Lalu ia potong kaki dan leher kuda itu.(QS. Shaad, 38 : 31-33)
Sebuah perilaku yang dapat kita jadikan contoh, juga generasi sahabat atau para salaf yang meng âiqob dirinya secara langsung ketika mereka melakukan kekhilafan, misalnya: dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa Umar bin Khaththab pergi ke kebunnya. Ketika pulang didapatinya orang-orang sudah selesai melaksanakan sholat Ashar. Maka beliau berkata: âAku pergi hanya untuk sebuah kebun, aku pulang orang-orang sudah sholat Ashar, kini kebunku aku jadikan shodaqoh untuk orang-orang miskin."
Inilah 5 hal yang dapat kita jadikan sebagai bekal perjalanan kita menuju akhirat. Kita berharap kepada Allah SWT semoga kita tidak termasuk orang yang tersesat dalam perjalanan tersebut, dan pada akhirnya perjalanan kita akan selamat dan sampai di tujuan akhir yaitu dapat berjumpa dengan Allah SWT di dalam surga-Nya . Aamiin Ya Robbal 'alamiin. ***
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.