Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Daffa Ash Shidqi

Genosida Khmer Merah yang Kelam di Kamboja

Sejarah | Monday, 23 Aug 2021, 20:05 WIB

Kamboja merupakan negara berbentuk monarki konstitusional yang terletak di Asia Tenggara yang berbatasan dengan Vietnam, Laos, dan Thailand. Terdapat kisah pilu yang menjadi trauma bagi masyarakat Kamboja, yakni kekejaman rezim Khmer Merah yang sempat berkuasa di Kamboja dalam rentang tahun 1975-1979. Rezim yang dikepalai oleh Saloth Sar, atau yang lebih dikenal dengan nama Pol Pot ini menewaskan hingga dua juta penduduk Kamboja karena melakukan pembantaian, kerja paksa, sakit, dan kelaparan.

Awal Kepemimpinan Rezim Khmer Merah

Sebelum rezim Khmer Merah memimpin Kamboja di tahun 1975, awalnya mereka adalah gerakan radikal yang berideologi komunis. Saat kepemimpinan Lon Nol, Kamboja menjalankan gaya kepemimpinan berideologi liberal anti-komunis dan juga dalam sistem perekonomiannya yang liberal dengan harapan dapat mampu bersaing secara global. Dalam praktiknya, rezim Lon Nol ternyata berjalan buruk. Banyak kasus korupsi yang dilakukan pejabat hingga perang sipil. Hal itu membuat gerakan komunis yang terinisiasi dalam Front Uni National du Kampuchea yang mengajak dan mengumpulkan orang-orang yang bersimpati kepada Khmer Merah dengan tujuan untuk menggulingkan pemerintahan Lon Nol. Khmer Merah beserta para petingginya seperti Pol Pot dan kawan-kawan berhasil menggulingkan pemerintahan Lon Nol tepatnya pada 17 April 1975. Masyarakat Kamboja saat itu senang karena rezim yang korupsi telah dikalahkan. Pada saat itu juga pemerintahan Khmer Merah langsung melakukan pekerjaanya sebagaimana ideologi mereka yakni ingin menghapuskan bank dan pasar, hidup seperti dari awal dengan mengandalkan tenaga manusia dan menggantungkan pada komoditas pertanian di desa-desa.

Pol Pot dan kawan-kawan mengawali jalannya era pemerintahan dengan kebijakan untuk mengosongkan seluruh isi kota. Masyarakat di kota dipaksa untuk meninggalkan rumah mereka, pekerjaan, harta benda, dan segalanya yang ada di kota-kota terutama ibukota yaitu Phnom Penh yang menjadi awal mula pasukan Khmer Merah memaksa masyarakat dengan perlengkapan senjata. Mereka diperintahkan pasukan Pol Pot untuk meninggalkan kota dan berjalan kaki menuju desa-desa masing-masing atau desa yang telah ditentukan oleh kelompok ini. Hanya beberapa kelompok pekerjaan yang tidak meninggalkan kota yakni pekerja pabrik, teknisi di perusahaan air, dan perusahaan listrik kota. Kekejaman sudah dimulai dirasakan masyarakat Kamboja pada awal pemerintahan ini, pasukan Khmer Merah tidak segan untuk membunuh orang yang menolak perintah mereka. Khmer Merah memberikan alasan ke penduduk kota untuk meninggalkan kota dan berjalan kaki ke desa yaitu tentang evakuasi untuk menghindari bahaya pengeboman yang dilakukan Amerika Serikat di kota dan proses evakuasi berlangsung hanya tiga hari. Namun, pada kenyataannya mereka tidak pernah kembali ke kota dan rumah masing-masing.

Kebijakan dalam Rezim Khmer Merah

Pada saat awal menjabat sebagai pemimpin Kamboja, Pol Pot memproklamirkan bahwa Kamboja berganti nama menjadi Democratic Kampuchea. Kemudian ia juga menyebutkan akan menerapkan “Chnam Saun” yang memiliki arti bahwa segala sesuatu dalam kegiatan bernegara ingin dibangun dari awal atau titik nol dalam pemerintahannya. Dalam pandangan pemerintahan Pol Pot yang berideologi dan menerapkannya konsep Marxisme-Leninisme ini melakukan percobaan yang terbilang radikal untuk menciptakan sebuah utopia agrarian dengan konsep “Cham Saun”. Orang-orang selain kelompok Khmer Merah itu dipaksa untuk membangun pertanian dengan mengerahkan seluruh tenaga, karena prioritas pemerintahan Khmer Merah adalah pembangunan pertanian yang maju dan modern yang akan menjadi andalan komoditas dalam sektor perekonomian negara Kamboja.

Banyak sekali hal yang awalnya masyarakat Kamboja hidup dengan kenormalan, tetapi di rezim Khmer Merah ini terjadi perubahan yang cukup mengejutkan masyarakat Kamboja. Contohnya adalah pengaruh budaya Barat, kehidupan kota, kapitalisme, agama, dan semuanya yang ada pengaruh dari asing harus dihilangkan. Semua orang asing yang ada di Kamboja saat itu diusir, kedutaan ditutup, dan setiap bantuan ekonomi atau medis dari negara lain ditolak mentah-mentah. Penggunaan bahasa asing dilarang. Surat kabar dan stasiun televisi ditutup, radio dan sepeda disita, dan surat dan telepon penggunaan dibatasi. Uang dilarang dan bank dihapuskan. Semua bisnis yang ditutup, agama dilarang, pendidikan dihentikan, perawatan kesehatan dihilangkan, dan hukum Kamboja dihilangkan. Sehingga dengan ini Kamboja tertutup dari dunia luar.

Kemudian kebengisan dari rezim Khmer Merah diawali dengan membunuh massal para pejabat pemerintahan sebelumnya. Selain dari golongan pejabat, mereka juga mengincar beberapa profesi atau golongan seperti polisi, tentara, pegawai pemerintahan, dan perangkat jabatan lainnya juga ikut dieksekusi secara sadis dan tanpa ampun. Yang paling membuat miris lagi adalah pembunuhan terhadap orang-orang yang berpendidikan dan para pendeta Buddha juga ikut dibantai. Padahal orang berpendidikan dapat berperan baik untuk memajukan negara. Pembunuhan dilakukan dengan beragam cara dan mayatnya ada yang dikuburkan dalam kuburan massal atau dibiarkan saja hanyut ke sungai.

Orang tua, anak muda, hingga anak-anak semuanya dipaksa untuk bekerja setiap hari dengan jam kerja yang lama dan panjang. Tak ada pilihan lain bagi masyarakat Kamboja untuk menjalani paksaan dari Khmer Merah, mungkin rasanya bagai siksaan dunia yang tidak berujung. Untuk pembagian makanan, mereka hanya dapat jatah sekali dalam sehari, itu pun makanan yang diberikan oleh kelompok radikal ini makanan yang seadanya bahkan dapat dikatakan sebagai makanan tidak layak. Untuk menyiasatinya, para “tahanan” terkadang harus memakan apapun yang dapat dimakan agar menghilangkan rasa laparnnya. Namun, mereka dilarang keras untuk memakan makanan hasil panen dari yang mereka tanam seperti buah-buahan, sayur-sayuran, dan beras. Begitu masa panen tiba, komoditas-komoditas tersebut langsung diangkut oleh truk milik Khmer Merah.

Dalam proses kegiatan pemaksaan kerja paksa yang dilakukan oleh pasukan Khmer Merah terhadap masyarakat Kamboja, mereka hanya difasilitasi dengan alat-alat pertanian dan perkebunan yang sangat sederhana. Hanya ada cangkul, palu, arit, alat gabah, dan peralatan-peralatan lainnya yang berbentuk secara tradisional. Hal itu tentu saja membuat masyarakat kelelahan dan memberatkan. Apalagi ditambah jam bekerja yang memakan waktu belasan jam dan jatah makan hanya sedikit setiap orangnya. Karena faktor-faktor tersebut, menghasilkan masyarakat Kamboja menderita sakit. Beragam penyakit menjangkit para pekerja paksa yang dirampas haknya itu. Namun, rezim Khmer Merah tidak menyediakan pertolongan tim medis sama sekali. Mereka menganggap kegiatan medis adalah produk kapitalisme Barat yang harus dihapuskan. Akhirnya masyarakat Kamboja yang sakit, hanya dapat diobati dengan obat-obatan tradisional dan yang merawat juga belum tentu ahli dalam pengobatan. Orang-orang yang jatuh sakit akibat kerja terlalu letih tidak mendapat perawatan secara layak, sehingga hanya mengandalkan pengobatan seadanya. Penyakit yang diderita pun banyak ragamnya, hingga pada akhirnya satu per satu meninggal karena tidak adanya pengobatan yang baik. Mayatnya pun hanya dikubur seadanya tanpa adanya prosesi atau upacara.

Genosida yang berlangsung selama kurang lebih empat tahun itu memberikan luka yang amat serius bagi para korban terutama para keluarga yang ditinggalkan karena aksi brutal Khmer merah dalam menjalankan kegiatan pemerintahan. Diperkirakan jumlah korban tewas dari masa terpuruk ini mencapai 1,7-2 juta penduduk yang diperkirakan sekitar 21 persen dari total populasi Kamboja pada pertengahan 1970-an menurut penelitian The Cambodian Genocide Program di Yale University. Kemudian investigasi dari PBB menyebutkan bahwa perkiraan jumlah korban tewas bahkan lebih tinggi yakni antara 2-3 juta. Sementara itu, beberapa peneliti independen menyebut jumlah korban jiwanya adalah 1,17-3,45 juta jiwa. Berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan, jutaan penduduk tewas saat Pol Pot memerintah Kamboja. Tempat-tempat yang diduga dan disangka dijadikan ladang pembantaian pada saat itu, dijadikan museum untuk mengenang para korban. Hal ini salah satu tragedi terburuk di dunia.

Berakhirnya Rezim Khmer Merah

Runtuhnya pemerintahan Khmer Merah di Kamboja salah satunya ditandai dengan kegagalannya dalam merevolusi bidang pertanian. Perencanaan yang dicanangkan Pol Pot yakni Rencana Empat Tahunan (The Party’s Four Years to Build Socialism in All Fields) yang ditargertkan pencapaian tiga ton beras dalam satu hektar. Namun, dalam pelaksanaan dan hasilnya rupanya sulit untuk mencapai target yang dituju. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan tidak tercapainya target, antara lain peralatan pertanian yang tidak menunjang, cuaca yang buruk sehingga menyebabkan banjir dan kekeringan yang berkepanjangan, dan kelelahan para pekerja paksa yang sampai berakibat sakit bahkan kematian karena tidak mendapat makanan yang layak serta pengobatan secara medis.

Kekuasaan Pol Pot yang bersifat represif dan sadis rupanya tidak bertahan cukup lama. Dengan adanya masalah internal dan tidak berkembangnya perekonomian, semakin membuat pemerintahan Pol Pot kalang kabut dan menemui titik akhir jatuhnya rezim yang keji ini. Rezim Khmer Merah digulingkan oleh kekuatan gabungan antara Kampuchean National United of National Salvation (KNUFNS) dan pasukan Vietnam. KNUFNS adalah suatu kelompok atau front yang berisikan dari kader-kader Khmer Merah yang berada di Vietnam. Mereka inilah yang memiliki pemikiran bertentangan dengan Pol Pot dan sebagian dari mereka juga menjadi buronan dari pihak Pol Pot. Pada titik ini, sudah semakin yakin bahwa pemerintahan Khmer Merah mulai goyah karena ada konflik internal yang nantinya akan memicu serangan secara fisik.

Keterpercayaan publik khusunya anggota Khmer Merah yang bersebrangan dengan paham Pol Pot mulai berkurang. Dukungan terhadap rezim perlahan mulai hilang dan malah bersekutu dengan Vietnam. Bagaimana tidak, yang awalnya hidup bebas tanpa ada paksaan secara tiba-tiba kehidupan mereka menjadi penuh dengan ancaman dan tentu kualitas hidup khususnya kesejahteraan merosot. Maka dari itu masyrakat Kamboja mulai frustasi dan nantinya mereka-mereka ini lah yang akan membelot kesetiaan dan akan membantu Vietnam dalam penyerangan terhadap pasukan Khmer Merah dalam peperangan Kamboja-Vietnam yang sejak awal sudah menuai konflik.

Menjelang akhir kepemimpinan rezim Khmer Merah, pasukan Pol Pot yang memiliki riwayat hubungan buruk dengan Vietnam, menyerang ke wilayah Vietnam dan membunuh ribuan rakyat Vietnam tanpa ampun. Hal yang membuat Pol Pot begitu tidak suka dengan Vietnam adalah karena ia tidak ingin menjadi bagian dari Indocina, di mana Indocina tersebut terpusat di Vietnam. Akibat kejadian itu, pemerintah Vietnam tak tinggal diam dan melakukan aksi penyerangan dengan motif balas dendam. Pasukan Vietnam menyerang kamp-kamp milik Khmer Merah dibantu oleh KNUFNS yang merupakan bagian dari Khmer Merah pro Vietnam, penyerangan itu membuat pasukan Khmer Merah banyak yang tewas. Hingga akhirnya penyerangan tersebut berhasil sampai pasukan Vietnam dan KNUFNS dapat menguasai kota Phnom Penh pada tanggal 7 Januari 1979. Setelah itu Pol Pot dan kawan-kawan kabur ke arah Thailand.

Referensi

Chandler, David P., dkk. 1998. Pol Pot Plans The Future: Confidental Leadership Document From Demokratic Kampuchea 1976-1977. New Haven: Yale University of Southeast Asian Studies.

Jackson, Karl D. 1978. Cambodia 1977: Gone To Pot, Asian Survey XVII, No.1.

Kiernan, Ben. 1993. Genocide and Democracy in Cambodia: The Khmer Rouge, theUnited Nations, and the International Community. New Haven: Yale UniversitySoutheast Asia Studies.

Kiernan, Ben. 1997. The Pol Pot Regime: Race, Power, and Genocide in Cambodia under the Khmer Rouge, 1975-79. Thailand: Silkworm Books.

Ross, Russel R. (ed.). 1990. Cambodia: A Country Study. Washington DC: Library Congress Federal Research Division.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image