Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Samdy Saragih

Bertahan Hidup dengan Daun Ubi Jalar

Kuliner | Monday, 09 Aug 2021, 08:46 WIB
Pucuk daun ubi jalar. Sumber: dokumentasi pribadi

Jika situasi normal, judul di atas mungkin agak berlebihan. Namun, dalam keadaan genting seperti pandemi Covid-19 ini, hal normal pun bisa terdramatisir.

Kisahnya bermula dari awal tahun 2021 ini. Saat itu, saya menanam ubi jalar sekadar untuk mengisi halaman belakang rumah agar tidak dipadati oleh tumbuhan liar. Jika nanti ada umbi, itu saya anggap bonus saja.

Ubi jalar pun bertumbuh secara alami, tanpa intervensi pupuk dan sebagainya. Mula-mula tunas bermunculan dari sekujur permukaan bibit ubi jalar kuning. Lama kelamaan batang itu merambati tanah di sekelilingnya. Kira-kira 3 bulan kemudian batang sudah menjalar sejauh radius 2,5 m.

Pikir saya, bila menjalar terus bisa-bisa semua halaman belakang tak tersisa untuk tanaman lain. Saya coba mencabut batang paling dekat dengan bibit untuk melihat apakah umbi sudah tumbuh. Hasilnya mengecewakan karena di bagian akar nihil umbi.

Agar tidak terus menjalar, saya pun memotong batang terluar. Saya mempertahankan bidang rambatan berbentuk bidang persegi panjang dengan dimensi kira-kira 2,5 m x 2 m. Selang sebulan kemudian, batang ubi memanjang lagi. Saya potong kembali agar tidak meluas.

Saya mengulangi lagi pemotongan batang ubi jalar setelah berumur 6 bulan. Dalam proses itu saya mencabut lagi satu batang ubi untuk melihat perkembangan umbi. Hasilnya, lagi-lagi kosong melompong.

Selain ubi jalar kuning, saya juga menanam ubi jalar ungu. Kedua jenis ketela itu berbeda struktur batang dan daunnya. Jika daun ubi kuning berbentuk tanda hati, versi ubi ungu menyerupai tombak. Terhadap ubi jalar ungu ini luas bidang tanamnya saya atur lebih kecil, sekitar 1,5 m x 1,5 m.

Rambatan daun ubi jalar ungu (atas) dan ubi jalar kuning (bawah). Sumber: dokumentasi pribadi

Di setiap proses pemotongan, batang ubi dan daunnya tidak saya manfaatkan. Kalau dipikir-pikir kasihan juga. Namun, terpaksa dilakukan agar tidak mengganggu tanaman lain.

Pada akhir Juni, kasus positif virus corona terus meningkat akibat varian Delta. Sinyal-sinyal pembatasan sosial pun digaungkan oleh pejabat pemerintah. Benar akhirnya, restriksi jenis baru bernama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat diberlakukan mulai 3 Juli-20 Juli 2021.

Setelah penetapan itu, saya kebingungan. Kendati pernah merasakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) beberapa kali, rezim baru ini agak lain. Kasus harian sudah di atas 10.000 dengan korban jiwa melebihi 1.000 orang. Rumah sakit darurat dan fasilitas kesehatan lain membludak.

PPKM Darurat memang tidak sampai melarang total aktivitas warga di luar rumah. Berbelanja barang kebutuhan pokok dan tujuan mendesak lain masih diizinkan. Akan tetapi, secara psikologis status PPKM Darurat membuat saya malas keluar.

Alhasil, sekadar membeli kebutuhan pangan pun badan ini ogah rasanya beranjak dari rumah. Padahal, saya tidak selera makan nasi tanpa sayuran daun. Kita tahu sendiri, bayam dan kangkung itu sayuran cepat layu sehingga tidak bisa disimpan lama.

Ketika melihat daun ubi jalar hijau menganggur, saya berpikir enak juga kalau dijadikan sayur. Saat kecil dulu pulang kampung, saya pernah disajikan sayur berbahan daun ketela rambat itu. Akan tetapi, rasanya di lidah menurut saya kurang sedap.

Saya berselancar di dunia maya dan menemukan artikel bahwa daun ubi jalar dapat dimanfaatkan sebagai sayuran. Situs berbagi video pun saya pelototi untuk mempelajari teknis memasaknya. Ada yang menyebut rasanya seperti kangkung.

Tak sabar, saya pun mencobanya di pekan kedua PPKM Darurat. Alih-alih memilih daun-daun tua, saya hanya memetik bagian pucuk. Kira-kira isinya tiga daun tunas baru plus tiga atau empat daun sudah mekar.

Apa rasanya? Saya nggak mau bilang enak atau tidak. Bagi saya soal rasa itu urusan lidah masing-masing. Parameter saya cuma lidah dan perut bisa menerimanya sudah cukup.

Setelah uji coba perdana memuaskan, saya bertekad untuk terus menyantap daun ubi jalar. Dibandingkan dengan bayam atau kangkung, daun ubi jalar bisa dihasilkan sendiri sehingga selalu dalam keadaan segar.

Sebenarnya, saya juga menanam bayam dan kangkung. Akan tetapi, tumbuhnya lama dan kualitasnya jelek. Jadi, dua jenis sayuran itu lebih banyak saya beli.

Di mata saya budi daya ubi jalar betul-betul mudah. Tanpa tambahan pupuk pun sudah bisa berkembang. Yang paling saya sukai adalah kecepatan tumbuh tunas barunya. Hanya dalam tempo tiga sampai empat hari tunas-tunas pengganti sudah bermunculan lagi dari batang yang sama.

Sudah tumbuhnya cepat, bergizi pula. Beberapa literatur internet menyebutkan daun ubi jalar mengandung vitamin A, C, B, K. Manfaatnya mulai dari kesehatan jantung, mata, hingga imunitas tubuh.

Kekebalan tubuh merupakan unsur penting di masa pandemi Covid-19 ini, bukan? Selagi krisis kesehatan, saya berpendapat menjaga imunitas tubuh serupa dengan menyimpan senjata kala perang. Itu bentuk ikhtiar untuk bertahan hidup.

Kita harus melawan virus dengan segala cara, termasuk memanfaatkan pangan alami bergizi. Gratis pula!

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image