Kabar Gembira Masa Depan Pembangkit Listrik EBT Indonesia, Ada Apa di 2050 ?
Eduaksi | 2021-08-04 21:56:31Aku ingin hidup seribu tahun lagi, sebuah kata-kata mutiara yang selalu diutarakan ketika seseorang berada di tempat yang indah atau suasana lokasi yang memberikan rasa.
Kata-kata mutiara itu sebetulnya kiasan saja, mana ada manusia yang bisa hidup sampai usia 1000 tahun ? tidak ada sepertinya.
Masihkah Bumi 1000 tahun lagi seindah seperti yang kita rasakan saat ini ! bisa jadi masih atau bisa jadi lebih parah kondisinya.
10 tahun kedepan saja, Global Risk Report 2021 yang dipublikasikan di World Economic Forumâ s (WEF) terdapat 5 (lima) ancaman teratas yang akan dunia hadapi yaitu ; cuaca ekstrim, kegagalan aksi iklim, kerusakan lingkungan oleh manusia, penyakit menular dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Indonesia sendiri masuk dalam radar berisiko tinggi menerima dampak kerusakan lingkungan. Kota yang rentan terhadap kelangkaan air, polusi, panas ekstrim, bencana alam dan perubahan iklim adalah Jakarta, Surabaya dan Bandung (Environmental Risk Outlook, 2021).
Warga DKI Jakarta pada minggu terakhir bulan Juli 2021 sempat dikagetkan dengan ucapan Presiden USA Joe Biden menyinggung bahaya pemanasan global ketika berpidato di Kantor Direktur Intelijen Nasional, Selasa (27/7/2021).
Presiden USA berujar, dampak pemanasan global bisa mencairkan es di kutub dan menaikkan permukaan air laut.
Selain itu, dirinya memprediksi Jakarta akan tenggelam 10 tahun lagi akibat naiknya permukaan air laut. Sehingga ungkapnya, dalam 10 tahun ke depan, Indonesia mungkin harus memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) karena ada risiko akan tenggelam.
Bila itu terjadi, kita bisa menjadi paham kenapa Presiden Joko Widodo di masa kepemimpinannya ingin memindahkan Ibu Kota DKI Jakarta yang berada di pesisir pantai ke Panajam Paser Utara di Kalimantan Timur yang lebih menjorok ke daratan.
Dampak perubahan iklim ini amat berkaitan dengan emisi karbon yang kian meningkat. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa dalam 'Kompas Talks bersama IESR' melalui kanal YouTube, Selasa (02/03/2021) mengatakan 70% emisi gas rumah kaca disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, di antaranya sektor listrik, industri, dan transportasi.
Ternyata pembangkit tenaga listrik dengan bahan bakar batubara di Indonesia masih terbilang banyak jumlahnya. Saat ini terdapat 54 pembangkit dalam program 35 ribu megawatt dimana mayoritas pembangkitnya merupakan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Sedangkan di sektor transportasi masih didominasi oleh energi fosil seperti bahan bakar minyak (BBM). Belum banyak transportasi yang beralih dari bahan bakar fosil ke energi baru terbarukan (EBT) yang lebih ramah lingkungan.
Berdasarkan data iesr.id tahun 2019, sektor transportasi menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia terbesar kedua setelah sektor industri. Sektor transportasi menyumbang 27 % GRK (157 juta ton CO2) sedangkan sektor industri menyumbang 37 % GRK (215 juta ton CO2).
Diharapkan dengan sedang trend nya kendaraan listrik di dunia akan berimbas ke Indonesia. Sehingga transportasi di Indonesia dapat beralih dari komsumsi bahan bakar fosil ke EBT yang menghasilkan listrik. Pemerintah saat ini tengah mengupayakan perubahan secara bertahap energi bahan bakar fosil ke EBT.
Perubahan ini diawali dengan mengeluarkan landasan hukum berupa Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2017 Tentang Rencana Umum Energi Nasional.
Pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU)) baru tidak akan ada lagi dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik atau RUPTL 2021-2030.
Dalam Perpres tersebut dibunyikan, berdasarkan hasil pemodelan pasokan energi primer EST dalam bauran energi primer tahun 2025 sebesar 23,0% (92,3 MTOE) dan pada tahun 2050 sebesar 31,2% (315,7 MTOE).
Porsi bauran energi primer EBT tersebut sudah sesuai dengan target energi primer EST dalam KEN yaitu pada tahun 2025 paling sedikit 23% dan pada tahun 2050 paling sedikit 31%.
Wakil Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo saat rapat bersama Komisi VII DPR, Kamis (27/5), menyampaikan bahwa PT PLN (Persero) menginginkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) atau yang menggunakan batu bara dan pembangkit listrik tenaga mesin gas (PLTMG) pensiun alias tidak beroperasi lagi pada 2025.
PLN berencana menggantikannya dengan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT). Berdasarkan rencana perusahaan, PLN berencana menghentikan operasional PLTU dengan kapasitas mencapai 50,1 GW. Namun, masa pensiun ini akan berjalan bertahap.
Langkah ini tentunya merupakan kabar gembira bagi masyarakat, karena kebijakan ini dapat mendorong hadirnya pembangkit EBT dan tentunya akan berimbas mengurangi emisi karbon.
Proyeksi di tahun 2050 kesiapan peralihan ke EBT dapat didorong mencapai 100 %. Banyak potensi EBT terdapat di Indonesia yang belum dimaksimalkan.
Hasil kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Global Environmental Institute (GEI) yang termuat dalam laporan â Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesiaâ s Solar Potentialâ memperlihatkan bahwa Indonesia mempunyai potensi PLTS (fotovoltaik) mencapai 3.000 - 20.000 GWp.
Potensi ini lebih tinggi 16 hingga 95 kali dibandingkan data resmi perkiraan potensi yang dirilis oleh Kementerian ESDM, yaitu 207 GWp (ESDM, 2016). Bila potensi teknis tersebut dimanfaatkan, maka dapat menghasilkan energi listrik sebesar 27.000 TWh per tahun, hampir 100 kali kebutuhan listrik saat ini.
Terdapat 10 provinsi dengan potensi teknis Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terbesar di Indonesia yaitu ; Kalimatan Barat (2.948 TWh/tahun), Kalimantan Timur (2.096 TWh/tahun), Kalimantan tengah (1.877), Riau (1.557 KWh/tahun), Sumatera Utara (1.509 TWh/tahun), Sumatera Selatan (1.495 TWh/tahun), Jambi (1.198 TWh/tahun), Jawa Timur (1.362 TWh/tahun), Papua (995 TWh/tahun) dan Jawa barat (946 TWh/tahun).
Potensi sumber daya alam yang Indonesia miliki sangat melimpah, akan tetapi pembangunan energi baru terbarukan (EBT) sebagai pembangkit sumber energi belum menjadi prioritas. Seharusnya, Indonesia dapat memaksimalkan potensinya hingga 100% sumber energi kita berasal dari EBT.
Bila jumlah pembangkit listrik EBT terwujud, tentunya akan berkontribusi pada kehadiran kendaraan listrik di Indonesia.
Penetrasi kendaraan listrik pada pasar mobil penumpang dan sepeda motor memiliki potensi menurunkan emisi GRK dari sektor transportasi. Penurunan GRK untuk 2030 dapat diturunkan 8,4 juta ton CO2 dan di tahun 2050 dapat turun sampai 49,5 juta ton CO2.
Selain itu Pemerintah RI sudah pasang target yang cukup ambisius untuk kendaraan listrik yakni sejumlah 2 juta unit mobil listrik dan 13 juta kendaraan listrik roda 2 pada 2030.
Selain itu, EBT akan berdampak positif terhadap ketersediaan 3,2 juta lapangan kerja hijau, keuntungan lain dari tercapainya nol emisi 2050 adalah biaya listrik yang lebih murah dan pembangkitan listrik yang bebas polusi.
Penggunaan 100 persen pembangkit listrik EBT, secara jangka panjang, akan mengurangi biaya sistem pembangkitan listrik dan menurunkan Levelized Cost of Electricity (LCOE) atau biaya pembangkitan listrik rata-rata dibandingkan dengan skenario kebijakan saat ini.
Seorang manusia tidak bisa hidup 1000 tahun, tetapi manusia saat ini dapat memberikan warisan / peninggalan yang dapat dinikmati manusia masa depan, EBT bisa menjadi jalannya !..
---
Salam hangat Blogger Udik dari Cikeas - Andri Mastiyanto
Instagram I Twitter I Email: [email protected]
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.