Tepo Seliro, Cara Yogyakarta Merdeka dari Pandemi Covid-19
Gaya Hidup | 2021-07-31 13:44:32Pandemi Covid-19 melanda di seluruh dunia. Saat ini hampir diseluruh daerah di Indonesia terdampak pandemi Covid-19, termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Yogyakarta sebagai daerah yang tidak luput dari pandemi Covid-19, tentu warga nya berkeinginan merdeka dari Pandemi dan bersatu dalam keberagaman untuk Indonesia bangkit. Salah-satunya caranya dengan Tepo Seliro.
Siapa yang tidak kenal Yogyakarta ? daerah yang dikenal dengan keberagaman. Bila berada di daerah ini kita akan melihat berbagai macam etnis ada disana seperti hal nya DKI Jakarta.
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) amat dikenal di pelosok negeri dengan sebutan kota pelajar, kota pendidikan dan kota destinasi wisata. Banyak mahasiswa dan pelajar dari berbagai daerah di Indonesia pun mencari ilmu dan kemudian menetap di Yogyakarta.
Tidak hanya belajar, banyak juga diantara mereka yang bekerja mencari sesuap nasi dan segenggam berlian di daerah ini. Wisatawan dalam dan luar negeri pun banyak yang datang untuk menikmati kultur, budaya, kuliner , destinasi wisata dan tentunya keindahan alamnya.
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) setingkat provinsi di Indonesia yang merupakan peleburan Negara Kesultanan Yogyakarta dan Negara Kadipaten Paku Alaman.
Kota gudeg Yogyakarta terletak di bagian selatan Pulau Jawa, dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah dan Samudera Hindia.
Yogyakarta yang memiliki luas 3.185,80 km2 ini terdiri atas satu kota, dan empat kabupaten, yang terbagi lagi menjadi 78 kapanewon/kemantren, dan 438 kalurahan/kelurahan.
Menurut sensus penduduk 2010 Yogyakarta memiliki populasi 3.452.390 jiwa dengan proporsi 1.705.404 laki-laki, dan 1.746.986 perempuan, serta memiliki kepadatan penduduk sebesar 1.084 jiwa per km2.
Keberagaman di Yogyakarta bisa dilihat berdasarkan data sensus penduduk tahun 2010 dimana penduduk suku bangsa di DIY beragam dari 3.451.006 jiwa penduduknya, yakni :
1 Jawa : 3.331.355 jiwa (96,53%)
2 Sunda : 23.752 jiwa (0,69%)
3 Melayu : 15.430 jiwa (0,45%)
4 Tionghoa : 11.545 jiwa (0,33%)
5 Batak : 9.858 jiwa (0,29%)
6 Madura : 5.289 jiwa (0,15%)
7 Minangkabau : 5.152 jiwa (0,15%)
8 NTT : 4.238 jiwa (0,12%)
9 Dayak : 3.790 jiwa (0,11%)
10 Bali : 3.497 jiwa (0,10%)
11 Bugis : 3.335 jiwa (0,10%)
12 Banjar: 2.545 jiwa (0,07%)
13 Betaw i: 2.461 jiwa (0,07%)
14 Aceh : 1.564 jiwa (0,04%)
15 Lain-lain : 27.197 jiwa (0.80%)
Tak heran bila daerah ini dikenal sebagai Indonesia mini, karena penduduknya beragam yang berasal dari suku bangsa di Indonesia. Bahkan banyak pelajar dari mancanegara dari berbagai negara belajar di Yogyakarta.
Upaya Yogyakarta berperang melawan Pandemi Covid-19 menggunakan tagline Yogyakarta tanggap Covid-19.
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta telah meluncurkan situs https://corona.jogjaprov.go.id/ . Situs ini memberikan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan berbagai informasi mengenai Covid-19.
Dilansir dari corona.jogjaprov.go.id,menanggapi pandemi Covid-19, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X menyarankan âPenanggulangan Covid â 19 ini sudah seharusnya dilakukan bersama-sama dari lapisan masyarkat yang sebenarnya adalah garda terdepan pemutus rantai penyebaran Virus Corona. Dengan kesadaran yang tinggi, tidak egois dan mengikuti protokol, maka Covid â 19 dipastikan akan segera hilangâ ucap Sinuwon di Kantor Gubernur, Kompleks Kepatihan, Yogyakarta pada Selasa (14/04).
Sri Sultan berharap seluruh lapisan masyarakat untuk saling mendukung, bertenggang rasa, saling melindungi dan bekerjasama dengan penuh keihlasan untuk memerangi Covid â 19.
Sri Sultan Hamengku Buwono pernah mencontohkan jalan hidupnya kepada warganya saat wawancara antara Kumparan dengan Raja Jawa ini, pada 11 April 2018 dengan judul "Sri Sultan HB X, Menjaga Keraton di Tengah Arus Perubahan"
Dalam wawancara tersebut Sri Sultan HB X menjelaskan kenapa dirinya memilih jalan hidup Mukti "Dengan hidup Mukti itu saya bisa saja kaya atau tidak bisa kaya, tapi dapat bermanfaat bagi orang banyak sehingga saya masih bisa hidup, karena dihargai orang. Saya tidak mau Mulyo, karena dengan hidup Mulyo, saya mungkin bisa kaya tapi belum tentu memberi manfaat bagi orang lain, bisa saja malah memberi mudorot bagi orang lain" ungkapnya.
Masyarakat Yogyakarta dikenal menjunjung tinggi keberagaman baik secara etika dan secara kultural. Warga Yogyakarta memiliki tradisi seperti gotong-royong, sambatan, dan grebuhan itu semua dalam pelaksanaannya selalu berdasarkan prinsip: Sepi ing Pamrih, Rame ing Gawe.
Yogyakarta dikenal dengan penduduknya yang ramah penuh sopan-santun ketika berinteraksi baik kepada orang muda maupun orang tua.
Tepo seliro dan gotong royong warganya menjadi cara hidup yang dijalankan sehari-hari di Yogyakarta. Tepo seliro dapat diartikan sebagai âtenggang rasaâ.
Bagi masyarakat Jawa tepo seliro memuat nilai-nilai keluhuran lain nya tidak hanya tenggang rasa. Menjunjung tinggi tenggang rasa bukan saja saling membantu tetapi juga mewujudkan harmoni kehidupan dari keberagaman.
Menjaga sikap kepada sesama dan membuat para warga yang terkonfermasi positif merasa tidak diasingkan merupakan bagian dari tenggang rasa.
Tenggang rasa dapat menjadikan setiap diri mencapai martabat yang baik dihadapan manusia dan Tuhannya.
Kota Yogyakarta sejak 2005 mendapat predikat city of tolerance. Tepo seliro merupakan salah satu kearifan lokal di Yogyakarta yang menjadi pedoman dalam sikap toleransi.
Menghormati keberagaman dan toleransi dapat terwujud bila warganya menjalankan tenggang rasa.
Membantu tanpa melihat agama, suku, dan golongan menjadi hal yang penting. Contohnya dengan memberikan bantuan tanpa melihat perbedaan kepada warga yang menjalankan isoman karena terdapat Covid-19.
Dilansir dari harianjogja.com, Mahfud MD dalam diskusi Membangun Toleransi dalam Realita Kebhinekaan, Sabtu (13/10/2018) di Yogyakarta menyampaikan bahwa Yogyakarta termasuk kota yang nyaman dalam toleransi terutama soal beragama.
Para pelajar atau suku bangsa yang pernah menetap di Yogyakata baik untuk belajar, berkerja maupun berwisata banyak yang bermimpi disuatu hari akan menghabiskan masa tua di Yogyakarta.
Entah kenapa, banyak juga warga keturunan Yogyakarta yang tinggal atau berkerja di kota-kota besar merindukan menjalani masa pensiunnya di Yogyakarta. Mungkin karena aura Yogyakarta begitu kental dengan kata tenteram dan kehangatan warganya.
Kerinduan untuk menetap di Yogyakarta karena aura daerah ini, bahkan dilantunkan oleh grub musik Kla Project dalam sebuah lagu yang berjudul âYogyakartaâ.
Adapun Lyric lagu tersebut berbunyi ;
Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgia
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama
Suasana Jogja
Tentunya Pandemi Covid-19 harus berakhir terlebih dahulu bila warga kota besar yang ingin menghabiskan hari tua atau masa pensiun di Yogyakarta.
Untuk itu pentingnya bagi warga yang memimpikan Yogyakarta di hari tua untuk mau bergotong royong agar Yogyakarta Merdeka dari Covid-19. Hal ini merupakan bagian dari membangun masyarakat tangguh menuju Indonesia bangkit.
---
Salam hangat Blogger Udik dari Cikeas - Andri Mastiyanto
Instagram I Twitter I Email: [email protected]
âTulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Pembuatan Konten Media Sosial dalam rangka Memperingati HUT RI ke-76 dengan tema Merdeka dari Pandemi: Bersatu dalam Keberagaman untuk Indonesia Bangkit yang diselenggarakan oleh Dinas Komunikasi dan Informatika DIYâ.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.