Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Isnaini Putri

Driver Ojol Yogyakarta: Kerja 12 Jam Sehari, Penghasilan Masih di Bawah UMK

Info Terkini | 2025-10-16 09:14:40
Riset terbaru mengungkap realitas pahit di balik jaket hijau dan oranye yang memenuhi jalanan Kota Gudeg

YOGYAKARTA - Di setiap sudut Kota Yogyakarta, jaket berwarna hijau dan oranye telah menjadi pemandangan yang tak terpisahkan. Para driver ojek online (ojol) ini seolah menjadi nadi kehidupan kota, mengantarkan mahasiswa ke kampus, pekerja ke kantor, hingga wisatawan menjelajahi sudut-sudut Kota Gudeg. Namun, di balik kemudahan yang mereka berikan, tersimpan realitas yang jauh dari kata sejahtera.

Sebuah riset lapangan pada Oktober 2025 mengungkap fakta mengejutkan: sebagian besar driver ojol di Yogyakarta bekerja hingga 12 jam sehari, namun penghasilan bersih mereka masih jauh di bawah Upah Minimum Kota (UMK) yang ditetapkan sebesar Rp2.655.041,81.

Penghasilan Harian yang Minim

Dari wawancara terhadap 20 driver ojol yang beroperasi di sekitar dua stasiun utama di Yogyakarta, terungkap bahwa pendapatan harian rata-rata mereka hanya berkisar Rp100.000 hingga Rp200.000. Jika dikalkulasikan dalam sebulan dengan asumsi 26 hari kerja, penghasilan mereka hanya mencapai Rp2.600.000 hingga Rp5.200.000 kotor—sebelum dipotong biaya operasional seperti bensin, servis motor, dan komisi aplikator.

"Kalau dibilang cukup, ya cukup. Dibilang nggak, ya nggak," ungkap seorang driver berusia 42 tahun yang sudah menggeluti profesi ini sejak 2017. Kalimat singkat itu merangkum dilema ribuan driver ojol di Yogyakarta yang harus "mencukup-cukupkan" penghasilan mereka.

Jam Kerja Panjang, Orderan Semakin Sepi

Untuk mendapatkan penghasilan Rp100.000-200.000 per hari, para driver harus bekerja rata-rata 8-12 jam sehari. Seorang driver berusia 48 tahun yang memulai hari kerjanya sejak pukul 6 pagi menceritakan bahwa ia harus menyelesaikan 20-25 orderan per hari untuk mencapai target pendapatan.

Yang lebih memprihatinkan, hampir seluruh responden menyatakan bahwa pendapatan mereka cenderung menurun dalam tiga tahun terakhir. "Sejak setelah pandemi, pendapatan rata-rata mulai menurun sementara jam kerja justru semakin panjang," ujar seorang driver yang sudah 5 tahun berkecimpung di dunia ojol.

Penyebab utamanya adalah jumlah driver yang terus bertambah, tidak sebanding dengan jumlah orderan yang tersedia. Persaingan semakin ketat, tidak hanya antar sesama driver dalam satu platform, tetapi juga dengan platform lain yang terus bermunculan.

Potongan Besar, Beban Bertambah

Salah satu keluhan terbesar yang disuarakan para driver adalah sistem potongan yang dianggap tidak adil. Meskipun perjanjian awal menyebutkan pembagian hasil 80:20 (80% untuk driver, 20% untuk aplikator), kenyataan di lapangan menunjukkan angka yang berbeda.

"Dari orderan Rp40.000-50.000, potongan bisa mencapai hampir Rp10.000," keluh seorang driver. Keluhan serupa datang dari driver lain yang menyebutkan bahwa fitur "hemat" di salah satu platform justru membebankan biaya promo kepada driver, bukan ditanggung oleh aplikator.Seorang driver berusia 33 tahun bahkan mengungkapkan bahwa potongan harian bisa mencapai Rp13.000, atau setara Rp300.000-420.000 per bulan. "Potongan resmi dari kantor 20%, tapi di lapangan bisa 25-45%. Ini sangat memberatkan kami," ungkapnya.

Status Mitra Tanpa Jaminan

Persoalan lain yang tak kalah pelik adalah status "mitra" yang disandang para driver. Status ini membuat mereka tidak mendapatkan hak-hak dasar pekerja seperti gaji tetap, jaminan kesehatan dari perusahaan, atau dana pensiun.

"Semua beban jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan ditanggung sendiri oleh driver. Asuransi hanya berlaku untuk pelanggan, bukan untuk driver, kecuali saat membawa orderan," jelas salah satu driver.

Ketika mengalami kecelakaan di luar jam orderan, driver harus menanggung seluruh biaya pengobatan sendiri. Tidak ada jaring pengaman sosial yang melindungi mereka.

Sistem yang Dianggap Tidak Adil

Para driver juga mengeluhkan berbagai sistem yang dianggap merugikan mereka:

 

  1. Prioritas Orderan: Sistem yang memprioritaskan driver dengan rating tinggi atau kategori tertentu membuat driver baru atau dengan jam terbang rendah sulit mendapatkan orderan.
  2. Orderan Fiktif: Masalah klasik yang masih sering terjadi dan belum ditangani secara optimal oleh aplikator.
  3. Pembatalan Sepihak: Pelanggan bisa membatalkan orderan setelah driver menempuh jarak jauh untuk menjemput, tanpa kompensasi yang memadai.
  4. Ketidaksesuaian Jarak: Kilometer yang tercatat di sistem berbeda dengan aplikasi peta digital lainnya, sehingga pendapatan driver tidak sesuai dengan jarak yang sebenarnya ditempuh.
  5. Tarif Layanan Tertentu: Tarif untuk layanan pengiriman makanan dan barang dinilai terlalu murah. Meskipun pelanggan membayar penuh, driver hanya menerima sebagian kecil.

Dampak Sosial dan Ekonomi

Kondisi ini tidak hanya berdampak pada driver secara individual, tetapi juga pada keluarga mereka. Beberapa driver mengaku kesulitan untuk menabung atau membiayai pendidikan anak dengan penghasilan yang ada.

"Untuk keseharian mungkin cukuplah, tapi kalau harus untuk nabung masih naik turun, kurang mungkin," ungkap seorang driver berusia 36 tahun.

Kondisi ini juga menciptakan ketimpangan sosial, di mana mereka yang bekerja keras hingga 12 jam sehari masih harus berjuang memenuhi kebutuhan dasar, sementara platform teknologi terus meraup keuntungan besar.

Harapan untuk Perubahan

Meski menghadapi berbagai kesulitan, para driver tetap berharap ada perbaikan sistem. "Kami berharap aplikator bisa meninjau kembali sistem pembagian hasil dan memberikan transparansi dalam perhitungan potongan dan bonus," ujar salah satu driver.

Mereka juga mengharapkan pemerintah lebih berpihak pada kesejahteraan driver, bukan hanya pada kepentingan aplikator. Perlindungan sosial, jaminan kesehatan, dan sistem pembagian orderan yang lebih adil menjadi tuntutan utama.

"Kami ingin kemitraan yang benar-benar saling menguntungkan, bukan hanya menguntungkan satu pihak saja," tambah driver lainnya.

Kesimpulan

Hasil riset ini menunjukkan bahwa pendapatan driver ojol di Kota Yogyakarta masih belum layak jika dibandingkan dengan beban kerja dan biaya operasional yang harus mereka tanggung. Dengan penghasilan bersih yang masih di bawah UMK dan tanpa jaminan sosial yang memadai, kesejahteraan para driver masih jauh dari kata ideal.

Ojek online memang telah memberikan peluang kerja bagi ribuan masyarakat dan kemudahan bagi jutaan pengguna. Namun, di balik kemudahan itu, ada jutaan driver yang berjuang keras setiap hari, menghadapi jalanan dengan segala risikonya, demi sesuap nasi untuk keluarga.

Sudah saatnya sistem kemitraan ini dibenahi agar lebih adil dan berkelanjutan. Diperlukan regulasi yang lebih tegas untuk melindungi hak-hak driver, transparansi dalam sistem pembagian hasil, dan jaminan sosial yang memadai. Hanya dengan cara ini, ekosistem transportasi online bisa berkembang secara sehat dan sejahtera bagi semua pihak—driver, platform, dan pengguna.

Tentang Riset

Riset ini dilakukan pada Oktober 2025 melalui wawancara mendalam terhadap 20 driver ojol yang beroperasi di sekitar dua stasiun utama di Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pendapatan driver dan membandingkannya dengan standar Upah Minimum Kota Yogyakarta.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image