Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ummi Aleeya

Bijak di Media Sosial, Waspada Potensi Adu Domba

Teknologi | Saturday, 31 Jul 2021, 00:52 WIB
sumber : freepik.com

Hari-hari terakhir ini saya dibuat pusing sekaligus kagum dengan masyarakat di negara tercinta, Indonesia. Masalah pribadi diviralkan di ranah publik, sedikit mengganggu saat berselancar karena berita tersebut kerap menjadi headline utama. Namun ternyata berhasil memanggil jiwa kepo saya, sebagai salah satu warga yang negaranya dicap paling tidak sopan oleh Microsoft, ikut membaca dan terlarut di dalamnya. Saya jadi ikut menghujat, meski itu saya lakukan dalam hati, karena masih bisa menahan jari untuk tidak membuat komentar pedas yang menyakitkan hati dan masih eling harus mawas diri. Yes, berita itu berhasil menyusupkan rasa benci di banyak hati, dan memberikan citra negatif pada tokoh publik yang diberitakan berlaku “tidak pada tempatnya”.

Saya pun dibuat kagum saat ada kegiatan penggalangan donasi, baik untuk kejadian yang ada di dalam negeri dan luar negeri, Indonesia terkategori negara paling dermawan. Seakan ada dua kepribadian yang saling bertolak belakang, negara ini dipuja sebagai paling dermawan tetapi sekaligus paling tidak sopan. Koq, bisa ya?

Saya lantas berpikir, demikian mudahnya masyarakat kita terprovokasi, terbukti dengan adanya dua gelar yang seakan bertolak belakang. Mudah tersentuh hati dan turun langsung membantu yang berduka serta ekspresif menyatakan kebencian saat menemukan hal yang tidak disukai, bahkan dengan melontarkan kata-kata tidak sopan. Miris.

Sebagai seseorang yang lahir di tahun 70-an dan pernah mengalami sulitnya beroleh akses internet untuk bisa belajar banyak hal melaluinya, saat ini saya termasuk ibu paruh baya yang tidak mau kalah dengan anak muda. Di usia saya yang menjelang setengah abad ini, seperti menemukan oase di tengah padang pasir nan gersang. Ya, saya baru bisa memperoleh apa yang diimpikan pada tahun 90-an, di mana saat itu saya mulai kuliah semester awal di bidang IT, banyak terganjal minim dan mahalnya internet untuk megakses informasi dan ilmu pengetahuan justru di saat usia hampir setengah abad. Mimpi saya saat itu adalah lulus kuliah menjadi ibu rumah tangga yang produktif di rumah saja dengan memiliki kantor virtual baru terwujud di 7 tahun terakhir ini, berkat kehadiran media sosial Facebook, saya bisa berpenghasilan dari rumah.

Bertemu Jodoh di Media Sosial

Memiliki obsesi untuk bisa memiliki penghasilan dengan modal kuota doang, sejak tahun 2000 di masa saya tumbuh menjadi ibu muda. Obsesi baru tercapai 14 tahun kemudian, tepatnya di tahun 2014 di mana saya bertemu jodoh di media sosial, berupa tempat belajar online yang nyaman, diselenggarakan di grup Facebook. Kegiatan yang dilaksanakan berupa training kepenulisan, dengan nama Sekolah Perempuan. Keterampilan menulis yang diberikan di Sekolah Perempuan menghantarkan saya pada satu pencapaian : Ibu jelita (jelang lima puluh tahun) yang mengajak banyak perempuan untuk berkarya dari rumah saja. Selanjutnya saya menjadi anggota di dua komunitas besar lainnya di grup Facebook : Ibu-Ibu Doyan Nulis dan Ibu-Ibu Doyan Bisnis.

Komunitas belajar online yang anti gosip, mengajarkan kami untuk menahan jari menuliskan ujaran kebencian, melatih kami untuk memberikan dukungan pada kebaikan. Komunitas di atas tersebut didirikan oleh founder bernama Indari Mastuti, tidak pernah larut ikut polarisasi jelang pemilu terjadi. Kami seakan “tampak” tak peduli. Bagi kami memiliki pilihan berbeda untuk bukan untuk membuat saling benci.

Sayangnya keberadaan komunitas positif seperti ini kalah pamor dengan hal-hal yang berbau hedonis dan berita yang mengandung provokasi. Hal ini dibuktikan dengan kerelaan orang berbondong-bondong mengantre membeli sebuah produk yang baru launching di masa pandemi, untuk sebuah pencapaian semu, justru di saat sebagian yang lain kehilangan pekerjaan dan susah makan. Media berhasil menuliskan, mencitrakan hingga jadilah sebagian hidup dalam kehaluan.

Media Sosial adalah Harta Kita

Semakin aktif kita memanfaatkan media sosial, semakin banyak kita menyumbangkan informasi dan data yang bisa diolah untuk berbagai kepentingan. Salah satu yang tengah dilakukan oleh salah satu mahasiswa bimbingan skripsi saya di Sekolah Tinggi Teknologi Bandung adalah memetakan akun buzzer dan non buzzer dengan bantuan aplikasi di media sosial Twitter.

Hal lain yang paling masif adalah penggunaan data pengguna Facebook untuk kepentingan beriklan. Banyak pebisnis merasa terbantu, beriklan menjadi tepat sasaran. Hal ini terjadi karena Facebook memiliki big data yang bisa diolah dan mampu memetakan potensi pengguna, salah satunya untuk menampilkan iklan sesuai kebutuhan pemilik akun. Jika kita paham betapa besar peran media sosial ini, maka sesungguhnya media sosial adalah harta kita, menggunakan media sosial karya anak bangsa harus segera jadi agenda utama.

Sayangnya, hingga saat ini, survey menunjukkan bahwa aktifitas pengguna di media sosial lebih banyak aktivitas yang non produktif. Mungkin pendapat saya terkesan berlebihan, tetapi itulah kenyataan. Kita mudah terpolarisasi oleh berita berisi ujaran kebencian atau bahkan oleh ajakan berbuat kebaikan. Semoga kita makin tersadarkan, ada bahaya besar yang harus kita waspadai jika tidak bijak menggunakan media sosial. Hidup terpecah belah, menjadi bangsa yang lemah, karena tidak bisa memilah : mana berita benar dan sampah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image