Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dr. Abu Fayadh Muhammad Faisal, M.Pd

Khutbah Idul Adha 1442 H: Menyambut Idul Adha

Agama | 2021-07-15 10:27:04
Khutbah Iedul Adha 1442 H: "Menyambut Iedul Qurban/Adha"

KHUTBAH Iedul Qurban/Adha

بسم الله الرحمن الرحيم

*Menyambut Idul Qurban/Adha*

Ditulis Oleh:

*Abu Fayadh Muhammad Faisal Al Jawy al-Bantani, S.Pd, M.MPd, M.Pd, I*

(Aktivis Pendidikan dan Kemanusiaan, Praktisi dan Pengamat PAUDNI/Pendidikan Anak Usia Dini Non Formal dan Informal, Aktivis Anti Pemurtadan dan Aliran Sesat)

Assalamu'alaikum Warohmatulloh wabarakatuh

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ اَللَّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ :

Allohu akbar, Allohu akbar, Allohu akbar. Laailaahailallohu wallahu akbar. Allohu akbar walillahil hamd.

Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat

Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!

Pertama-tama marilah kita memanjatkan puja dan puji syukur kepada Alloh yang telah melimpahkan kepada kita nikmat yang begitu banyak. Saking banyaknya nikmat yang diberikan, sehingga jika kita menghitung nikmat-nikmat-Nya tentu kita tidak akan sanggup menghitungnya. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita syukuri nikmat-nikmat tersebut agar nikmat tersebut tidak dicabut dan bahkan diberikan keberkahan sehingga bertambah. Sebaliknya, jika kita kufuri nikmat-nikmat tersebut, seperti tidak mau mengakui nikmat tersebut berasal dari Alloh atau menggunakan nikmat-nikmat tersebut untuk bermaksiat kepada-Nya, maka cepat atau lambat, Alloh akan mencabutnya ditambah lagi dengan dicatat sebagai dosa. Banyak contoh yang membuktikan hal ini, seperti yang dialami oleh kaum Saba’ yang Alloh berikan kepada mereka kenikmatan dunia, saat mereka kufur terhadap nikmat yang Alloh berikan, maka kenikmatan tersebut Alloh cabut, Dia mengirimkan banjir besar kepada mereka dan mengganti kebun-kebun mereka yang sebelumnya menghasilkan buah-buahan yang enak dimakan berubah menjadi kebun-kebun yang buahnya terasa pahit. Demikian pula yang dialami Qarun yang dikaruniakan oleh Alloh harta yang banyak. Ia tidak bersyukur kepada Alloh atas nikmat tersebut, bahkan mengatakan, bahwa kekayaan yang diperoleh itu adalah karena kepandaiannya, sehingga Alloh membenamkan dia dan rumahnya ke dalam bumi. Sesungguhnya orang yang cerdas adalah orang yang mau mengambil pelajaran dari musibah yang menimpa orang lain.

Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat

Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!

Saat ini kita berada di salah satu hari raya umat Islam, yaitu Idul Adh-ha; hari di mana kita disyariatkan berkurban. Hari raya ini, Alloh sebut dalam kitab-Nya dengan nama hari Haji Akbar (lihat surah At Taubah: 3). Disebut demikian, karena sebagian besar amalan haji dilakukan pada hari ini. Oleh karena itu, hari ini (yakni hari nahar) adalah hari yang paling agung di sisi Alloh. Rasululloh shallallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَعْظَمَ اْلأَيَّامِ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى يَوْمُ النَّحْرِ ثُمَّ يَوْمُ القَرِّ

"Sesungguhnya hari yang paling agung di sisi Allah Ta'ala adalah hari nahar (10 Dzulhijjah) kemudian hari qar (hari setelahnya)." (HR. Abu Dawud dengan isnad yang jayyid, takhrij Al Misykaat 2/810)

Bahkan hari raya Idul Adh-ha lebih utama daripada hari Idul Fitri karena di hari Idul Adh-ha terdapat shalat Ied dan berkurban, sedangkan dalam Idul Fitri terdapat shalat Ied dan bersedekah, dan berkurban jelas lebih utama daripada bersedekah.

Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat

Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!

Termasuk rahmat Alloh dan kebijaksanaan-Nya adalah apabila Dia mensyariatkan suatu amal saleh, Dia mengajak semua orang melakukannya, dan jika di antara mereka ada yang tidak sanggup melakukannya, maka Dia mensyariatkan amal saleh yang lain sehingga mereka yang tidak mampu melakukannya tetap memperoleh pahala, di mana dengan amal saleh tersebut, Alloh mengangkat derajat mereka dan menambah pahalanya. Contohnya adalah barang siapa yang tidak mampu berwuquf di ‘Arafah, maka Alloh mensyariatkan baginya puasa ‘Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) yang menghapuskan dosa yang dikerjakan di tahun yang lalu dan yang akan datang, demikian pula mensyariatkan untuknya berkumpul pada hari Idul Adh-ha untuk shalat Ied, berdzikr, dan berkurban..

Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat

Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!

Sesungguhnya di antara amalan yang disyariatkan Alloh pada hari raya ini adalah berkurban. Berkurban adalah amalan yang utama, karena di sana seseorang mengorbankan harta yang dicintainya karena Alloh; yang menunjukkan bahwa ia lebih mengutamakan kecintaan Alloh daripada apa yang disenangi hawa nafsunya. Berkurban memiliki banyak hikmah, di antaranya adalah sebagai rasa syukur kepada Alloh, membantu fakir-miskin dan menghibur mereka, merekatkan hubungan antara orang kaya dengan orang miskin, dan hikmah-hikmah lainnya yang begitu banyak.

Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat

Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!

Kurban merupakan sunah bapak para nabi, yaitu Ibrahim ‘alaihis salam yang diperkuat oleh syari’at yang dibawa Nabi Muhammad shallallohu 'alaihi wa sallam. Dalam Al Qur’an, Alloh Ta’ala berfirman:

“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah.” (Terj. Al Kautsar: 2)

Sedangkan dalam hadits diterangkan, bahwa Nabi shallallohu 'alaihi wa sallam tinggal di Madinah selama sepuluh tahun dan selalu berkurban.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi dari Ibnu Umar, ia (Tirmidzi) berkata, “Hadits hasan.”)

Menurut sebagian ulama, berkurban bagi yang mampu hukumnya wajib. Hal ini berdasarkan sabda Rasululloh shallallohu 'alaihi wa sallam:

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا

“Barang siapa yang memiliki kemampuan, namun tidak mau berkurban, maka janganlah sekali-kali mendekati tempat shalat kami (lapangan shalat ‘Iid).” (Hadits hasan, Shahih Ibnu Majah 2532)

Sedangkan yang lain berpendapat bahwa hukumnya sunat mu’akkadah (sunat yang sangat ditekankan) beralasan dengan hadits berikut:

« إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ » .

“Apabila kamu melihat hilal (bulan sabit tanda tanggal satu) Dzulhijjah, sedangkan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka tahanlah (jangan dicabut) rambut dan kukunya.” (HR. Muslim)

Kata-kata “salah seorang di antara kamu ingin berkurban” menunjukkan sunatnya.

Namun untuk kehati-hatian, hendaknya seorang muslim tidak meninggalkannya ketika ia mampu berkurban.

Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat

Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia

Semua kebaikan dapat kita temukan ketika kita mempraktekkan petunjuk Rasululloh shallallohu 'alaihi wa sallam dalam semua urusan kita, sedangkan semua keburukan akan kita temukan ketika kita menyelisihi petunjuk Nabi kita Muhammad shallallohu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami pun mengingatkan sedikit petunjuk Rasululloh shallallohu 'alaihi wa sallam dalam masalah kurban.

1. Usia hewan yang dikurbankan

Rasululloh shallallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَذْبَحُوْا إِلاَّ مُسِنَّةً ، فَإِنْ تَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَاذْبَحُوْا جَذَعَةً مِنَ الضَّأْنِ

“Janganlah kamu menyembelih kecuali yang musinnah. Namun jika kamu kesulitan, maka sembelihlah biri-biri (domba) yang jadza’ah.” (HR. Muslim dari Jabir radhiyallahu 'anhu)

Maksud “musinnah“ adalah hewan yang sudah cukup usianya. Jika berupa unta, maka usianya lima tahun. Jika berupa sapi, usianya dua tahun. Jika kambing, maka usianya setahun, dan tidak boleh usianya kurang dari yang disebutkan. Adapun jika berupa biri-biri/domba maka yang usianya setahun. Namun jika tidak ada biri-biri yang usianya setahun maka boleh yang mendekati setahun (9, 8, 7 atau 6 bulan), tidak boleh di bawah enam bulan –inilah yang dimaksud dengan jadza’ah-.

2. Hewan kurban yang utama

Hewan kurban yang utama adalah hewan kurban yang gemuk, banyak dagingnya, sempurna fisik dan indah dipandang. Anas radhiyallohu 'anhu berkata, “Nabi shallallohu 'alaihi wa sallam berkurban dengan dua ekor biri-biri yang putih bercampur hitam lagi bertanduk, Beliau menyembelih keduanya dengan tangannya, mengucapkan basmalah dan bertakbir, dan meletakkan kakinya di sisi hewan tersebut.” (HR. Bukhari)

3. Adab menyembelih

Adabnya adalah dengan menghadap kiblat, mengucapkan basmalah dan takbir ketika hendak menyembelihnya dan berbuat ihsan dalam menyembelihnya (seperti menyegarkan hewan sembelihannya, menajamkan pisau dan tidak mengasahnya di hadapan hewan tersebut).

4. Pembagian kurban

Sunnahnya adalah orang yang berkurban memakan dari hewan kurbannya, menyedekahkannya kepada orang miskin dan menghadiahkan kepada kawan-kawannya atau tetangganya, berdasarkan firman Alloh Ta’alla:

“Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (Terj. Al Hajj: 28)

Rasululloh shallallohu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا

“Makanlah, berilah kepada orang lain dan simpanlah.” (HR. Bukhari)

Namun tidak mengapa disedekahkan semuanya kepada orang-orang miskin.

5. Waktu berkurban

Waktunya adalah setelah shalat Ied dan berakhir sampai tenggelam matahari tanggal 13 Dzulhijjah. Termasuk sunnah Rasulullah shallallohu 'alaihi wa sallam di hari raya Idul Adha adalah makan tidak dilakukan kecuali setelah shalat Ied, lalu menyembelih hewan kurban dan memakan dagingnya.

6. Hewan yang tidak boleh dikurbankan

Rasululloh shallallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

"أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي اْلاَضَاحِي: اَلْعَوْرَاءُ اَلْبَيِّنُ عَوَرُهَا, وَالْمَرِيضَةُ اَلْبَيِّنُ مَرَضُهَا, وَالْعَرْجَاءُ اَلْبَيِّنُ ظَلْعُهَا وَالْعَجْفَاءُ اَلَّتِي لَا تُنْقِي"

“Empat macam hewan yang tidak boleh dijadikan kurban, yaitu: hewan buta sebelah yang jelas butanya, hewan sakit yang jelas sakitnya, hewan pincang yang jelas pincangnya dan hewan kurus yang tidak bersumsum (sangat kurus).” (HR. Tirmidzi, ia berkata, “Hasan shahih”)

7. Bertakbir

Pada hari raya Idul Adha disunnahkan bertakbir, baik takbir mutlak maupun muqayyad. Alloh Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:

“Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan agar mereka menyebut nama Alloh pada hari yang telah ditentukan.” (Terj. Al Hajj: 28)

Hari yang ditentukan itu adalah hari raya haji dan hari tasyriq, yaitu tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah.

Takbir mutlak adalah takbir yang tidak dibatasi waktunya, yaitu mengucapkan, “Allohu akbar-Allohu akbar. Laailaahaillallohu wallahu akbar. Allohu akbar wa lillahil hamd.” dengan menjaharkan suaranya bagi laki-laki, baik di masjid, di pasar, di rumah, di jalan dan pada saat ia berangkat ke lapangan untuk shalat ‘Ied.

Sedangkan takbir muqayyad adalah takbir yang dilakukan setelah shalat fardhu, yang dimulai dari fajar hari Arafah, dan berakhir sampai ‘Ashar akhir hari tasyriq.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahulloh ditanya tentang waktu takbir pada dua hari raya, maka beliau rahimahulloh menjawab, “Segala puji bagi Alloh. Pendapat yang paling benar tentang takbir ini yang jumhur salaf dan para ahli fiqih dari kalangan sahabat serta imam berpegang dengannya adalah hendaklah takbir dilakukan mulai dari waktu fajar hari Arafah sampai akhir hari Tasyriq (tanggal 11,12,13 Dzulhijjah), dilakukan setiap selesai mengerjakan shalat, dan disyariatkan bagi setiap orang untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika keluar untuk shalat Id. Hal ini merupakan kesepakatan para imam yang empat.” [Majmu Al -Fatawa 24/220]

Imam Bukhari menyebutkan dalam Shahihnya, bahwa Umar Radhiyallohu 'anhu pernah bertakbir di kubahnya di Mina. Maka orang-orang yang berada di masjid mendengarnya lalu mereka bertakbir dan bertakbir pula orang-orang yang berada di pasar hingga kota Mina bergemuruh dengan suara takbir. Ibnu Umar pernah bertakbir di Mina pada hari-hari itu dan setelah shalat (lima waktu), di tempat tidurnya, di kemah, di majlis dan di tempat berjalannya pada hari-hari itu seluruhnya. Maimunnah pernah bertakbir pada hari kurban, dan para wanita bertakbir di belakang Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz pada malam-malam hari Tasyriq bersama kaum pria di masjid.”

Termasuk hal yang perlu diketahui pula adalah bahwa pada hari-hari tasyriq kita diharamkan berpuasa kecuali bagi orang yang tidak mendapatkan hadyu. Hal ini berdasarkan sabda Rasululloh shallallohu 'alaihi wa sallam:

أَيَّامُ التَّشْرِيْقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرِ ِللهِ تَعَالَى

“Hari tasyriq adalah hari makan, minum dan dzkrullah Ta’ala.” (HR. Ahmad dan Muslim)

Demikianlah petunjuk singkat dalam menyambut Idul Qurban.

Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat

Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia

Sebagai penutup, kami ingin menghibur saudara-saudara kami yang tidak mampu untuk berkurban, bahwa sesungguhnya niat mereka untuk berkurban dicatat pahala, dan mereka pun akan mendapatkan pahala kurban. Hal ini berdasarkan sebuah hadits, bahwa Rasululloh shallallohu `alaihi wa sallam ketika menyembelih kurban bersabda:

بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي

“Bismillah wallahu Akbar, ini (kurban) dariku dan dari umatku yang tidak menyembelih." (HR. Abu Dawud, Shahih Abu Dawud no. 2436).

Kita memohon kepada Alloh, semoga Dia memberikan kepada kita taufiq-Nya agar dapat mengerjakan perintah-perintah Alloh dan menjauhi larangan-Nya, menjadikan kita istiqamah di atas takwa dan tidak meninggalkan dunia ini kecuali dalam keadaan muslim, Allohumma amin.

هَذَا وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا عَلَى النَّبِيِّ الْمُصْطَفَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ خَيْرِ الْوَرَى ، فَقَدْ أَمَرَكُمُ اللهُ بِذَلِكَ فَقَالَ سُبْحَانَهُ : إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا " ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَّمَدٍ ، وَعَلَى آلِ بَيْتِهِ ، وَعَلَى الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ ، وخَصَّ مِنْهُمُ الْخُلَفَاءَ الْأَرْبَعَةَ الرَّاشِدِيْنَ ، أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ ، وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ ، وَاجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِناً مُطْمَئِناًّ وَسَائِرَ بِلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلاَةَ أُمُوْرِنَا ، وَاجْعَلْ وِلاَيَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ ، وَنَعُوْذُ بِكَ مِنَ النَّارِ ، اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِيْنَ غَيْرَ ضَالِّيْنَ وَلاَ مُضِلِّيْنَ ، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

Wassalamu'alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.

Silahkan Rujuk Info ini Bagi yang belum Membacanya:

*Berqurbanlah dan ini Syarat Syarat Hewan Qurban*

https://retizen.republika.co.id/posts/12164/berqurbanlah-dan-ini-syarat-syarat-hewan-qurban

*****

*Kumpulan Fatwa-Fatwa Ulama Seputar Shalat Ied*

Segala puji bagi Alloh Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasululloh, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:

Alloh Subhaanahu wa Ta’ala memerintahkan kita bertanya kepada para ulama jika kita tidak mengetahui, Dia berfirman,

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (Qs. An Nahl: 43 dan Al Anbiya: 7).

Berikut kami hadirkan fatwa-fatwa ulama seputar shalat Ied yang kami terjemahkan dari media telegram Fawaid wa Durar dan situs saaid.net , semoga Alloh menjadikan penerjemahan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allohumma aamin Ya Mujibas Sa'ilin.

*Fatwa-fatwa ulama seputar shalat Ied*

1. Pertanyaan: Apa pendapat Anda tentang hukum shalat Ied?

Jawab: Menurutku, shalat Ied hukumnya fardhu ain, dan tidak boleh bagi kaum lelaki meninggalkannya, bahkan mereka harus menghadirinya, karena Nabi shallallohu alaihi wa sallam memerintahkan untuk menghadirinya, bahkan memerintahkan kaum wanita baik yang gadis maupun yang dipingit untuk keluar ke (lapangan) shalat Ied. Beliau juga memerintahkan wanita haidh untuk keluar menuju (lapangan) shalat Ied, akan tetapi mereka menyingkir dari tempat shalat. Ini menunjukkan penekanannya. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa wa Rasail jilid 16, kitab Shalatul Iedain). Menurut kami, bahwa kaum wanita diperintahkan diperintahkan juga untuk shalat Ied menyaksikan kebaikan dan ikut serta dengan kaum muslimin (yang laki-laki) dalam shalat mereka serta dalam doa mereka. Akan tetapi wajib bagi mereka keluar tanpa mengenakan wewangian dan tidak bertabarruj (bersolek), sehingga mereka dapat memadukan antara mengerjakan Sunnah Nabi shallollahu alaihi wa sallam dan menjauhi fitnah. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/211).

2. Pertanyaan: Apa saja adab di hari raya?

Jawab: (1) Dianjurkan bertakbir, (2) memakan kurma dalam jumlah ganjil sebelum berangkat shalat Ied (pada saat Iedul Fitri), (3) mengenakan pakaian yang indah, namun ini bagi kaum lelaki, adapun bagi wanita maka tidak mengenakan pakaian menarik ketika keluar ke lapangan shalat Ied, (4) mandi untuk shalat Ied, (5) mengucapkan selamat antara yang satu dengan yang lain, (6) bagi yang berangkat shalat Ied disyariatkan menempuh suatu jalan dan pulang melalui jalan yang lain. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/216-223) Thabrani dalam Al Kabir meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Habib bin Umar Al Anshariy dari ayahnya, ia berkata, “Aku pernah bertemu dengan Watsilah pada hari raya, lalu aku mengucapkan “Taqabbalallohu minna wa minka/minkum” (artinya: semoga Alloh menerima amal ibadah kami dan kamu), lalu ia menjawab, “Ya, taqabbalallohu minna wa minka/minkum,” (Mu’jam Kabir 22/52)

3. Pertanyaan: Apakah sunnahnya berangkat ke lapangan shalat Ied sambil berjalan ataukah menaiki kendaraan?

Jawab: Sunnahnya berjalan kaki kecuali jika butuh naik kendaraan, maka tidak mengapa. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/235).

4. Pertanyaan: Apa hikmah menempuh jalan yang berbeda pada hari raya?

Jawab: (1) Mengikuti Nabi shallallohu alaihi wa sallam, karena ini termasuk sunnah Beliau (2) menampakkan salah satu syiar, dan itu merupakan salah satu syiar shalat Ied di seluruh pasar yang ada di suatu negeri, (3) memperhatikan penduduk pasar yang terdiri dari kaum fakir dan lainnya, (4) kedua jalan yang dilaluinya itu akan memberikan kesaksian untuknya pada hari Kiamat, (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/237).

5. Kapan takbir dimulai pada hari raya Idul Fitri, dan kapan berakhirnya?

Jawab: Takbir pada hari raya (Idul Fitri) dimulai dari sejak tenggelam matahari akhir bulan Ramadhan hingga imam datang untuk shalat Ied. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/259).

6. Pertanyaan: Apa hukum shalat Ied di masjid?

Jawab: Makruh mengadakan shalat Ied di masjid-masjid kecuali ada uzur, karena sunnahnya adalah mengerjakannya di lapangan. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/230).

7. Pertanyaan: Kapankah waktu shalat Ied?

Jawab: Waktu shalat Ied dimulai dari naiknya matahari setinggi satu tombak (kira-kira 15 menit setelah syuruq/matahari terbit) sampai tergelincir matahari (Zhuhur), hanyasaja dianjurkan shalat Idul Adhha dimajukan, sedangkan shalat Idul Fitri ditunda berdasarkan riwayat bahwa Nabi shallallohu alaihi wa sallam melakukan shalat Iedul Adha ketika matahari setinggi satu tombak, dan melakukan shalat Idul Fitri ketika matahari setinggi dua tombak (kira-kira setengah jam setelah syuruq -pent). (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/229).

8. Pertanyaan: Apa hukum mendahulukan khutbah Ied sebelum shalat?

Jawab: Mendahulukan khutbah Iedain sebelum shalat adalah bid’ah yang diingkari oleh para sahabat radhiyallahu anhum. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/249).

9. Pertanyaan: Apakah dalam pelaksanaan Ied ada dua kali khutbah atau satu kali?

Jawab: Sunnahnya khutbah Ied sekali saja, tetapi jika dilakukan dua kali maka tidak mengapa. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/248).

10. Pertanyaan: Apakah dalam shalat Ied ada azan dan iqamat?

Jawab: Dalam shalat Ied tidak ada azan dan iqamat. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/237)

11. Pertanyaan: Apa hukum panggilan (seperti Ash Shalatu Jami’ah, dsb.) untuk shalat Ied?

Jawab: Panggilan untuk shalat Ied (seperti yang disebutkan) adalah bid’ah yang tidak ada dasarnya.” (Ibnu Baz, Majmu Fatawa 23/13)

Panggilan untuk shalat Iedain dengan ucapan ‘Ash Shalatu Jami’ah’ dan kalimat semisalnya tidak diperbolehkan, bahkan hal itu merupakan bid’ah yang diada-adakan. (Fatawa Lajnah Daimah 8/316)

12. Pertanyaan: Bagaimanakah tatacara shalat Ied?

Rakaat pertama, dia bertakbir dengan takbiratul ihram, lalu membaca doa istiftah, kemudian bertakbir sebanyak enam kali. Setelah itu membaca surat Al Fatihah ditambah surat Al A’la atau surat Qaaf pada rakaat pertama.

Rakaat kedua, saat bangkit dari sujud ia bertakbir, kemudian bertakbir lagi sebanyak lima kali takbir ketika telah berdiri, lalu membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya. Jika pada rakaat pertama ia membaca surat Al A’la (setelah Al Fatihah), maka pada rakaat kedua ia membaca surat Al Ghasyiyah. Namun jika pada rakaat pertama ia membaca surat Qaaf (setelah Al Fatihah), maka pada rakaat kedua ia membaca surat ‘Iqtarabatis sa’atu wansyaqqal qamar’ (surat Al Qamar). (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/223)

13. Pertanyaan: Apa hukum shalat Ied yang hanya membaca takbiratul ihram pada shalatnya?

Jawab: Shalatnya sah jika hanya membaca takbiratul ihram, karena takbir tambahan setelahnya adalah sunah. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/238)

14. Pertanyaan: Kapan dimulai membaca doa istiftah dalam shalat Ied?

Jawab: Dimulai membaca doa istiftah setelah takbiratul ihram. Namun dalam masalah ini ada kelonggaran, sehingga jika seseorang menundanya dan memulainya setelah takbir terakhir, maka tidak mengapa. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/240)

15. Pertanyaan: Apa bacaan antara masing-masing takbir dalam shalat Iedain?

Jawab: Tidak ada dzikir tertentu di antara takbir-takbir itu, tetapi ia bisa memuji Alloh, menyanjung-Nya dan bershalawat kepada Nabi shallallohu alaihi wa sallam dengan cara yang ia kehendaki, dan jika ia tidak membacanya juga tidak mengapa, karena hal itu hukumnya sunah. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/241)

Disyariatkan baginya memuji Allah, mensucikan-Nya, mengagungkan-Nya, dan bershalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam antara masing-masing takbir. (Lajnah Daimah 8/302)

16. Pertanyaan: Apa hukumnya jika seorang lupa mengucapkan beberapa takbir (setelah takbiratul ihram) sehingga ia langsung membaca surat?

Jawab: Jika seorang lupa mengucapkan beberapa takbir dalam shalat Ied sehingga langsung memulai membaca surat, maka telah gugur (terlewat), karena hal itu hanyalah suatu sunah yang terlewatkan, sebagaimana seseorang ketika lupa membaca doa istiftah, lalu ia langsung membaca surat, maka gugur pula (membacanya). (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/244).

17. Pertanyaan: Apa hukumnya jika saya mendapatkan imam dan telah terlewatkan beberapa takbir tambahan?

Jawab: Jika engkau masuk dalam shalat bersama Imam di sela-sela takbir, maka terlebih dahulu bertakbirlah engkau sebagai takbiratul ihram, lalu sellebihnya ikutilah imam dan yang telah lewat menjadi gugur bagimu. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/245).

18. Pertanyaan: Bagaimana jika seseorang tertinggal dari mengucapkan beberapa takbir dalam shalat Ied?

Jawab: Menjadi gugur baginya dan ia tidak perlu mengqadhanya. Demikian pula ketika ia lupa atau lupa sebagiannya sehingga langsung memulai membaca, maka ia tidak perlu membacanya, karena takbir itu hanya sunah dan telah lewat tempatnya. Adapun jika ia terlambat (masbuq) sehingga terlewatkan satu rakaat secara sempurna bersama imam, maka ia bertakbir dengan mengucapkan beberapa takbir rakaat yang tertinggal itu. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/241).

19. Pertanyaan: Jika seorang masuk ke dalam shalat Ied, sedangkan imam telah selesai dari rakaat pertama, bagaimanakah mengqadhanya?

Jawab: Mengqadhanya setelah imam selesai salam sesuai pratek yang dilakukannya, yakni mengqadhanya dengan mengikuti takbir yang diucapkan imam. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/256).

20. Pertanyaan: Apakah khatib memulai khutbah Ied dengan istighfar atau dengan takbir?

Jawab: Adapun dengan istighfar, maka tidak demikian, dan aku tidak mengetahui adanya ulama yang berpendapat demikian, sedangkan dengan tahmid atau takbir, maka para ulama berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat, dimulai dengan takbir, dan ada pula yang berpendapat, dimulai dengan tahmid. Namun dalam hal ini terdapat kelonggaran. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/248).

21. Pertanyaan: Apa hukum menghadiri khutbah Ied?

Jawab: Menghadirinya tidak wajib. Barang siapa yang ingin menghadirinya, menyimak dan mengambil manfaat silahkan, dan barang siapa yang ingin pergi juga silahkan. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/249).

22. Pertanyaan: Apakah sunnahnya khatib berdiri dalam shalat Ied ataukah duduk?

Jawab: Sunnahnya baik dalam khutbah Ied maupun khutbah Jumat adalah khatib berdiri. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/247).

23. Pertanyaan: Apakah sunnahnya bagi imam berkhutbah di atas mimbar dalam shalat Ied?

Jawab: Sebagian ulama menganggap sunnah, namun ulama yang lain berpendapat bahwa lebih utama khutbah Ied tanpa mimbar. Namun dalam hal ini terdapat kelonggaran. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/250).

24. Apa hukum takbir secara jama’i (bersama-sama) dalam hari raya?

Jawab: Takbir jama’i dalam hari raya tidak disyariatkan. Sunnahnya adalah manusia bertakbir dengan suara keras, dimana masing-masing mereka bertakbir. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/268).

25. Pertanyaan: Di tempat kami pada sebagian masjid seorang muazin mengeraskan takbir dengan pengeras suara, lalu orang-orang yang berada di belakangnya mengikuti ucapannya, apakah ini termasuk bid’ah ataukah dibolehkan?

Jawab: Ini termasuk bid’ah, karena yang sudak maklum dari petunjuk Nabi shallallohu alaihi wa sallam dalam hal dzikr adalah masing-masing orang berdzikir menyebut nama Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, tidak sepatutnya keluar dari petunjuk Nabi shallallohu alaihi wa sallam dan para sahabatnya. (Ibnu Utsaimin, As’ilah wa Ajwibah fi Shalatil Iedain hal. 31).

26. Pertanyaan: Seperti apa lafaz takbir dalam dua hari raya?

Jawab: Lafaznya ‘Allohu akbar, Allohu akbar, Laailaahaillallohu wallohu akbar, Allohu akbar walillahil hamd’ atau ‘Allohu akbar, Allahu akbar, Allohu akbar, Laailaahaillallohu wallahu akbar, Allahu akbar walillahil hamd.’ (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/259).

27. Pertanyaan: Saya pergi ke lapangan shalat Ied, namun saya dapatkan imam telah selesai shalat Ied dan mulai melakukan khutbah Ied, apakah saya harus mengqadha?

Jawab: Barang siapa yang tertinggal shalat Ied berjamaah, maka dianjurkan baginya untuk mengqadhanya kapan saja, pada hari itu yang masih tersisa, besoknya, atau lusanya. Akan tetapi para Ahli Fiqih berbeda pendapat tentang tatacara mengqadhanya, ada yang berpendapat mengqadhanya empat rakaat dengan satu salam atau dua salam. Namun yang raiih (kuat) adalah pendapat jumhur (mayoritas) para Ahli Fiqih, yaitu bahwa shalat Ied diqadha sesuai praktek shalat Ied, sehingga engkau lakukan dua rakaat dengan tujuh kali takbir pada rakaat pertama, dan lima kali takbir pada rakaat kedua. Dan mengqadhanya bisa sendiri-sendiri atau berjamaah. (Syaikh Dr. Hisam Affanah, Dosen Fiqih dan Ushul Fiqih di Univ. Al Quds, Palestina).

28. Apabila kaum muslimin telah melakukan shalat Ied atau istisqa di luar kota di lapangan, maka tidak disyariatkan bagi orang yang mendatangi lapangan melakukan shalat sunah terlebih dahulu, baik tahiyyatul masjid maupun lainnya. Hal ini merupakan bentuk pengamalan terhadap hadits dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma, bahwa Nabi shallallohu alaihi wa sallam pernah keluar (ke lapangan) pada hari raya Idul Fitri, lalu shalat dua rakaat, dan tidak melakukan shalat apa-apa baik sebelumnya maupun setelahnya. Akan tetapi jika shalat Iedain atau shalat istisqa ditegakkan di salah satu masjid di kota itu, maka tidak mengapa melakukan shalat tahiyyatul masjid saat masuk, tetapi ia tidak melakukan shalat sunah lainnya. (Lajnah Daimah no. 12515).

29. Pertanyaan: Apa hukum shalat Ied bagi musafir?

Jawab: Tidak disyariatkan bagi musafir melakukan shalat Ied, akan tetapi apabila musafir berada di suatu kota yang ditegakkan shalat Ied di sana, maka ia diperintahkan untuk shalat bersama kaum muslimin. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/236).

Wallohu a’lam wa shallallohu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.

Diterjemahkan Oleh: *Dr. Abu Yahya Marwan Hadidi, S.Pd, I, M.Pd, I*

Diedit & Muroja'ah/Koreksi: *Abu Fayadh Muhammad Faisal Al Jawy al-Bantani, S.Pd, M.MPd, M.Pd, I*

*Referensi/Maraji':* Telegram Fawaid wa Durar, Maktabah Syamilah versi 3.45, https://saaid.net/mktarat/eid/103.htm dll.

Semoga bermanfaat info ini, Barokallohu fiikum.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image