Menakar Keseriusan Pemerintah Dalam Menghadapi Wabah
Politik | 2021-07-12 14:08:41Merasa jengah dengan COVID-19? Ya, mungkin inilah yang dirasakan hampir seluruh warga Indonesia, bahkan dunia. Pandemi tak kunjung selesai dikarenakan kebijakan yang dilakukan mandul atau tak berefek sama sekali. Angka penyebaran begitu cepat naik sementara ketersediaan fasilitas kesehatan tak memadai. Alhasil jumlah korban melonjak tak terkendali. Diketahui beberapa rumah sakit dalam sepekan ini mengalami kekurangan oksigen. Hal ini tentu sangat berdampak bagi pasien penderita COVID-19 yang jelas sangat membutuhkannya. Tak hanya itu, permainan harga tabung oksigen pun sudah diluar nalar, bahkan kenaikannya mencapai 500%. Harga tabung yang biasa Rp.500 ribu melonjak hingga Rp. 2,5juta. Ketua DPP PKS Kurniasih Mufidayati, menyebut pemerintah bisa mendorong swasta produsen dan distributor oksigen terlibat penuh dalam mendukung penyediaan oksigen untuk kebutuhan penanganan pasien COVID-19. Alokasi oksigen untuk industri harus dialihkan untuk kepentingan medis. Produsen oksigen, baik swasta maupun BUMN, dituntut memprioritaskan produksi 90%-100% untuk mendukung kebutuhan oksigen untuk medis. (news.detik.com 05/07/2021) Saat ini jumlah kematian pun tembus di angka puluhan perharinya yang artinya Indonesia kini berada di zona darurat COVID-19. Bagaimana mungkin Indonesia seolah tak siap menghadapi pandemi ini? Bukan kah telah setahun lebih kita menghadapinya? Namun benar nampak adanya. Ketidaksiapan negara menghadapi pandemi ini memperlihatkan bahwa negara lemah dalam menyiapkan fasilitas yang dibutuhkan masyarakat. Kemandirian kesehatan jauh dari kata memadai. Bahkan kasus antrean pasien COVID-19 di depan ruang UGD terjadi ke sekian kali dan bahkan jadi hal yang biasa manakala lonjakan penyebaran kembali meningkat. Kebijakan-kebijakan yang saling berseberangan pun menambah deret panjang penyebab masalah ini tak cepat terselesaikan seperti pembatasan kegiatan masyarakat namun disisi lain tempat wisata dan mal dibuka. Belum lagi edukasi terhadap masyarakat yang belum terealisasi dengan benar bahkan terkesan seadanya. Berharap Indonesia segera keluar dari pandemi nampaknya hanya ilusi saja. Penulis bukannya pesimis namun nyata kebijakan yang diterapkan tidak fokus pada penyelesaian masalah namun selalu mempertimbangkan ekonomi. Kontroversi Ivermectine Well, entah karena keputus-asaan atau antipati terhadap pandemi ini, di masyarakat banyak timbul spekulasi terkait obat penyembuh COVID-19. Mulai dari kalung, ramuan dan lain sebagainya. Namun belakangan ini salah satu obat bernama âIvermectineâ diklaim mampu menyembuhkan COVID-19. Obat ini sudah digunakan manusia selama bertahun-tahun dalam bentuk pil dan krim untuk keluhan seperti scabies (penyakit kulit karena tungau), kutu di kepala, dan river blindness atau kebutaan karena infeksi cacing. Kini, bermunculan kesaksian mereka yang berhasil lolos dari gejala infeksi virus corona SARS-CoV-2 berkat obat yang sama. Namun BPOM mengikuti panduan dari WHO dengan tidak merekomendasikan ivermectin untuk mengobati Covid-19 di luar uji klinis. Sejumlah penelitian yang dilakukan terhadap obat ini memang memperlihatkan efek yang dapat mematikan virus dengan catatan penggunaan dosis yang lebih tinggi dari ambang baku yang diizinkan. Namun penelitian lain menyatakan penggunaan dosis tinggi sangat berisiko karena dapat menyebabkan keracunan ivermectin yakni darah yang menjadi encer. Penggunaan yang overdosis juga bisa menyebabkan nyeri, mual, diare, hipotensi (tekanan darah rendah), reaksi-reaksi alergik, pusing, ataxia (masalah dengan keseimbangan), kejang, koma dan bahkan meninggal. Patut dilihat bahwa antusiasme masyarakat akan hadirnya obat penyembuh wabah covid-19, menjadi bukti bahwa saat ini pemerintah gagal dalam menyediakan dan mengupayakan jaminan ketersediaan obat bagi masyarakat yang terinfeksi. Padahal jaminan kesehatan masyarakat mutlak berada dalam tanggung jawab negara. Bahkan negara menjadi garda terdepan dalam melindungi masyarakat dengan mekanisme kebijakan yang ditetapkan semata-mata demi keselamatan rakyat. Kini malang nian nasib rakyat. Sudahlah harus disiplin dengan PPKM Darurat, ruang dibatasi ekonomi tidak dipenuhi. Begitu terinfeksi, ketersediaan fasilitas kesehatan tak memadai, pasien membludak disana sini tanpa harapan pasti. Jika terus begini jangankan untuk keluar dari pandemi, menggapai kurva landai pun ibarat mimpi. Wallahu a'lam bishawab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.