Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Pandu Wijaya Saputra

Setelah Vaksinasi, Kemudian Apa?

Info Terkini | Saturday, 10 Jul 2021, 06:53 WIB

Sore itu obrolan santai kami menjadi sedikit tegang ketika pak Agus, ketua RT kami, bercerita tentang teman kantornya yang meninggal karena Covid di usia yang masih muda, 34 tahun. Dan yang paling membuat kaget adalah temannya itu tidak memiliki penyakit bawaan. Setidaknya itu yang diyakini pak RT.

Maka kami menduga barangkali temannya mengalami kelelahan. Kemudian kami sampai pada kesimpulan lagi mungkin dia mengalami stres sangat parah. Apalagi dari sisi medis, kita tahu stres dapat menurunkan kekebalan tubuh. Bermacam-macam penyakit pun bisa menyerang.

Rasanya kita semua memiliki kesepahaman yang sama bahwa kekebalan tubuh lah yang menjadi kunci utama melawan virus apapun, termasuk Covid. Semua bisa memperdebatkan vaksin, yang lain boleh mempersoalkan kebijakan kerumunan, Anda boleh menolak larangan mudik, kita pun bisa menyoal lockdown. Tapi, kita semua sepakat bahwa imun dalam tubuh harus baik.

Permasalahannya sekarang adalah bagaimana cara meningkatkan kekebalan kita dalam situasi yang lebih mungkin menyebabkannya turun ini.

Masing-masing orang punya caranya sendiri. Ada yang mengandalkan suplemen ini itu, yang sempat mengakibatkan kepanikan masal dan langkanya sebuah merek susu karena diborong oleh masyarakat. Ada yang berharap saja pada vaksin. Ada juga yang hidup normal dan hanya mengandalkan prinsip pikiran harus bahagia agar imunnya meningkat. Dan yang terakhir ini tidak sedikit, sangat sangat banyak. Apalagi di kampung saya.

Dari sisi medis, tak ada bantahan bahwa bahagia akan meningkatkan imun. Kita semua pun meyakini itu. Tapi muncul masalah lagi. Cara orang mencapai “bahagia” itupun bermacam-macam. Ada yang bisa mendapat kebahagiaan di rumah saja. Seperti kawan saya yang mampu menghabiskan berjam-jam di rumah hanya dengan nonton film. Ada juga yang main game. Atau tetangga saya yang sangat gemar memasak di rumah. Bahkan dia telah mengeluarkan banyak produk makanan yang dijualnya secara online.

Di sisi lain, ada yang justru stress di rumah saja. Mereka jenis orang yang hanya mendapat kesenangan ketika di luar rumah. Saya bayangkan Imun mereka justru terbentuk ketika mereka nonton di bioskop, nonton pertandingan bola di stadion, jalan-jalan, berkendaraan, traveling, atau naik gunung. Nah untuk yang kedua ini nampaknya akan sangat problematis karena kini kita harus di rumah saja dan tidak bisa kemana-mana. Bisa jadi imunitasnya stagnan atau drop.

Ada juga orang yang hiburannya adalah beribadah. Bukan ibadah di rumah, tapi di masjid sehari lima kali. Dan sepanjang hidupnya dia melakukan itu. Lagi-lagi, saya bisa sebutkan banyak di kampung saya. Orang-orang seperti itu, dia tak membutuhkan suplemen, gizi baik, olahraga, atau bahkan jalan-jalan untuk meningkatkan imunnya. Cukup bisa berangkat ke masjid sebelum adzan berkumandang saja sudah sangat membuat mereka bahagia.

Menurut saya pemerintah belum menggarap dengan baik, atau tidak memikirkan, perihal kebahagian masyarakat ini. Selama ini kebijakan-kebijakan pemerintah, kampanye dan informasi hanya tentang cara mencegah persebaran: 3 M, lockdown, aturan kerumunan, larangan perjalanan, di rumah saja hingga larangan mudik atau ke tempat ibadah.

Memang pemerintah punya program tayangan di TV atau platform digital yg bisa diakses melalui HP selama pandemi, baik hiburan atau edukasi. Tapi TV dan HP bukanlah sumber dari kebahagiaan. Ia bahkan tak memberikan jeda pada pikiran kita. Alih-alih senang, yang ada justru pikiran kita lelah. Apalagi, jauh lebih banyak berita Covid yang membuat kita bergidik daripada membuat kita rileks.

Peningkatan kekebalan yang bersumber dari asupan makanan atau minuman pun tidak pernah dilakukan oleh pemerintah. Masyarakat dibiarkan memenuhi kebutuhan nutrisinya sendiri. Kecuali bantuan langsung di awal masa pandemi yang jelas bukan untuk peningkat imunitas tapi sebagai pemenuhan kebutuhan pokok saja. Kita tahu sejak dulu tak seluruh masyarakat punya kemewahan untuk mengkonsumsi makanan yang baik dan sehat sesuai standar gizi. Apalagi suplemen. Orang kampung saya saja masih banyak yang makan ubi dan tak mampu beli beras.

Orang bilang, Covid menelanjangi kebobrokan kita dalam banyak hal. Sistem pendidikan kita ditelanjangi, juga pengelolaan kesehatan kita dan ekonomi kita. Namun, orang jarang menyebut soal gizi dan nutrisi masyarakat kita yang merupakan salah satu sumber utama alami untuk daya tahan tubuh. Tak semua orang mampu mengkonsumsi ikan laut yang harganya mahal. Daging pun selalu jadi makanan mahal. Apalagi susu, suplemen, dan vitamin. Masih banyak masyarakat kita yang makan asal kenyang.

Karenanya untuk jangka pendek ini, kebutuhan nutrisi dan gizi pun harus menjadi perhatian pemerintah selain menggenjot vaksinasi. Apalagi pada momen semi lockdown dimana banyak masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan pangannya karena kehilangan pemasukan. Dan kedepan, pemerintah pun harus menjadikan nutrisi dan gizi masyarakat prioritas utama demi terwujud daya tahan tubuh masyarakat.

Vaksin memang cara paling cepat dan praktis. Namun, kita tak bisa mengabaikan begitu saja faktor imunitas alamiah kita. Kelak ketika 70 persen orang Indonesia sudah divaksin akan tercipta herd immunity. Namun, kita harus memikirkan juga apa yang terjadi setelah vaksinasi. Bagaimana masyarakat akan mempertahankan, menjaga atau bahkan menguatkan terus kekebalan tubuhnya. Karena tak mungkin kita akan mengharap divaksin terus.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image